Korban Nyai Nilam Sang Buaya Putih

2084 Words
Ku lirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah enam. Sore itu seperti biasa putriku merengek minta jalan jalan sore mengelilingi kampung melihat panorama alam pedesaan. Walau kampung kami tak seindah ponorama di alam pegunungan, namun melihat hijaunya persawahan yang terbentang seluas mata memandang membuat kepuasan tersendiri di hati kami para petani. Dengan menaiki motor matic aku membawa putriku Aiswa berkeliling melihat - lihat padi yang sudah mulai menguning di sepanjang jalan di sertai tawa dan canda. Sesekali aku tersenyum dan menyapa para warga yang berjalan kaki hendak pulang kerumah. Udara sore hari dan harum khas bunga padi membuat suasana sore itu terasa sangat asri dan menenangkan hati. Sudah menjadi kebiasaan sebagian besar warga di desa ku setiap sore menjelang mereka akan jalan - jalan sekedar melepaskan rasa letih dan jenuh seharian bekerja di sawah, mereka akan berkeliling kampung naik sepeda motor seperti ngabu burit walau tidak bulan Ramadan melihat tanaman padi yang terhampar seluas mata memandang serta menyusuri jalan di tepi sungai dan berhenti di jembatan sungai Padang untuk melihat beberapa anak mudah yang sedang memancing ikan di atas jembatan selebar dua meter itu. Ya untuk warga desa, ini adalah rutinitas yang sangat menyenangkan. Tidak seperti warga kota yang selalu menghabiskan waktu di mal - mal besar sebagai hiburan saat lelah dan letih melanda. Aku juga berhenti di jembatan itu dan ikut menikmati pertunjukan lucu dari para pemancing yang sedang bergaya seperti di acara mancing mania yang di siarkan di salah satu siaran televisi swasta, saat umpan kailnya di tarik seekor ikan. " Strike...strike...!!!! " jerit girang Aldo salah seorang pemancing yang umpannya di sambar ikan. Dengan antusias remaja itu menarik benang kailnya berlahan dan kami pun para penonton tak kalah deg - degan nya penasaran dengan ikan yang sedang Aldo dapatkan. Dengan gaya nya yang seperti pemancing profesional dalam menarik kail, Aldo sangat yakin ikan yang di dapatnya adalah ikan besar. Dengan bersemangat ia menarik kail itu sembari menjulurkan lidah ke samping. Namun ketika ikan itu di tarik ke atas jembatan,sontak kami pun tertawa bersama. Ternyata ikan yang di dapatnya hanya seekor ikan lundu sejenis ikan kecil yang mirip dengan ikan lele. Di tengah hiruk pikuk dan canda tawa para pemancing, tanpa mereka sadari di tengah - tengah sungai muncul pusara air yang semakin lama semakin besar di sertai bau anyir yang samar - samar tersebar terbawa angin yang berhembus sepoi. Aku hanya tersenyum memandang ke pusara air itu, karna aku tau siapa yang akan datang. Benar saja tidak menunggu waktu lama sesosok wanita cantik berambut hitam panjang dengan mahkota emas bertahta berlian di atas kepalanya perlahan terlihat jelas keluar dari dalam pusara air bersama seekor buaya putih berbadan manusia di samping nya. Air sungai yang tadinya tenang kini bergelonbang menyapu tepi sungai. Namun para warga yang sedang memancing tentu tidak menyadari kehadiran Putri Sarimah di hadapan mereka. Gelombang dan arus sungai yang tiba tiba muncul serta bau anyir yang menyebar ke sekitar jembatan di sangka warga hanya penomena biasa, bau anyir yang mengganggu penciuman di kira dari aroma limbah yang di buang ke sungai. Putri Sarimah terus memanjangkan tubuhnya mendekatiku. Yap, tubuh Putri Sarimah memang sangat panjang. Wanita cantik itu memiliki tubuh sepanjang hampir dua puluh meter, karna tubuhnya setengah manusia dan setengah lagi berbadan ular. Bahkan di hari hari tertentu seperti malam satu suro tubuhnya akan berubah total menjadi seekor ular berwarna kuning bercorak batik mirip ular sawah kembang dengan dua tanduk dan mahkota di kepalanya. Namun jika malam purnama penuh dia akan berubah menjadi seorang wanita yang cantik jelita berambut hitam panjang sampai terseret ke tanah dan berjalan mengelilingi kampung di tengah malam untuk mengawasi para warga dari gangguan mahluk sakral lain yang ingin berniat jahat. Di lain waktu ia juga akan menampak kan dirinya yang berwujud ular yang sangat besar menyusuri sungai bahkan membela sungai. Dia adalah Putri Sarimah sang Danyang kampung kami yang selalu menghalau mahluk tak kasat mata yang datang dari luar kampung dan berniat buruk kepada warga sekitar. Nyi Sarimah terus mendekat dengan tubuh melingkar di permukaan air sungai serta kepala yang mendongak mendekat ke arahku. Senyum manisnya menyembang seraya menatap ku. Tidak terbersit rasa takut sedikitpun di benakku saat meihat penampakan yang tidak biasa di depan mata. Itu di karenakan diriku sangat mengenal Nyai Sarimah sejak aku masih kecil. Aku sering bermain dengannya, bahkan acap kali dia membawaku ke istana nya. Istana yang sangat indah yang ornamennya semua terbuat dari logam mulia. Saat itu aku bahkan belum tahu betapa berharganya logam yang namanya emas. Karena usiaku Masih sangat kecil, saat pertama kali aku di ajak ke istana bawah air. Tidak ada yang miskin di istana Nyai Sarimah semua dayang dan prajuritnya mengenakan perhiasan mewah dari emas . Hanya saja Nyai Sarimah tidak mau ada manusia yang memujanya. Kebanyakan dari warga sekitar memuja sang Naga Ki Damar Kencana untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, kekayaan , jabatan , kecantikan, dan kesaktian. Suami Nyai Roro Kidul itu akan mengabulkan semua keinginan pemujanya. Asalkan sanggup memenuhi semua perayaratan yang di ajukan. "Apa kabar Nyi " sapa ku saat Nyai Sarimah semakin mendekat. " Kabarku baik Alina. senang melihatmu di sini. Oh iya , gadis kecil itu pasti putrimu ya ?" Putri Sarimah membelai lembut kepala putri ku. Gadis kecil di hadapanku hanya menggerakkan kepala saat merasa ada sesuatu yang menyentuh rambutnya tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya mengangguk ber lahan sembari tersenyum melihat putri ku yang masih asik melihat para pemancing yang riuh. " Nyai apa kabar?sudah lama kita tidak ber jumpa" " Kabarku seperti yang sedang kau lihat Alina, aku baik - baik saja, dan yang pasti aku sangat merindukanmu. Tadinya aku berencana mau ke hilir, ke kediaman Nyi Nilam, tapi melihatmu di sini ku sempatkan menyapamu sebentar. Rasanya sudah entah berapa tahun aku tidak melihatmu" lirih Putri Sarimah. "Iya Nyi, baru beberapa hari ini aku kembali ke desa ini, setelah sekian lama tinggal di jawa bersama Mas Fhatir. Maaf kan aku ya Nyi, selama ini tidak memberi kabar ke Nyai. Niatnya sih nanti malam aku mau berkunjung ke istana Nyai. Barusan si Aiswa ngajak jalan - jalan ia merasa bosan di rumah, jadi ya mau tak mau ku turuti Nyi, dari pada sakit kepala mendengar rengekannya...hi..hi..hi.." jelasku. "Tidak apa - apa lah Lin, yang penting sampean baik baik aja. Tak terasa Aiswa sudah besar dan cantik sekarang. Kamu harus menyayangi dan menjaga anak mu, ojo di gawe loro atine kasihan engko nelongsoh ( jangan di buat sakit hatinya, kasihan nanti nelangsah )" desis Putri Sarimah sembari kembali mengelus rambut putriku. " Baik Nyai, akan ku ingat selalu nasehat Nyai. Oh iya, kok tumben Nyai Sarimah nganterin Nyi Nilam ke hilir " "Nyi Nilam buat ulah lagi Lin, dia memangsa korban pendatang kemaren sore dari kampung sebelah. Dan sekarang para pawang buaya sedang memburuhnya. Makanya aku akan meminta Nyi Nilam mengembalikan mayatnya. Kalau tidak Nyi Nilam dalam bahaya. Bagaimana pun juga dia saudari ku Lin aku harus melindunginya." ujar Putri Sarimah memandang sedih Nyai Nilam yang sedari tadi tertunduk tanpa berani mengangkat kepala. "Iya si Nyi, semoga suatu saat nanti Nyi Nilam akan berubah dan tidak memangsa manusia lagi" pungkas ku melempar senyum ke Nyai Nilam yang diam - diam melirik ku. hanya saja ia tidak berani menyapa karena masih takut akan amarah Putri Sarimah. Nyai Nilam terus menatapku dan seperti tau kalau aku sedang membicarakan nya. Ada gurat sedih dan penyesalan di raut wajahnya. Aku terus saja mengobrol dengan Nyai Sarimah, Ya, sudah sekian lama kami akhirnya berjumpa pagi. Tentu saja tidak ada yang tau kalau aku sedang berbicara dengan si Danyang desa yang bersemayam di Sungai ini. Sebab aku berbicara melalui kebatinan. Mereka hanya melihatku seperti sedang bengong terpaku menatap derasnya arus sungai. "Mama Aiswa, kok bengong nanti kesambet setan penunggu sungai loh." suara seorang wanita mengagetkanku. Mbak Marni datang sembari menepuk pundakku membuat diri ini terperanjat dan menoleh ke arah nya. "Eh...Mbak Marni, sudah dari tadi mbak di sini?" tanyaku setelah menyadari siapa orang yang telah mengagetkan ku itu. "Gak juga sih , ehh tau gak Lin ada orang hanyut di kampung sebelah. Dia pendatang dari Pekan Baru. Niatnya sih ke mari Liburan sekolah. Tapi sayang malah mengantarkan nyawa, kasihan sekali orang tuanya dari semalaman menangis terus memikirkan nasib anaknya. Padahal itu anak lelaki satu - satunya. Masih mudah Lin, baru lima belas tahun umurnya. Sungguh kasihan sekali " terang Mbak Warni antusias "Ya ampun Mbak! sungguh malang sekali anak itu!" desisku simpati. "Gimana kronologi ceritanya Mbak? Kok bisa , anak itu sampai di mangsa buaya penunggu Sungai. "Awalnya sebelum kejadiaan na'as itu dia di ajak saudaranya mandi ke Sungai. Tapi tiba tiba kakinya seperti di tarik ke dalam pusara air dan menghilang terseret arus. Saat ini para orang pintar sedang mencari keberadaan anak itu. Katanya sih anak itu sudah meninggal dan mayatnya sedang di sembunyikan ratu buaya putih penunggu sungai ini." terangnya lagi. Mbak Warni sangat antusias menceritakan kejadian anak yang hanyut itu kepadaku. Tanpa menyadari Nyi Sarimah dan Nyi Nilam dalang terjadinya musibah itu ada di hadapannya dan sedang mendengarkan ceritanya. Aku sengaja pura pura tidak tau dan manggut manggut mendengarkannya. " Iya kasihan sekali ya Mbak. Jadi apakah mayatnya sudah ketemu mbak." Tanyaku pura pura tidak tau. " Belum Lin, mereka sedang menuju ke hilir. Kata orang pintar nya sih, anak itu di sembunyikan di bawah pohon buah lau besar. Tempat siluman buaya putih berada." terang Mbak Warni. Kali ini Nyi Nilam kembali memangsa pendatang baru lagi. Entah sampai kapan ini akan terulang terus padahal Putri Sarimah sudah berulang kali melarang. "Ya sudah Lin, aku mau pulang duluan ya, sudah keburu mau magrib." desis Mbak Warni berpamitan. Mbak Warni dan suaminya segera beranjak pergi dari tempat itu. Sedangkan Nyi Nilam yang dari tadi hanya diam memperhatikan para pemancing kini sudah mulai berani datang mendekatiku. "Lihatlah, karna ulahmu orang tua yang anaknya kamu ambil kini di cekam kesedihan. Bukan cuma itu kamu sekarang sedang di buru oleh para pawang itu. Dan ini semua akan menyebabkan kegaduhan di istanaku." hardik Putri Sarimah Putri Sarimah nampak marah dengan kelakuan Nyi Nilam yang kerap memangsa korban pendatang di desa itu "Ini semua bukan salahku Nyai, sudah ku ingatkan aku tidak suka mendengar kata kata kotor dari siapapun yang sedang berada di sungai ini. Jika mereka melanggar laranganku maka aku tak segan segan menjadikan mereka santapanku. Bahkan penduduk asli di sini pun tau hal itu. Anak ini berkali kali mengucapkan kata - kata kotor kepada temannya tanpa ada sopan santun bahkan dia tidak kulonuwon sebagai pendatang ketika masuk ke Sungai dan itu membuatku marah. Jadi jangan salahkan jika aku memangsa nya. " desis Nyai Nilam mencoba membela diri. Nyi Nilam berusaha membela dirinya. Wanita berkepala buaya itu kini menjelma sepenuhnya menjadi buaya putih dan berlalu menuju hilir lebih dulu. " Anak ini memang sangat keras kepala! Baiklah Alina aku akan menyusul Nyi Nilam. Oh iya sepekan lagi saat bulan Purnama Ki Damar Kencana mengundang kita di acara pesta pernikahan anaknya Mayang sari dengan penguasa laut Aceh. Aku akan menyusulmu. Sekarang aku pamit dan akan ke istana Nyi Nilam untuk memaksa nya mengembalikan jasad anak itu." pungkas Putri Sarimah. Aku hanya mengangguk sembari melihat kepergian Putri Sarimah yang kembali masuk ke dalam pusara air. Aku tidak mau dan tidak berani ikut campur urusan mereka. Memang ada suatu mitos yang kami percayai bahwa di larang berbicara atau pun mengumpat dengan bahasa kotor jika sedang berada di sekitar sungai ini. Harus menjaga adap dan etika apalagi bagi seorang pendatang seyogianya haruslah kulon nuwon atau ucapkan lah salam ketika masuk kedalam Sungai yang seyogianya memiliki penunggu bagi yang hendak mandi dan berenang. "Ma, ayok kita pulang sudah adzan magrib. Adek mau ke mesjid, buruan Ma, nanti di tinggal sama kawan kawan adek " rengek Aiswa Aku mengangguk mengiyakan permintaan putriku dan segera menghidupkan starter sepeda motorku meninggalkan jembatan Sarimah. Satu persatu warga yang dari tadi sibuk memancing ikut meninggalkan tempat itu. Biasanya mereka akan menghentikan aktifitas memancing saat mendengar suara adzan magrib dan akan kembali melanjutkan memancing saat ba'dah Isya. Warga yang tetap bertahan tinggal saat magrib menjelang, kerap sekali melihat penampakan ular yang sangat besar dengan dua tanduk di kepalanya serta mulut yang menganga dan gigi bertaring sedang menyebrangi sungai. Hal itu tentu saja membuat nyali para warga ciut. Sungai Sarimah memang sangat melimpah aneka jenis ikan dan menyajikan kesenangan tersendiri bagi warga yang hoby memancing. Tidak ada yang istimewa jika di lihat sekilas. Namun tidak banyak yang tau bahwa Sungai itu memiliki banyak rahasia di dalamnya. Bahkan para warga yang memancing tidak pernah menyadari beberapa pasang mata selalu mengawasi gerak gerik mereka dari bawah air.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD