Part 12

1831 Words
Langit sore yang terlihat sangat cantik dan menarik untuk terus dipandang, membuat Luna yang pada awalnya berniat untuk berkumpul bersama dengan kedua sahabatnya di sebuah cafe, memundurkan jadwal keberangkatannya. Ia memutuskan untuk menepi terlebih dahulu di suatu taman yang letaknya tak jauh dari keberadaannya saat ini. Sembari terus mengemudikan mobil kesayangannya dengan penuh kewaspadaan, Luna menelpon salah satu dari kedua sahabatnya untuk sekedar memberi kabar. Mengingat pada awalnya, mereka akan bertemu sekitar lima belas menitan lagi di tempat tujuan, yaitu cafe favorit mereka. “Aku telepon Ana dulu aja kali ya? Takutnya mereka udah pada di jalan,” ucapnya seraya mulai mencari nama kontak Ana di ponselnya, dan segera melakukan panggilan. Maaf, telepon yang anda tuju sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi. “Yah, kok malah Mbak-Mbak operator sih yang jawab. Itu bocah lagi teleponan sama siapa sih?” dumel Luna setelah mendengar jawaban dari Mbak-Mbak operator. “Aku telepon Clarissa aja deh kalo gitu. Semoga dia lebih fast respon dari pada si Ana.” Dan Luna pun mulai mencari nama kontak Clarissa di ponselnya, dan segera melakukan panggilan. Luna akhirnya bisa bernapas lega setelah Clarissa mengangkat panggilan teleponnya di deringan ketiga. Ia bahkan berucap syukur saking senangnya. “Alhamdulillah panggilan teleponku ada yang jawab juga, hehe. Assalamu’alaikum, Sa.” (“Wa’alaikumussalam. Wkwkwk. Kenapa ngomongnya gitu? Emangnya panggilan telepon kamu nggak ada yang jawab dari tadi? Abis nelepon siapa sih? Kecewa banget kayaknya.”) “Wkwkwk. Bukan siapa-siapa sih. Si Ana. Biasa, itu anak emang suka sok sibuk orangnya. Nggak tau tuh lagi teleponan sama siapa.” (“Ya ampun. Kirain siapa. Kamunya aja yang lebay itu mah. Ada apa sih pake acara telepon-telepon segala? Kita kan bentar lagi kumpul. Nih aku lagi siap-siapa.”) “Wkwk. Kamu kayak yang nggak tau aku aja, Sa. Aku kan emang kadang-kadang orangnya suka lebay, hehe. Nah, justru itu. Karena sebentar lagi kita harusnya udah kumpul di cafe. Aku mau izin dulu sama kalian berdua. Nanti marah-marah nggak jelas lagi kalau aku ngasih taunya pas udah telat. Jadi sekarang aja biar kalian juga bisa mikir-mikir dulu mau gimananya. Tetep janjian jam segitu atau mau kayak gimana.” (“Izin apaan sih? Jangan bilang kamu mau cancel lagi? Aku ini udah lagi siap-siap lho. Beres pake jilbab nanti udah tinggal langsung cus berangkat ke cafe.”) “Nggak kok. Tetep jadi buat kumpul bareng kalian. Cuma aku mau izin nggak bisa dateng tepat waktu aja. Bakal ngaret lah ceritanya. Palingan abis maghrib baru bisa nyusul ke sana. Jadi kalian terserah mau dateng ke sana kapan. In syaa Allah aku nggak akan yang telat-telat banget kok. Soalnya jarak dari tempat yang aku tuju sekarang ke cafe, nggak lebih dari sepuluh menitan juga udah nyampe. Apalagi kalau jalanannya nggak macet. Sekali merem juga udah nyampe kali. Wkwkwk.” (“Kamu jin kali ah sekali merem langsung nyampe. Lebay banget! Wkwk. Oke, oke. Kirain mau izin apaan. Santai lah kalau soal itu. Kamu kayak yang nggak tau aja kebiasaan kita yang hobinya kadang ngaret. Hehe. Kalo aku sih kayaknya sholat di sana aja ya. Jadi beres siap-siap langsung cus ke sana, terus kalau udah azan ya sholat di sana. Kan alhamdulillahnya di sana juga ada mushola. Soalnya kalau kita nyamain kamu buat berangkat abis sholat maghrib, belum lagi abis itu harus thouch up dulu, takutnya nanti kita pulangnya kemaleman. Tau sendiri kan kita kalau ngobrol suka nggak inget waktu. Wkwk. Kalau kamu kan emang deket katanya jaraknya dari tempat kamu ke cafe, jadi ya santai aja. Nanti soal Ana, aku yang kabarin dia deh. Oh ya, emangnya kalau boleh tau, kamu mau ke mana dulu sih?”) “Ih.. kepo deh kamu. Ke mana aja boleh, wkwk. Udah dulu ya, aku masih nyetir nih. See you! Jangan lupa buat kabarin Ana!” (“Dasar! Huh! Sok misterius kamu! Ya udah.. see you.. hati-hati nyetir mobilnya. Jangan ngebut-ngebut!”) “Siap, Bos!” Dan panggilan telepon itu pun akhirnya berakhir dengan Luna yang kini bisa menghela napas lega. Semuanya sudah clear. Kini saatnya ia melajukan mobilnya dengan tenang menuju taman tujuan yang letaknya sudah semakin dekat. Namun ternyata perasaan tenangnya tak berlangsung lama. Setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, sepasang suami istri yang baru saja turun dari mobil mereka di arah depan sana. Tidak, lebih tepatnya seorang suami yang secara paksa menurunkan istrinya dengan kasar dari dalam mobilnya. Mereka yang terlihat sedang bertengkar hebat di pinggir jalan, hingga sang suami yang dengan tega hendak main tangan dengan sang istri. Menyaksikan itu secara nyata, Luna merasa geram bukan main. Ia bahkan tanpa berpikir panjang lagi langsung menepikan mobilnya tepat di belakang mobil tersebut. Keluar dari dalam mobilnya setelah memastikan mobilnya dalam keadaan aman dan terkunci. Dan hap! Sebelum laki-laki yang Luna tebak adalah suami dari seorang wanita di depannya itu kembali menampar pasangannya, Luna segara mencegah aksi tersebut dengan cara menangkap tangan laki-laki itu yang sedang mengambang di udara. “Jadi cowok kok nggak gentle?! Gentle dikit dong! Bisanya main tangan sama cewek. Dasar laki-laki pengecut!” ucap Luna marah seraya menatap nyalang laki-laki tersebut. Mendapati seorang perempuan tiba-tiba muncul dan menggagalkan aksinya. Laki-laki itu pun langsung menatap tak terima dan tak suka ke arah Luna. “Heh! Lo siapa? Berani-beraninya lo ikut campur sama masalah gue!” “Maaf ya, Pak. Kalo soal ini saya nggak bisa tutup mata. Apalagi saya juga perempuan. Sama seperti istri Bapak. Wanita ini istri Bapak, kan?” “Kalo iya emangnya kenapa? Masalah buat lo?” Luna menerbitkan senyuman lebarnya mendengar itu. Lantas ia berkata, “Bapak dengan suara lantangnya bilang sama saya kalau wanita cantik ini adalah istri Bapak. Tapi, Pak! Memangnya pantas? Seorang suami berlaku kasar terhadap istrinya, bahkan sampai main tangan? Di pinggir jalan lagi! Ini tempat umum lho, Pak. Di rumah aja yang istilahnya lebih tertutup, itu nggak boleh, Pak. Apalagi di tempat umum? Apa yang sudah Bapak lakukan ini itu sudah termasuk tindaK KDRT. Dan.. Bapak nggak malu apa diliatin banyak orang? Bukan nggak mungkin lho, Pak, ada orang yang secara diem-diem ngevideo-in apa yang udah Bapak lakukan sekarang terhadap istri Bapak, kemudian disebar luaskan ke sosial media. Ini zaman canggih!” Mendengar ucapan Luna, laki-laki tersebut langsung mengedarkan pandangan matanya ke arah sekitar. Dan benar saja. Ternyata tidak sedikit orang-orang yang memerhatikan mereka, bahkan ada yang berani secara terang-terangan merekam semua kejadian ini, yang mungkin saja sudah sejak awal. Mencoba abai, karena emosinya pun sudah semakin tersulut akibat terlalu ikut campurnya Luna sebagai orang asing terhadap permasalahannya dengan sang istri, laki-laki itu tetap melanjutkan aksinya. “Jangan ikut campur kamu! Jangan sok simpatik padahal aslinya cuma pengen numpang tenar doang! Palingan kamu cuma modus supaya viral karena berhasil jadi hero atas kejadian ini.” Laki-laki itu kembali menatap istrinya dengan pandang mata penuh amarah. “Ini semua gara-gara kamu! Kalau sejak tadi kamu sudah nurut sama omongan suami. Nggak suka membantah, dan yang lainnya. Semua ini pasti nggak akan terjadi! Bisanya cuma cari gara-gara aja! Kamu sekarang bebas. Tapi awas aja kalau berita ini sampe viral. Aku akan cari kamu sampai dapat!” “Dan lo!” tunjukknya pada Luna. “lo juga akan gue cari sampai dapat! Nggak akan gue biarin hidup kalian berdua tenang!” ucapnya marah kemudian kembali ke dalam mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. “Hiks, hiks, hiks. Terima kasih ya, Dek. Adek sudah membantu saya. Padahal biarin aja, Dek. Adek nggak perlu ikut campur sama masalah kami. Sekarang kan Adek jadi kena ancam juga sama suami saya gara-gara ini. Saya mohon maaf atas itu,” ucap wanita itu yang akhirnya mengeluarkan suara juga setelah sekian lama terdiam. Yang diiringi dengan derai air mata yang tak juga berhenti sejak awal kejadian tadi. Mendengar ungkapan itu, Luna menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali. “Mbak jangan bilang gitu. Mbak nggak perlu bilang terima kasih ke saya. Mbak juga nggak perlu bilang minta maaf ke saya. Saya sebagai perempuan, tentu ikut merasakan sakit saat saya melihat sesama perempuan diperlukan seperti itu oleh seorang laki-laki, terlebih itu suaminya sendiri. Sekarang Mbak mau ke mana? Biar saya antar,” ucap Luna dengan nada lemah lembutnya, kemudian menawarkan bantuan kepada wanita itu. Ya, gini-gini Luna bisa bersikap lemah lembut juga lho. Hehe. Gini-gini itu maksudnya apa, Thor? Tomboy, guys! Hehe. “Saya nggak tau, Dek, mau ke mana. Pergi ke rumah orang tua, rasanya nggak mungkin. Saya nggak mau mereka tau soal masalah saya dan suami. Saya takut mereka akan kepikiran dan khawatir. Mmm, mungkin saya akan cari hotel atau penginapan. Untuk menjernihkan pikiran, sekaligus menenangkan diri,” ucap jujur wanita itu. “Ya udah. Kalo gitu Mbak mau ikut saya ke suatu tempat? Setelah itu saya bantu Mbak untuk cari penginapan. Bagaimana?” Luna kembali memberikan penawaran. “Boleh. Terima kasih ya, Dek!” “Sama-sama, Mbak.” Dan keduanya pun mulai berjalan menuju mobil Luna, kemudian melanjutkan perjalanan menuju tempat yang Luna maksudkan. *** Di sebuah taman yang tampak sepi. Ditemani dengan banyaknya bunga warni-warni, juga semilir angin sore yang menyejukkan hati. Luna beserta wanita cantik tadi duduk di sebuah bangku panjang secara bersisian. Keduanya tersenyum menatap langit. Mengagumi betapa indahnya pemandangan langit sore. “Cantik ya, Mbak, langitnya,” ucap Luna mengawali obrolan mereka. Wanita cantik itu menganggukkan kepalanya setuju. “Iya. Cantik banget. Kamu suka ya liatin langit sore kayak gini?” “Iya. Dari dulu kalau lagi banyak pikiran, lagi ada masalah, dan yang semacamnya. Aku pasti datang ke tempat ini. Oh ya, kita belum kenalan. Nama saya Luna. Nama Mbak siapa?” “Nama saya Citra.” Luna ber-oh-ria setelah mengetahui namanya. “Suami saya sejak kami pacaran dulu memang seperti itu. Dia tempramen. Mudah sekali marah.” Tanpa Luna minta, beberapa menit kemudian setelah keduanya saling mengenal nama masing-masing, Citra mulai bercerita. Mendengar penjelasan itu, Luna menatap terkejut ke arah Citra. “Lho? Kalau Mbak udah tau sifat buruk suami Mbak sejak dulu, kenapa Mbak terus bertahan?” tanya Luna heran. Citra melempar senyuman kecil kepada Luna sebelum mulai menjawab. “Pertama, kalo kamu pernah dengar istilah cinta itu buta, menurut Mbak itu benar adanya. Mbak merasakan itu sejak dulu. Mbak seakan dibutakan oleh cinta, padahal Mbak tau sifat buruk dia yang sepertinya sangat sulit untuk diubah. Kedua, sebetulnya Mbak dulu pernah mengajak dia putus, dikarenakan Mbak sudah mulai lelah. Sebelum akhirnya kita mantap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius, dengan dia yang berjanji akan berubah menjadi lebih baik. Dan Mbak, karena alasan pertama tadi, ya tentunya mendukung dan tersentuh akan janjinya itu.” “Tapi ya, janji kadang hanya sekedar janji. Hanya sekedar ucapan yang kemudian lantas dilupakan. Setelah menikah memang dia berusaha untuk berubah. Berusaha untuk lebih bisa mengendalikan amarahnya. Namun itu tak berlangsung lama. Dia kembali seperti dulu, bahkan sudah berani bermain kasar dengan bermain tangan. Dan semakin menjadi sampai saat ini, dikarenakan ia yang baru saja di PHK dari tempat bekerjanya.” “Sabar ya, Mbak..” Luna berucap seraya mengusap lengan Citra dengan penuh kelembutan. Berusaha menguatkan serta memberi semangat Citra dengan perlakuan kecilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD