Part 23

1540 Words
Leo berlari tanpa arah dan tujuan. Berlari sekencang yang ia bisa, mengikuti ke mana saja kakinya melangkah. Mengingat Leo cukup yakin bahwa orang yang sedang mengerjarnya ini bukan orang sembarangan. Yang mungkin saja kehebatannya dalam berlari lebih unggul dari pada dirinya. Membuatnya sedari tadi berlari seperti orang kesetanan saja. Layaknya seorang tawanan yang sedang dikejar oleh polisi untuk ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Layaknya seseorang yang berhutang yang sedang dikejar oleh depkolektor kejam. Dan layaknya ia sedang dikejar - kejar oleh binatang buas di tengah hutan. Saking cepat, dan paniknya ia dalam berlari. “Hah.. hah.. hah.. aduh, capek banget! Kira – kira si Bapak tadi masih ngejar - ngejar aku nggak ya?” ucap Leo penasaran saat dirasa tenaganya sudah mulai melemah. Saat rasa capek sudah menderanya sedari tadi. Namun sayangnya rasa takutnya lebih mendominasi. Sehingga ia tak berani untuk hanya sekedar menoleh ke belakang. Memastikan ada tidaknya si Bapak itu di belakangnya. Memastikan apakah si Bapak yang terlihat sangat kesal kepadanya tadi masih mengejarnya atau tidak. Sampai pada suatu titik, saat dirasanya ia sudah tidak sanggup lagi untuk terus berlari. Saat tenaganya sudah akan benar - benar habis, dan mungkin saja akan membuatnya pingsan saking capek dan tak kuasanya ia untuk terus memaksakan diri. Leo akhirnya menyerah. Menghentikkan langkah berlarinya, menaruh kedua telapak tangannya di atas dengkulnya sebagai tumpuan, dan berusaha mengontrol deru napasnya yang tak teratur. “Hah.. hah.. hah.. sumpah! Aku sekarang capek banget. Suer, nggak boong! Kira - kira si Bapak tadi masih ngejar aku nggak ya? Jujur aku udah nggak sanggup.” “Tengok ke belakang, atau nggak ya? Aku takut, tapi penasaran juga. Bagaimana kalau ternyata tenaga si Bapak tadi masih kuat? Dia masih ngejar aku dari belakang. Bisa - bisa dalam hitungan detik aku udah babak belur ini,” lanjutnya dalam mulai menghitung dalam hati. Ceritanya Leo sekarang sudah betul - betul pasrah. Yang kalau pada akhirnya ia tertangkap, ia akan manut saja jika si Bapak itu akan melakukan sesuatu kepadanya. Namun jika tidak, yang artinya ia selamat. Tentunya ia akan sangat senang luar biasa. Bersyukur kepada Tuhan karena telah menolong dan menyelamatkannya dari bahaya. Leo mengernyitkan kening heran, saat hitungannya sudah mencapai angka enam puluh. Menurutnya hanya ada dua pilihan pada saat itu. Si Bapak tadi sudah tak lagi mengejarnya, atau mungkin masih mengejarnya namun berjarak cukup jauh darinya. Menyadari itu, membuat Leo yang pada awalnya memutuskan untuk tak ingin menoleh pun pada akhirnya berubah pikiran, dikarenakan rasa penasarannya yang semakin ke sini semakin membumbung tinggi. Membuatnya mau tak mau membalikkan badannya dengan perlahan. Satu, dua, tiga—, Leo berhitung pelan dan mulai berbalik setelah kata tiga terlontar. Dan hasilnya adalah, Leo tidak menemukan keberadaan si Bapak tadi. Mengetahui itu tentunya Leo merasa sangat senang luar biasa. Ia bahkan mengusapkan tangan kanannya ke d**a untuk menunjukkan kelegaannya, disusul dengan merapalkan kalimat hamdalah, “Alhamdulillah. Terima kasih ya, Allah.. Aku benar - benar selamat sekarang,” ucapnya penuh rasa syukur. Namun sayangnya kesenangan dan perasaan leganya tadi tak berlangsung lama. Karena beberapa detik setelah euforia kemenangan itu terjadi, Leo merasakan sebuah tepukan berkekuatan sedang di pundaknya dari arah belakang. Merasakan itu, tentu saja menimbulkan efek samping terhadap tubuhnya. Tubuhnya tiba - tiba menengang dan terasa kaku. “Aduh! Ini si Bapak ternyata cerdik juga. Bisa - bisanya dia menipuku dan berbalik mengerjaiku. Nasib, nasib! Alamat nyampe rumah babak belur ini mah!” ucapnya dalam hati, disertai dengan perasaan kecewanya. Kecewa karena ia merasa bahwa kebahagiannya hanya berlangsung sementara. Sangat sementara hingga rasanya dalam sekejap mata semuanya berubah. “Hey! Akhirnya ketangkep juga kamu! Kenapa sih pake acara lari - larian segala? Bikin kita capek ngejar aja,” ucap seseorang yang berasal dari arah belakangnya. Leo yang pada saat itu merasa panik tanpa sadar menaikkan salah satu alisnya ke atas, setelah didengarnya suara seseorang itu. Kenapa suaranya berbeda? Ia masih hapal betul bagaimana tipe suara si Bapak tadi. Namun satu yang pasti, tentu bukan seperti ini. Lantas Leo pun membalikkan tubuhnya cepat ke arah belakang, dan menemukan keempat temannya di sana. “Ray! Ya ampun aku seneng banget ternyata yang nepuk aku tadi itu kamu,” ucap Leo histeris yang langsung menubrukkan dirinya ke arah Rayhan, memeluk Rayhan di hadapan ketiga gadis cantik itu. “Lebay banget!” cibir Luna, seraya menatap jengah ke arah Leo. “Bro, lepas bro! Saya malu diliatin banyak orang. Nanti dikira kita sepasang kekasih lagi! Mana kamu meluknya erat banget!” ucap Rayhan dengan suara risih, seraya berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan erat Leo. “Eh, iya - iya. Maaf. Tadi refleks saking senengnya. Tenang, Bro. Aku masih suka sama perempuan kok. Nggak inget? Gebetan aku banyak? Hehehe.” “Ya itu sih bisa aja cuma topeng buat nutupin kelakuan asli kamu. Banyak kok yang kayak gitu. Bahkan ada yang udah berpasangan, tapi hanya menjadikan status itu sebagai pelindung karena aslinya dia belok,” Luna mulai berucap nyinyir. “Jangan fitnah! Sotoy banget kamu jadi orang!” “Whatever! Ayo kita lanjut ke target yang kedua! Udah mulai panas nih. Kasian dua sobat anggun aku kalau harus panas - panasan,” ucap Luna meminta Leo agar kembali melanjutkan aksinya. “Aku nggak mau! Yang tadi yang terakhir pokoknya. Kapok aku. Baru target pertama aja udah gini, dikejar - kejar mau ditimpuk pake sepatu. Nanti - nanti aku mau diapain? Satu target aja cukup deh ya?” ucap Leo yang diakhiri dengan tatapan memelasnya. Yang sayangnya tidak berhasil membuat seorang Luna terketuk hatinya. Ia justru semakin gencar untuk menjahili laki - laki itu, bukannya kasihan. “Oh tidak bisa! Kesepatakan adalah kesepakatan. Nggak bisa diganggu gugat gitu aja, kecuali kita berdua sama - sama setuju. Dan di sini aku nggak setuju. Jadi kamu harus tetep lanjutin misi kamu!” ucap Luna tak ingin dibantah lagi. “Apa kamu nggak cukup puas? Liat aku kena semprot si Bapak tadi? Mau ditimpuk pake sepatu, sampe dikejar - kejar? Tega banget ya, kamu Lun! Ternyata kamu setega dan sejahat itu sama aku. Aku bener - bener kecewa sama kamu!” Leo berucap seraya menatap Luna dengan tatapan terlukanya. Yang entah betul apa tidak, entah merupakan akting atau memang nyata. Hanya Leo sendiri yang tahu jawabannya. “Nggak! Aku belum puas. Kenapa juga aku harus nggak tega sama kamu? Toh sebenernya juga tadi itu kamu nggak bener - bener dikejar sama dia. Si Bapak tadi palingan juga cuma ngejar sampe beberapa meter dari tempat awal. Kamunya aja yang lebay sampe lari sejauh ini. Nggak penting kali ngejar kamu. Si Bapak pastinya lebih mentingin kerjaannya dibanding ngejar kamu yang nggak ada untungnya buat dia. Palingan juga cuma kepuasan doang. Sorry - sorry to say, ya! Sama halnya dengan si Bapak tadi, aku pun nggak peduli tuh sama kamu. Memangnya kamu siapanya aku? Udah, ayo kita lanjut ke target kedua. Daerah sini aja deh biar AKU nggak harus capek jalan,” ucap Luna panjang lebar, yang diakhiri dengan menekankan satu kata yaitu aku, agar laki - laki di depannya ini tidak kegeeran. Nanti dikiranya si Luna perhatian lagi terhadapnya. Tak ingin membuatnya capek berjalan, padahal aslinya ditujukkan untuk Luna dan kedua sahabatnya. “Masa sih? Iya bro begitu? Aslinya si Bapak tadi nggak terus - terusan ngejar aku?” tanya Leo seraya menatap penasaran ke arah Rayhan. “aduh, rasanya sia - sia aku lari sejauh ini. Capek! Tau gitu aku dari tadi noleh ke belakang buat tau keberadaan si Bapak tadi. Kan nggak harus lari sampe secapek ini,” lanjutnya dalam hati, menyesali rasa ketakutannya. Karena kalau sejak awal ia berani melirik ke belakang, sudah dapat ia pastikan kalau ia tidak akan secapek ini. “Iya. Justru kita yang ngejar kamu dari belakang.” “Ya udah. Siapa target keduanya? Ini target terakhir ya pokoknya. Asli aku udah capek pake banget ini,” ucap Leo yang pada akhirnya menurut juga. Namun diakhiri dengan ucapan permintaannya. “Soal itu nanti aku pikir - pikir lagi. Target berikutnya adalah, itu! Si Bapak yang rambutnya panjang, dan memakai rok panjang. Ayo buruan beraksi!” ucap Luna seraya menunjukkan jari telunjuknya ke arah target yang dimaksud. Yang tentu saja berhasil membuat keempat orang itu menatap terkejut ke arah target. “Yang bener aja, Lun! Masa dia sih? Itu mah udah bukan Bapak - Bapak lagi. Udah jadi Tante - Tante. Nggak sesuai syarat ah!” Leo tentu saja menolaknya. Enak saja ia harus menggombali si Tante jadi - jadian itu. Mau dibayar berapa pun, sungguh! Ia tak mau!” “Aku nggak mau tau! Mau penampilannya seperti Tante - Tante, tetep aja kan dia aslinya laki - laki. Ayo buruan! Atau kamu mau, aku nggak pertimbangin permintaan kamu yang terakhir tadi? Mau tetep sepuluh target, atau justru mau lebih dari itu?” ucap Luan seraya mengancam, yang tentu saja berhasil membuat Leo ketakutan dan pada akhirnya menurut juga. “Oke. Aku ke sana. Awas aja kalau nanti harus tetep sepuluh target!” Dan Leo pun mulai berjalan menghampiri si Tante jadi - jadian itu. Ya meskipun dengan sangat terpaksa, tapi ya sudahlah. Yang penting persyaratan tadi akan direvisi kembali. Baru akan dua saja, target yang Luna pilihkan kepadanya sudah seperti ini. Bagaimana jadinya kalau sepuluh? Bisa - bisa Luna memintanya untuk menggombali pejabat negara lagi. Ya mana berani dia. Bisa diusir dia dari negeri ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD