Part 5

2790 Words
Keesokan harinya, seperti hari-hari biasanya, Luna selalu bergaya terlebih dahulu di depan kaca super panjang kali lebar miliknya sebelum keluar dari kamar tidurnya. Kali ini ia memakai celana jeans berwarna hitam yang dipadupadankan dengan sweater polos berwarna army. Melangkah maju dan berdiri tepat di depan kaca, Luna berpose semaunya. Dari yang awalnya berpose super cool dan keren, hingga begajulan bahkan sampai menari-nari tak jelas ia lakukan. “Luna! Kamu itu kenapa bisa keren banget sih?! Aku sampai ngefans banget sama kamu!” ucapnya berbangga diri, dan memuji diri sendiri. Bahkan ia berkata bahwa ia ngefens terhadap dirinya sendiri. Memang ada-ada aja tingkah konyol plus lebay yang Luna lakukan. Bagaimana tidak? Masa ngefansnya ke diri sendiri sih? “Terserah orang mau bilang apa. Mau bilang lebay kek. Konyol kek. Alay kek. Terserah! Yang penting aku bahagia kan? Self love itu baik, kok. Dari pada kita terus-terusan insecuer sama orang lain yang lebih-lebih segalanya dari pada kita, lebih baik kita bersyukur. Mencintai apa yang ada pada diri kita. Setiap dari kita memiliki keistimewaan masing-masing kok. Jadi kenapa harus insecure? Iya nggak?” ucapnya untuk lebih menguatkan diri sendiri. Menyayangi dan mencintai diri sendiri. Karena kita tau, kebanyakan orang sekarang lebih memerhatikan orang lain ketimbang memerhatikan dan memperbaiki diri sendiri. Kemudian mulai membandingkan apa yang ada pada kita dengan kelebihan yang dimiliki orang-orang. Dan berakhir dengan kita yang mulai insecure terhadap kelebihan mereka. Merasa dan menganggap kalau diri kita tidak istimewa, dan lain sebagainya. Apakah itu baik? Sehat? Sebenarnya Luna yang dulu tidak seperti Luna yang sekarang. Jujur, ia yang dulu ialah seorang gadis yang selalu insecure. Selalu merasa dirinya kurang dibandingkan dengan yang lain. Hingga setelah ia mengikuti sebuah talkshow yang bertemakan “Mari bersyukur, jangan insecure!” barulah ia secara perlahan mulai berubah. Lebih menyayangi dan mencintai dirinya sendiri, tidak membanding-bandingkan diri dengan yang lain, dan terus berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari yang sebelumnya. Bukankah itu lebih baik? Dari pada kita sibuk memikirkan kehebatan, kecantikan, kesuksesan, dan yang lainnya yang dimiliki oleh orang lain, lebih baik kita menyibukkan diri dengan cara memperbaiki diri. Kita memuhasabah diri, mengevaluasi bagaimana kita selama ini, kemudian memperbaiki apa yang menurut kita harus diperbaiki. Bukankah itu lebih mengefektifkan waktu? Dibandingkan waktu kita habis hanya untuk memerhatikan, membandingkan, dan merasa tidak seistimewa yang lain? “Hmm, kayaknya ada yang kurang deh. Tapi apa ya? Celana udah oke. Baju udah oke. Gaya rambut dikuncir kuda juga udah oke. Hmm, kayaknya kalau ditambah topi makin keren deh. Aku coba dulu ahh,” ucapnya yang kemudian mengambil topi berwarna navy, topi kesayangannya dikarenakan desain dan bahannya yang nyaman, kemudian kembali berjalan ke tempat semula. Di depan kaca super panjang kali lebar miliknya, dan kembali berpose sesuka hati. “Nah, ini baru cocok dan keren!” ucapnya senang seraya menjentikkan jari, kemudian mengambil tas ransel yang selalu dibawanya ketika hendak pergi keluar untuk berkuliah, dan mulai melangkah pergi keluar kamar untuk melaksanakan kegiatan rutin setiap paginya bersama sang Mama dan sang Adik tercinta, yaitu sarapan pagi bersama. “Selamat pagi semuanya,” sapa Luna dengan sangat riang. “Selamat pagi, Sayang,” jawab sang Mama di sela-sela kegiatannya menyajikan hasil masakannya yang baru saja ia buat. “Selamat pagi,” jawab Angga setelah ia selesai menyesap teh hangat hasil buatan sang Mama. “Wuihh, wangi banget makanannya. Penyajiannya juga nomor satu. Kayaknya sedepnya juga bukan main nih rasanya,”celoteh Luna seraya menatap makanan-makanan hasil buatan sang Mama dengan binar mata penuh minat. “Iya, dong. Udah pasti enak! Hasil masakannya chef Ratu kan emang nggak ada duanya. Iya nggak, Ma?” sahut Angga seraya menatap sang Mama dengan tatapan penuh bangga. “Kalian ini. Ayo silakan dimakan. Semoga rasanya nggak mengecewakan ya? Kan nggak lucu hasil masakan Mama udah dipuji-puji sama kalian setinggi langit, eh pas dimakan rasanya zonk. Kalian pasti akan nyesel udah muji-muji tadi,” ucap sang Mama dan mulai mempersilahkan kedua anak kesayangannya agar segera menyantap dan mencicipi hasil masakannya. “Nggak lah, Ma. Masakan Mama mana pernah mengecewakan lidah kita. Rasanya selalu memuaskan. Bahkan kalau Mama buka restoran atau catering, aku yakin pasti laku keras. Iya kan, Dek?” sanggah Luna, karena menurutnya hasil masakan sang Mama memang betul-betul enak. Apa yang ia ucapkan sejak tadi, memuji hasil masakan sang Mama, bukan hanya sebuah omongan belaka yang belum tentu kebenarannya. Tapi memang itulah kenyataannya. Hasil masakan sang Mama menurut pengalamannya selama ini, saat mencicipinya, tidak pernah ada kata failed (gagal). Tapi selalu enak dan memuaskan lidahnya. “Betul, betul, betul!” “Kalian berdua ini. Ya udah yuk kita mulai sarapannya. Jangan lupa berdoa dulu!” “Siap, Ma. Selamat makan semuanya.” “Selamat makan.” Dan ketiganya pun mulai memakan sarapan pagi mereka. Kali ini menu masakan yang dibuat sang Mama memang lebih spesial dari hari-hari biasanya. Lebih beragam, karena masakan kesukaan Luna dan Angga semuanya dibuatkan. Entah dalam rangka apa sang Mama menyiapkan sarapan sespesial ini. “Ekhem, ekhem. Ngga? Pacar kamu apa kabar? Kapan-kapan kenalin dong ke Mama. Mama kan pengen juga ngerasain rasanya ketemu pacarnya anak Mama. Calon menantu. Kayak temen-temen Mama yang lain,” ucap sang Mama di sela-sela kegiatan sarapan pagi mereka. Yang tentunya sontak saja berhasil membuat kedua anaknya menganga di tempat duduknya. Saking terkejut dan tak percayanya. “Pacar?” tanya Angga bingung, seraya menatap tak mengerti ke arah sang Mama. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Ia langsung paham dan mengerti setelah sang Mama memberinya kode khusus untuk ikut bergabung ke dalam dramanya. Kode khusus berupa menginjak pelan salah satu kaki Angga yang memang tersembunyi di bawah meja, serta mengedipkan salah satu matanya di saat Angga masih menatapnya dengan bingung, berbeda dengan Luna yang hanya kaget selama beberapa detik saja kemudian mengendikkan kedua bahu masa bodoh, dan segera kembali melanjutkan aksi sarapan paginya. “O—oh, itu. Pacar Angga ya? Hmm, alhamdulillah baik kok, Ma. Iya, alhamdulillah baik. Nanti ya, nanti pokoknya kalau udah nemu waktu yang cocok, Angga pasti bakal kenalin dia ke Mama dan Kak Luna,” jawab Angga yang berusaha untuk berucap santai, meski di dalam hatinya ia merasa dag dig dug campur aduk. “acting aku not bad kan ya untuk ukuran pemula?” tanyanya dalam hati setelah ia selesai berbicara. “Harus itu! Pokoknya harus kamu agendakan secepatnya,” sahut sang Mama seraya melirik singkat bagaimana respon sang anak pertama. Dari pengamatannya saat ini, Luna masih terlihat tenang-tenang saja. Dalam batinnya Ratu berkata, “ini anak nggak peka atau emang nggak peduli ya? Kok responnya biasa aja sih.” “Pasti, Ma. Siap laksanakan!” Angga berucap lantang yang diakhiri dengan mengangkat tangan kanannya, kemudian berlaga seperti seorang prajurit yang sedang hormat kepada komandannya. “Ekhem, ekhem. Kalau kamu gimana, Sayang?” melirik Luna yang sedari tadi hanya memilih diam, sang Mama pun gatal ingin segera masuk ke inti obrolan. “Gimana apannya, Ma?” tanya Luna seraya menatap bingung ke arah sang Mama. “Ini anak beneran nggak peka rupanya!” ucap Ratu yang kemudian menghela napas panjang, dan mengembuskannya secara perlahan, sebelum mulai berterus terang. “Ya kamu gimana? Kita kan lagi bahas Angga yang udah punya pacar. Kamu, gimana? Udah ada pacar belum? Selain ingin ketemu pacarnya Angga, Mama juga ingin dong ketemu pacar kamu. Mama ingin segera bertemu dengan calon menantu - calon menantu Mama.” Tanpa sadar Luna pun menghela napas panjang setelah mendengar ucapan sang Mama barusan. “Ternyata benar. Intinya adalah ini. Menanyaiku, apakah aku sudah punya pacar atau belum,” ucapnya dalam hati. “Kita kan masih seorang pelajar, Ma. Apalagi Angga masih kelas tiga SMA. Apa nggak terlalu buru-buru untuk ngenalin pacar ke Mama? Lagi pula kalau soal aku, udah berapa kali aku bilang ke Mama dan Angga? Aku nggak ada niatan untuk menikah. Ya kenapa juga harus punya pacar kan kalau gitu?” “Ya sebenernya nggak ada masalah kok kalau kalian masih pelajar. Temen-temen Mama bahkan anaknya baru awal-awal SMA udah ada yang ngenalin pacarnya sama Mamanya. Lagi pula sebentar lagi kan Angga juga udah mau kuliah. Udah saatnya kalian mikirin juga soal pasangan. Dan soal ucapan kamu yang terakhir, Mama nggak terima alasan itu. Kamu harus menikah! Mau pacaran atau tidak, kalian berdua harus menikah! Kalian berdua harus punya pendamping hidup! Mama bilang gini bukan hanya untuk kesenangan Mama pribadi. Tapi percayalah.. ini untuk kebaikan kalian juga. Atau kalian mau yang lebih islami? Nggak pacaran, tapi ta’arufan terus langsung menikah? Karena kan sebenernya pacaran katanya dilarang sama agama—“ “Memang dilarang, Ma. Ada dalilnya juga kok. Gini-gini juga Luna pernah dateng ke kajian. Dan kebetulan penceramahnya lagi bahas soal itu. Dalam islam tidak ada kata pacaran,” Potong Luna cepat. Sang Mama mengangguk-anggukkan kepalanya cepat saat terbersit beberapa kalimat untuk menyanggah apa yang Luna ucapkan barusan. “Wah.. Maa Syaa Allah.. Mama baru tau kalau kamu suka datang ke kajian.” “Karena diajak Clarissa sih sebenernya. Aslinya sih nggak mau dan nggak pernah kepikiran buat datang ke sana. Palingan juga isinya Ibu-Ibu semua. Tapi pas datang, ternyata nggak juga. Justru banyak anak muda mudi yang datang. Dan ternyata datang ke kajian nggak seburuk apa yang aku bayangin. Datang ke kajian asyik kok. Penceramahnya juga walaupun usianya jauh lebih tua dari pada kita, beliau bisa menyesuaikan. Jadinya kita nggak bosen dan sangat menikmati,” curhat Luna, menceritakan pengalamannya saat menghadiri kajian pertama kali. Dari yang awalnya ogah, menjadi betah dan tak masalah alias menikmati. “Ooo, bagus dong, Sayang. Mama seneng banget dengernya. Oh ya, kalau gitu kamu pernah denger dong kalau setiap manusia itu diciptakan oleh Allah berpasang-pasangan? Bahkan Mama pernah baca dari sebuah artikel, seorang psikolog dari Islamic Online University (IOU), namanya Hannah Morris kalau nggak salah. Beliau bilang kalau pernikahan itu sangat dianjurkan dalam islam karena beragam alasan. Salah satunya, untuk memberikan kenyamanan sekaligus perlindungan dari perbuatan zina. Dan alasan lainnya sepertinya kamu sendiri juga tau. Pasti dibahas kan waktu itu? Kan pembahasannya saling berkaitan.” “I—iya,” jawab Luna secara singkat. “Jadi?” sang Mama dan Angga pun kini menunggu jawaban Luna dengan hati harap-harap cemas. Harapan mereka, semoga saja Luna akan menyerah dengan statement-nya selama ini. “Jadi—“ Sebelum melanjutkan ucapannya, Luna memerhatikan terlebih dahulu bagaimana ekspresi kedua orang di hadapannya. Dan terlihat jelas sekali bahwa sang Mama dan Angga sangat berharap lebih akan jawaban positif darinya. Dengan raut wajah yang memperlihatnya senyuman manisnya, Luna berkata, “jadi aku sekarang udah siap untuk berangkat kuliah. Masakan Mama udah selesai aku makan. Enak banget! Selamat beraktifitas semuanya..” ucapnya kemudian menegak habis air minumnya, lalu bangkit berdiri untuk berpamitan dengan sang Mama dan Angga. Menyalimi tangan sang Mama serta mengecup dengan penuh cinta pipi sang Mama, kemudian mengelus penuh kasih sayang puncak kepala sang Adik. “Assalamu’alaikum.” Ucapnya lagi dan berlalu pergi meninggalkan sang Mama dan sang Adik yang terbengong-bengong di tempat duduknya. “Wa’alaikumussalam.” “Wa’alaikumussalam.” “Angga.. gimana ini? Kakak kamu itu kenapa segitunya sih? Mama aja udah move on loh dari kisah masa lalu Mama. Padahal kan seharusnya Mama yang lebih merasa terluka dibandingkan dia. Apa efek perceraian Mama dan Ayah kamu itu ke dia sebegitu dahsyatnya ya? Sampai dia setrauma itu. Mama jadi bingung harus apa supaya dia berubah.” Ratu berucap seraya menatap sendu ke arah anak laki-laki satunya, yaitu Angga. “Angga juga sebenernya bingung, Ma. Tapi nggak gitu juga sih, Ma. Terkadang memang bagi seorang anak, perceraian kedua orang tuanya itu jadi pukulan berat untuk mereka. Saking dahsyat dan membekasnya, bahkan rasa terluka mereka lebih-lebih lama efeknya dibandingkan sang pelaku, yaitu kedua orang tuanya. Seperti apa yang baru aja Mama bilang. Mama udah bisa move on dari kisah masa lalu Mama. Mama udah bisa berdamai dengan semua hal buruk terkait percintaan Mama di masa lalu dengan Ayah. Tapi tidak dengan Kakak. Aku pun sebenarnya masih agak kepikiran sih, Ma. Cuma ya perlahan aku udah bisa menerima soal perceraian Mama dan Ayah.” Angga menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan sebelum mulai kembali melanjutkan ucapannya. “Ini kemungkinan ya, Ma. Belum tentu iya kenyataannya seperti itu. Kalau menurut aku, mungkin karena Kakak sering menjadi saksi kisah rumit Mama dan Ayah, seperti dia yang sering memergoki Ayah suka pergi bareng sama Tante-Tante dibanding aku dan Mama, Kakak sering menyaksikan Mama dan Ayah bertengkar, bahkan aku pernah denger cerita Kakak kalau Ayah pernah main tangan sama Mama. Dan lain sebagainya yang sepertinya memang sangat menyakitkan bagi Kakak, ya makanya dia bisa setrauma itu sekarang. Dia jadi benci sama yang namanya laki-laki dan cinta, bahkan nggak mau pacaran apalagi menikah. Dia seenggak percaya itu sama yang namanya laki-laki dan cinta karena sikap dan prilaku Ayah dulu sama Mama dan kita.” “Terus kita harus gimana dong, Ngga? Apa kita bawa aja Kakak kamu ke psikiater ya? Siapa tau dengan begitu Kakak kamu bisa lebih menerima dan berubah?” ucap sang Mama meminta saran. “Hmm, kayaknya jangan dulu deh, Ma. Kakak kalau tau juga pasti nolak dan bahkan mungkin marah sama kita.” “Terus kita harus gimana kalau nggak gitu? Mama jadi merasa bersalah banget sama dia.” “Sabar, Ma. Tenang dulu. Coba Angga mikir dulu sebentar untuk cari solusinya.” Dan berselang beberapa detik setelah itu, Angga pun menatap sang Mama dengan pandangan berseri-seri. Ia akhirnya menemukan ide, yang Angga harap semoga ide itu adalah jalan keluar yang menghasilkan hasil yang baik. “Gimana kalau kita minta tolong sama kedua sahabatnya Kakak? Kak Ana dan Kak Clarissa?” “Minta tolong untuk?” “Jadi makcomblangnya Kakak. Mama minta tolong sama mereka untuk cariin Kakak laki-laki yang baik, yang setia, pokoknya yang baik-baik deh. Yang sesuai sama Kakak. Terus makcomblangin mereka. Buat gimana caranya Kakak sembuh dari traumanya secara alami tanpa paksaan. Kalau menurut Angga, kalau Kakak bisa ngerasain dan sadar kalau laki-laki itu nggak semuanya kayak Ayah, Angga yakin Kakak akan berubah. Perlahan dia akan percaya sama yang namanya laki-laki dan cinta. Mama tau sendiri kan? Dulu, Kakak sesayang apa sama Ayah. Ayah sakit demam aja dia sampai nggak mau berangkat sekolah kan? Pengennya selalu dekat-dekat Ayah, ngejagain Ayah, dan ngerawat Ayah sampai sembuh. Jadi Angga yakin, kalau Kakak kembali menemukan dan merasakan laki-laki yang tulus sayang sama dia seperti dulu sebelum Ayah berubah, Kakak yang dulu akan kembali. Nggak sedingin itu sama yang namanya laki-laki.” “Iya juga ya? Nanti deh Mama coba hubungin salah satu dari mereka. Semoga mereka bisa bantu, dan menemukan laki-laki yang tepat ya untuk Kakak kamu,” ucap sang Mama penuh harap. “Aamiin, Ma. Kita sama-sama bantu mereka lewat doa yaa.” “Pasti, Sayang. Apa pun untuk kebahagiaan kalian, Mama akan selalu usahakan dan doakan. Oh ya, Ngga. Mama jadi kepikiran sama satu hal deh setelah ngedengerin ide kamu tadi.” Mama berucap seraya mulai menundukkan wajahnya. “Apa, Ma?” “Kakak kamu, dulu sesayang itu sama Ayah. Secinta itu sama cinta pertamanya. Dan setelah Ayah kamu berulah, mematahkan kepercayaan kita, Kakak kamu berubah menjadi kebalikannya. Jujur, Mama merasa sangat bersalah sama kalian. Seharusnya Mama bisa menyelesaikan masalah Mama yang dulu tanpa melibatkan kalian. Secara baik-baik. Entah itu Mama yang harus mengalah atau menerima atas pengkhianatan Ayah dan rela untuk dimadu, atau—“ “Stop, Ma! Angga nggak mau denger apa-apa lagi. Jangan dilanjutkan. Mama harus percaya kalau mungkin ini yang terbaik untuk kita semua. Bisa jadi kalau kita sekarang masih bersama Ayah, dengan Ayah yang sudah memiliki perempuan lain, trauma Kakak akan lebih-lebih dari pada ini. Mungkin dia akan bertindak yang tidak-tidak. Kita nggak pernah tau. Jadi, kita cukup usahakan dan doakan yang baik untuk Kakak dan kehidupan kita sekarang, juga kedepannya. Masa lalu ya sudah, biarkan menjadi masa lalu. Toh nggak bisa kita ulang kan? Cukup kita jadikan pelajaran aja untuk di masa depan. Khususnya untuk Angga yang nantinya akan menjadi seorang Ayah dan kepala keluarga.” Mendengar semua ucapan Angga saat ini, bukannya tersenyum karena bangga, sang Mama justru menangis terisak-isak. Membuat Angga yang sejak tadi menatapnya merasa khawatir. “Lho? Kok Mama nangis? Kenapa, Ma? Angga salah ngomong ya? Maafin Angga, Maa.” Sang Mama menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, seraya berusaha untuk menghapus jejak air mata yang sudah mengalir deras, dan berusaha untuk menghentikan tangisannya. “Nggak, Sayang. Kamu nggak salah. Hanya saja Mama terharu setelah mendengar ucapan kamu barusan. Ternyata kamu sudah dewasa ya, Nak?” “Iya, dong. Angga kan udah kelas tiga SMA. Udah bukan anak SD lagi. Masa masih kayak anak kecil? Ya harus udah dewasa dong, hehe. Ya sudah, Angga berangkat ke sekolah dulu ya, Ma. Setengah jam lagi pintu gerbang sekolah kayaknya udah ditutup.” “Oke. Hati-hati ya! Jangan ngebut-ngebut bawa motornya! Nggak papa telat yang penting selamat.” “Oke, Ma. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Apakah rencana Mama Ratu dan Angga akan berhasil? Apakah harapan mereka akan segera terwujud?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD