Kafi sedang makan malam dengan lauk seadanya di warteg langganannya.
"Eh Mas Kafi, besok ikutan mancing yuk, Babe yang traktir." Babe Danu, pemilik kos yang ia tempati menawarkan untuk mengajak Kafi yang memang jago memancing untuk ikut dengannya.
"Enggak ada mancing duit ya beh, mancing ikan melulu, udah ikannya kecil, kulit gosong iya," ucap Kafi sambil mengunyah makanannya. Yang dibalas kekehan Babe Danu. Kafi memanggil lelaki di depannya ini dengan panggilan Babe seperti halnya orang-orang di lingkungan memanggilnya.
"Lu pergi mancing cewek sana, masih aja betah sendiri," kekeh pemilik warung pada Babe Danu yang memang tidak mau menikah lagi semenjak kepergian istrinya, untuk selama-lamanya. Laki-laki yang masih tampak gagah itu, lebih senang membesarkan anak perempuannya dan juga keponakannya yang sekarang sudah kuliah.
"Bisa diusir sama Maya kalau ketahuan Babenya ini bawa istri lagi. Tahu sendiri itu anak kayak macan." Babe Danu terkekeh mengingat kelakuan putri semata wayangnya tersebut.
"Biar si Maya atau Lia ponakan gue saja, yang bawa pulang menantu ke rumah, jadi, gue tinggal menanti cucu sebagai penghibur hari tua," ucap babe danu lagi.
"Gimana Mas ?" Tanya Babe Danu yang selalu memanggil Kafi demikian seperti hal nya Maya yang memanggil begitu jika sedang bersama Kafi.
"Maaf Be, tapi besok Saya ada acara. Doakan saja lancar ya," ucap Kafi tanpa menjelaskan dengan detail kemana ia akan pergi besok.
"Beb ... Iam home !" Teriakan nyaring bak tarzan ala Maya terdengar hingga ke warteg yang memang tidak begitu jauh dari rumah Babe Danu. Maya kadang memplesetkan panggilan Babe, menjadi Beb atau baby. Tapi kata Babe Danu, oke bae selama Maya seneng.
"Babe disini Non," teriak Babe sambil melambai pada putri semata wayangnya yang segera berjalan menghampiri Ayahnya tersebut.
Maya segera mencium tangan Babe lalu memesan makanan karena ia juga lapar.
"Mas Kafi, entar ajarain Maya belajar ya. Tugas dari kampus bikin Maya pingin gembok aja itu Dosen killer ke dalam ruang bawah tanah," ucap Maya asal seperti biasanya.
"Boleh, tapi temani Mas belanja kemeja dulu ya," pinta Kafi yang dibalas jempol Maya. Mereka seperti sepasang kembar, yang satu kalem yang satu meledak-ledak bak petasan. Saudara ketemu gede, kalau kata Maya.
Walau terlihat ceria, sebenarnya dalam hati Kafi mengkhawatirkan Ayahnya. Tapi Ibu melarangnya untuk pulang karena semua aman terkendali.
Kafi dan Maya segera pergi sebelum toko tutup. berjalan dari satu toko ke toko lain untuk mencari kemeja yang pas untuk Kafi. Hingga akhirnya mereka menemukan satu yang pas.
Saat dalam perjalanan pulang, motor milik Maya mogok. Mungkin kehabisan bensin karena tadi mereka tidak mengecek lagi.
"Aish ... kuning oh kuning, kenapa pakai acara mogok di jam malam gini,besok ane pijet ente ya biar sehat lagi," omel Maya pada motor maticnya seolah-olah itu adalah makhluk bernyawa yang paham ucapannya.
Kafi yang mendengarnya hanya geleng-geleng kepala pada mulut Maya yang bak kentongan bocor.
Untung ada bengkel terdekat yang masih buka di jam malam. Saat sedang menunggu, terlihat seorang gadis yang baru keluar dari warung nasi goreng di dekat bengkel tersebut. Maya menyikut Kafi karena melihat seorang laki-laki perlente yang mengikuti si gadis.
Tapi Kafi dan Maya urung beranjak. Mereka melihat si gadis yang terlihat berbalik dan malah menghadap si pengikutnya dengan tatapan berani.
"Ngapain ngikutin saya ?" Tanya si gadis yang Kafi ingat itu adalah gadis bernama Fara, yang tadi ditolongnya.
"Bagi duit dong, disini daerah kekuasaan gue, jadi kalau habis makan harus bayar." Si lelaki tertawa meremehkan melihat si gadis yang pasti beruang banyak.
"Lah emang habis makan bayar, kalau habis makan kabur itu geblek namanya," ucap Fara tidak merasa takut sedikitpun.
Si lelaki hendak maju memegang Fara yang segera mundur, karena ia tidak suka disentuh orang yang tidak dikenal. Apalagi dengan tampang m***m seperti itu.
Bugh !
Fara melongo demikian juga Kafi, karena tiba-tiba saja Maya bak dewi perang melesat dengan cepat dan memberikan bogem mentah pada si laki-laki yang hendak memalak Fara.
"Eh bang, itu otot ama tato aja lu gedein, tapi kerjanya malak. p****t lu bolong apa kagak sebenarnya," oceh Maya dengan mulut bak petasan seperti biasanya.
Si preman merasa marah dan hendak menyerang Maya, tapi Fara dengan sigap membuka sepatunya dan memukul kepala si preman dengan kuat. Bayangan seseorang melintas dalam pikirannya sehingga ia menjadi lebih berani.
Si preman yang makin marah hendak maju lagi, tapi langkahnya terhenti melihat Kafi yang saat ini berdiri di depan dua gadis sebagai tameng.
"Nahhh ...hadapin ultraman ini, jangan menang ketek bau doang !" Ejek Maya pada si preman, yang membuat Kafi geleng-geleng kepala pada mulut Maya yang seperti petasan dan juga ember pecah.
"Bang, nih duit, dah pergi aja," ucap Kafi memberikan uang pada si preman yang segera pergi, tapi dengan nada mengancam pada dua gadis di belakang Kafi.
"Ngapain dikasih duit sih, orang kayak begitu !" Kesal Fara pada Kafi yang malah membalasnya dengan senyum manis.
"Mungkin dia butuh uang, hanya caranya saja yang salah," jawab Kafi berusaha bijak. Tapi malah mendapat pelototan dari dua gadis di hadapannya.
"Bang ... udah selesai ni !" teriak orang bengkel mamanggil Kafi yang dibalas dengan acungan jempol. Setidaknya, dirinya selamat dari pelototan dua makhluk tuhan bernama perempuan.
"Eh ...kamu yang tadi pagi menolongku bukan ?" Tanya Fara mengenali pria yang telah menolongnya. Sedangkan Kafi hanya mengangguk mengiyakan.
"Apa Nio, eh maksudku Arsen, sudah memberikanmu uang ?" Tanya Fara yang dibalas anggukan Kafi.
"Baguslah, aku permisi dulu," ucap Fara hendak pergi.
"Jangan beli nasi goreng di dekat sini kalau malam,bahaya kalau kakak sendiri" ucap Maya pada Fara sebelum beranjak pergi. Ucapan Maya mengingatkannya pada seseorang yang telah tiada. Seseorang yang dekat dengannya sebagai sahabat baik.
"Iya, tapi nasi goreng disini enak," ucap singkat Fara lalu beranjak pergi. Dia enggak bakalan kapok untuk datang lagi, walau harus membawa pengawal untuk berjaga-jaga. Toh preman itu hanya sesekali muncul. Karena selama ini ia tidak mengalami gangguan seperti tadi.
"Buset dah, itu mulut apa enggak bisa bilang terima kasih atau thank you gitu ya. Sedari tadi Maya tungguin dia bilang terima kasih, tapi enggak ngucap juga," ucap Maya sambil terkekeh kecil menatap punggug Fara yang menjauh. Sedangkan Kafi hanya tersenyum sambil mengacak rambut Maya.
"Tapi, sepertinya itu anak orang kaya ya Mas, lihat aja mobilnya. Mungkin seharga dua rumah gedongan, ckckck," ucap Maya lagi, melihat Fara yang sudah masuk mobil.
Tapi Kafi sudah beranjak pergi tanpa mendengarkan ucapan Maya lagi.
Sementara itu, Fara yang masih menyetir sedang menelepon Luis. Lelaki yang sudah dipacarinya sejak satu setengah tahun ini. Lelaki yang akan segera mengikat pertunangan dengannya tidak lama lagi.
"Sayang ... temui aku di rumah ya, aku mau ajak kamu makan nasi goreng di warung kenalanku. Tapi nomor kamu enggak aktif sedari tadi. Tapi ini sudah aku belikan. Aku mau jumpa, karena besok aku akan keluar negeri bersama Gabi," ucap Fara sambil fokus menyetir karena ia menggunakan earphone. Setelahnya Fara segera mematikan sambungan telepon setelah mendapat jawaban oke dari Luis.
Fara bahagia menjadi kekasih Luis, karena pria itu sangat memahami kondisinya yang tidak suka disentuh secara berlebihan atau sekedar cipika-cipiki, bahkan ciuman bibir. Rasanya sangat menjikan jika dipeluk atau disentuh seseorang, walau itu kekasihnya.
Trauma pada kematian sahabatnya yang bunuh diri, membuat Fara menjadi seperti itu. Sahabatnya adalah korban perkosaan oleh orang yang baru dikenal oleh sahabatnya tersebut. Padahal Fara sudah menasehati sahabatnya itu untuk tidak bertemu, tapi dasar bandel, sahabatnya malah diam-diam bertemu hingga berakhir tragis seperti itu.
Mengingat semua itu membuat Fara merasa jijik jika disentuh secara berlebihan. Dan Luis memahami itu dan tidak menuntutnya macam-macam padanya, yang hanya bisa bersentuhan tangan saja. Walau Fara sangat tahu, terkadang Luis menginginkan lebih dari menyentuh tangan. Tapi, lagi-lagi, Luis bisa mengalah pada ketakutan Fara.
"Aku beruntung memiliki Luis," gumam Fara dengan senyum manis di bibirnya.