When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Empat puluh tiga “Sudahlah, Mbak. Jangan playing victim terus deh. Semua ini terjadi pasti karena kelakuan mbak juga. Orang baik kan ndak mungkin dapat cobaan seberat ini. Semua ini karena mbak itu cewek ndak bener!” ujarnya kasar. “Teganya kamu berkata begitu, Mima.” “Lho, ini bukan soal tega atau ndak. Ini masalah realita mbak.” “Kamu kalau ndak tahu apa-apa soal mbak lebih baik diam, Mima.” “Mbak ini loh, mulut kan mulut aku. Ya terserah aku mau apakan!” Jelita tak tahan lagi dengan semua tingkah adiknya itu. “Sudah, sebaiknya kamu kembali pulang ke Semarang, nanti mbak antar ke stasiun.” “Aku ndak mau!” “Untuk apa lagi kamu di sini, Mima?” “Suka-suka aku lah, aku mau apa aja terserah, om Ferdy aja ngizinin aku tinggal di sini!” “Ndak, sebaiknya kamu pulang ke rumah.” “’Oh,