Bab 4. Terpencar

2365 Words
Hari masih sangat pagi, matahari bahkan belum menampakkan secuil pun cahayanya. Tapi Elgan dan Wynn sudah menyeretku melewati rimbunnya hutan. Aku menggerutu keras-keras, memastikan baik Elgan yang berjalan di depanku ataupun Wynn di belakangku bisa mendengarnya. Gerutuan berubah menjadi makian kesal saat sesuatu yang keras menghantam belakang kepalaku, membangkitkan ngilu dari luka yang kembali terbuka. Tidak perlu menjadi pintar untuk tahu siapa yang bertanggung jawab atas benjolan kecil yang kini pasti menonjol di kepalaku. Memangnya siapa lagi yang dari awal sudah memancarkan aura membunuh dengan tatapan aku-pastikan-kau-mati-sebelum-sempat-melihat-pagi kepadaku selain Wynn? Pria itu tampaknya punya dendam pribadi padaku, mengingat bagaimana di tengah malam ia menarik keluar tubuhku dari ranjang hingga jatuh berdebum di atas lantai hanya untuk membangunkanku menguatkan opiniku tentang dendam kesumatnya. Dan aku bertaruh betapa senangnya dia berjalan di belakangku sehingga bisa menggorok leherku kapan saja dia mau. Satu jam kemudian, aku terlalu lelah untuk menggerutu atau sekadar menepis berbagai dedaunan dan serangga yang Wynn masukan ke balik bajuku hanya untuk membuatku kesal. Semakin buruk dan tidak bersahabatnya medan yang kami lalui juga membuatku mau tak mau fokus pada apa yang kupijak. Aku bersyukur kali ini mereka memberiku pakaian yang tidak terlalu mengerikan. Hanya kaos lengan panjang polos, jaket kulit, celana panjang dan bot selutut yang semuanya berwarna hitam. Keseluruhan penampilanku membuatku merasa seperti pembunuh bayaran dalam film-film bergenre aksi yang sering kutonton. Saat aku sudah bisa melihat sedikit dari sinar matahari yang bisa menembus rumpun dedaunan hutan, Elgan akhirnya bersuara, memecah keheningan tak mengenakkan yang tercipta di antara langkah kaki kami yang bergesekan dengan dedaunan kering. “Aku harap keadaanmu sudah lebih baik dari kemarin, Nona Shawn,” ucapnya berbasa-basi. Aku bergumam malas, sama sekali tak berniat membuang banyak tenagaku yang berharga untuk sekadar menjawab basa-basinya. Akan tetapi aku tahu dia ingin aku mengatakan sesuatu. Dan jawaban “Aku akan lebih baik lagi seandainya kita berhenti untuk sarapan.” kurasa adalah jawaban terbaik yang bisa kuberikan. Elgan terkekeh kecil, diikuti nada-nada mengejek tidak menyenangkan dari makhluk pirang di belakangku. “Jika beruntung kita bisa sampai di bukit pertama sebelum matahari di atas kepala. Lebih cepat kau berjalan, lebih cepat lagi kaki-kaki mungilmu itu membawamu pada makanan.” “Oh, apa ada makanan enak di sana?” Aku membayangkan ayam panggang dengan bermangkuk-mangkuk sup kuah kambing, kentang tumbuk, roti-roti lapis dengan keju dan selainya, buah-buahan segar dan berbagai makanan lain yang sukses membuat liurku menetes. Ew. Apa ada semacam desa di bukit yang Elgan maksud? Mendengar kata pertama membuatku berpikir pasti ada bukit kedua, ketiga dan seterusnya. Aku mengerang keras untuk pemikiran itu. “Ehem, semalam kaubilang akan melatihku, jadi untuk apa sekarang kita berjalan menuju bukit yang kausebut itu? Bukankah akan lebih baik jika kita berlatih di sekitar kabin?” Aku mendengar dengusan dari arah belakangku, dan meski aku tidak melihatnya tapi kurasa Elgan tersenyum di depan sana. “Banyak bertanya. Sebagaimana apa yang bisa diharapkan dari seorang Shuui Shawn.” Elgan mengucapkannya dengan nada sarkastis yang beberapa kali kudengar dari Wynn. Terdengar sama sarkastisnya ketika mulut menyebalkan Wynn yang berucap. Oh, dan aku mencium bau penghinaan di sini. Elgan bicara tanpa repot-repot berbalik atau memelankan langkahnya, “Jawaban pertama, ya. Aku akan melatihmu dan pelatihan secara langsung di alam terbuka adalah pilihan terbaik yang bisa kupikirkan.” Hal pertama yang kupikirkan setelah mendengarnya adalah ada sesuatu yang salah dengan pikiran Elgan. “Kurasa kau akan tahu jawaban dari kedua pertanyaanmu saat kita sampai di tempat tujuan. Dan coba kutebak, ini pertama kalinya kau menjelajahi hutan dan melakukan pelatihan, bukan?” Pertanyaan bodoh dan aku nyaris percaya beberapa saraf otaknya bergeser ke tempat yang tidak seharusnya. “Tentu saja,” jawabku cepat, “tidak setiap hari aku mendapat kehormatan menyelamatkan dunia asing dari tangan orang-orang kejam.” Aku tidak pernah berhasil menyindir seseorang, aku tahu itu. Tapi mendengar kalimat penuh penyesalan Elgan kemudian membuatku menyesali apa yang barusan kuucapkan. “Kau tidak sendiri. Delapan belas anak lain berjuang bersamamu tanpa kausadari. Dan kami sebagai Lyeam yang bertugas melindungimu akan mengusahakan cara agar kau setidaknya tidak mati dulu dalam pencarian gerbang pertama.” Wynn yang pandai sekali bermimikri dan menyembunyikan hawa keberadaannya selalu berhasil membuatku terlonjak setelah proses bungkam yang cukup lama. Dan di antara setiap kalimatnya yang dia usahakan dapat menenangkanku sama sekali tidak membantu. “Gerbang? Kalian tidak bicara apa pun soal gerbang dan Lyeam sebelumnya.” Wynn menoyor kepalaku dari belakang sampai aku nyaris mengeluarkan kalimat kotor untuk menyumpahinya. “Kepalamu yang kecil ini tidak akan sanggup menampung semua informasi secara bersamaan.” Aku benci mengakui penghinaannya barusan adalah sebuah kebenaran. “Masih ada banyak hal yang belum kau ketahui, tapi berlatih jelas adalah satu-satunya hal yang harus kaufokuskan saat ini.” Sesaat setelah Elgan mengatakan itu, dia tiba-tiba berhenti. Aku yang tak diberi aba-aba menabrak punggungnya, yang kusyukuri sangat kokoh sehingga kami tidak jatuh telungkup dalam posisi yang banyak dipakai dalam kisah roman picisan. “Ada apa?” tanyaku cepat, setengah waspada setengah kesal. Ada jeda panjang dan aku merasa Wynn merapatkan diri padaku di belakang sana. Aku menaruh kedua tanganku di bahu Elgan, yakin apa pun itu di depan sana dapat ia atasi. Tapi setelah menit-menit menegangkan dalam keheningan tidak wajar, Elgan berteriak panik, “Ke kiri! Arah utara, cepat!” Perlu beberapa detik untukku mencerna teriakan Elgan. Sebelum aku benar-benar memahami apa yang ia katakan, tanganku sudah ditarik oleh Wynn menjauh ke arah—yang sepertinya—utara. Aku kesulitan mengikuti langkah panjang Wynn, akar pohon yang mencuat dari tanah beserta dahan-dahan pohon yang harus kulewati menambah buruk usahaku melarikan diri. Tapi, melarikan diri dari apa? Segera setelah itu aku mendengar lolongan mengerikan, aku pastikan itu bukan suara manusia, tapi aku juga tidak pernah mendengar lolongan itu dari hewan mana pun. Lolongan diikuti geraman, suara sabetan, desingan benda logam di udara dan suara lainnya. Hutan yang tadinya sunyi kini penuh dengan berbagai suara. Burung-burung yang berhamburan sambil memekik ketakutan memperburuk suasana. Sebuah tombak menancap di tempat di mana sedetik sebelumnya aku berpijak, diiringi jerit tertahanku dan teriakan Wynn yang melarangku menoleh ke belakang. Apa itu mereka? Para makhluk berjubah hitam yang Elgan sebut Ors? Sejak kapan mereka punya senjata? Jika memang itu mereka, maka aku harus menekan ketakutanku. Aku tidak boleh merasa takut, tapi sebesar apa pun usahaku menumbuhkan keberanian, aku tetap merasa ketakutan. Kengerian menghadapi bayang-bayang kematian dalam kepalaku. “Jangan memikirkan apa pun, bocah imajinasi! Fokus saja pada jalanmu.” Aku menuruti perkataan Wynn, memfokuskan diri pada medan yang kulalui. Tapi suara-suara mengerikan di belakang sana mengundang kembali imajinasiku untuk masuk dan berkembang lebih menakutkan. Suara kini didominasi desingan-desingan aneh membelah udara. Dan aku hampir dapat melihat berbagai sinar di belakang kami sebelum Wynn menarik keras tanganku agar tetap melihat ke depan. Sihir! Aku yakin seseorang di sana menggunakan sihir. Entah itu Elgan atau si pengejar, yang jelas aku semakin ketakutan ketika tak kulihat Elgan di mana pun. Dia pasti sudah jauh tertinggal, menghambat makhluk apa pun itu untuk memastikan kami tetap hidup. Suara ledakan-ledakan kecil mulai terdengar, diakhiri ledakan besar sebagai penutupnya. Hutan kembali sunyi, tapi keheningan justru membuatku semakin gelisah. Aku meyakinkan diri bahwa Elgan memenangkan pertarungan dan baik-baik saja di belakang sana. Wynn masih menarikku berlari dan aku tidak cukup bodoh ataupun berani untuk berhenti. Setelah yakin kami cukup jauh dari tempat ledakan terakhir berbunyi, Wynn akhirnya berhenti, menjatuhkan diri di atas dedaunan kering dan berbaring di sana. Dia masih menggenggam tanganku dan aku mau tak mau berbaring di sampingnya. Sama-sama terengah, menatap sinar matahari di sela-sela pepohonan. Mendengarkan burung-burung yang kembali berkicau dalam suara merdu. Menghirup aroma hutan dan sesuatu yang basah. Basah. Aku jadi haus. Dan tempat apa pun yang berbau basah pasti mengandung air. Aku bangkit, menyentak tangan Wynn agar lepas dari genggaman kemudian mulai mengendus, persis seperti anjing liar yang kelaparan. “Kau sedang apa?” Wynn bangkit terduduk, kedua alisnya terangkat. “Aku haus,” jawabku sambil lalu. Alisnya kini bertaut bingung dan entah mengapa aku suka melihat wajahnya yang seperti itu. “Aku tidak tahu mengendus bisa mengurangi rasa haus.” “Aku mencium bau basah, Tuan Wynn yang genius. Dan apa pun yang basah pasti berhubungan dengan air,” ketusku menanggapi ucapan sarkastisnya. Wynn bangkit berdiri, menepuk puncak kepalaku dengan tangannya. “Bagus. Aku juga haus dan kelaparan. Teruslah mengendus, anjing pintar!” Dan aku melupakan fakta bahwa pria satu ini punya keahlian lebih untuk membalas semua sindiranku. Aku mengikuti bau basah itu sampai tiba di sebuah rawa. Rupanya Dewi Fortuna sedang cuti dari tugas memberiku keberuntungan. Air rawa berwarna hitam dan sangat kotor, aku tidak mau mengambil risiko sakit perut setelah meminumnya. “Ayo pergi,” kata Wynn, kembali meraih tanganku. “Kecuali kalau kau ingin mati mengenaskan oleh kutukan banshee.” Oh, benar. Aku lupa, beberapa rawa dihuni oleh banshee dan aku yakin makhluk mitos di duniaku merupakan makhluk yang biasa ditemui di dunia Wynn. “Kau sudah mendengar jeritan banshee?” tanyaku kelewat santai. Wynn menggeleng, aku bersyukur untuk itu. Mungkin tidak ada banshee di rawa ini dan aku sangat tergoda untuk memetik beberapa berry yang tumbuh di seberang rawa. “Jika kau berpikir untuk pergi ke seberang, maka kusarankan kau membuang jauh-jauh pikiran bodoh itu.” Aku melihat sesuatu yang ditunjuk oleh jari Wynn, hampir terlonjak saking terkejutnya. Oh, aku bahkan bisa mencium anyir darah yang sudah mengering dan bau busuk dari mayat yang entah sudah berapa lama mengambang di tengah rawa itu. Aku menarik-narik tangan Wynn, merasakan mual di perutku. Rasanya aku ingin muntah tapi aku belum makan apa pun sejak pagi sehingga tidak ada yang bisa kumuntahkan. Aku bersyukur Wynn mengerti maksudku dan menarikku menjauh dari rawa itu, mayat itu, dan buah berry yang manis itu. Ah, melihat mayat menjijikkan bahkan tidak meredakan rasa laparku. Setelah cukup jauh dari rawa, aku memberanikan diri bertanya, “Menurutmu dia mati karena apa? banshee atau dwiwozona?” Banshee adalah roh wanita dalam mitologi Irlandia yang suka menjerit di sekitar rumah penduduk untuk menandakan kematian, dalam kisah lain disebutkan bahwa banshee merupakan putri undine yang ditempatkan di beberapa rawa untuk menjaga daerah di seberangnya. Sementara dwiwozona adalah gadis iblis rawa dalam mitologi Slavia. Apa pun yang berhubungan dengan iblis jelas bukan sesuatu yang bagus. Wynn mempererat genggamannya pada tanganku, menekan sedikit ketakutanku. “Kurasa bukan keduanya, mungkin dia tewas kelaparan atau diserang binatang buas.” Aku tahu Wynn berbohong, mayat itu jelas mati karena salah satu dari banshee atau dwiwozona. Lubang menganga di d**a kirinya menyisakan luka mengerikan yang tampak ganjil, yang tidak mungkin merupakan hasil perbuatan manusia atau binatang buas. Tapi aku meyakinkan diriku sendiri bahwa jawaban Wynn adalah yang paling benar, karena hal terakhir yang kuinginkan adalah dikuasai ketakutan dan tertangkap oleh para Ors suruhan Dartagnan. Kami kembali menelusuri hutan, mengambil jalan ke timur seperti sebelumnya karena menurut Wynn, Elgan berniat membawa kami ke padang luas di balik bukit untuk berlatih. Wynn membuat berbagai perangkap dan tombak dari kayu untuk menangkap binatang buruan. Aku menemukan berbagai umbi-umbian dan berry hitam untuk mengganjal perut. Aku sangat bersyukur ketika sore harinya kami menemukan sungai, segera menghindarkan kami dari gejala-gejala dehidrasi yang mulai menyerang. Hari sudah sangat malam ketika kami sampai di lereng bukit pertama, kami memutuskan beristirahat sebentar dan menyalakan api untuk memanggang tikus hutan dan ikan. Tikus hutan! Aku hampir memuntahkan kunyahan berry dalam mulutku ketika Wynn berkata bahwa makan malam pertamaku di kabin adalah tikus hutan panggang. Tikus hutan itu sebesar kelinci jadi kupikir mereka membawakanku kelinci panggang. Mungkin tidak semenjijikkan tikus got atau tikus rumahan di duniaku, tapi tetap saja tikus, binatang yang tabu untuk dijadikan makanan. Setelah menghabiskan makan malam dan memadamkan api, Wynn menyuruhku mencari daun-daun lebar, aku menurut. Tapi ketika dia menyuruhku memanjat pohon besar yang sangat tinggi, aku mulai protes. Aku menolak membahayakan nyawaku. “Kita akan tidur di atas pohon, Nona Shuui Shawn.” Pernyataan itu sudah dia ulang sebanyak lima kali dengan berbagai penekanan yang berbeda. “Kenapa tidak tidur di bawah? Kalau sekadar untuk menghindari binatang buas, kita bisa menyalakan api unggun.” Aku masih menolak menukar nyawaku dengan tidur enak. “Dan pikirmu makhluk semacam ogre atau troll yang tadi siang mengejar kita akan takut pada api unggun cantikmu?” Ini buruk. Jika benar mereka memang ada dan sedang berkeliaran di tengah hutan untuk mencari mangsa, maka kami yang tidur di atas tanah tanpa perlindungan apa pun juga dalam keadaan yang sangat letih akan menjadi mangsa paling sempurna bagi mereka. “Aku juga lelah,” kata Wynn, “aku harus berjaga jika kita tidur di bawah. Sementara di atas sana kita bisa sama-sama beristirahat bahkan tanpa penjagaan sekali pun.” Setelah memikirkan berbagai pertimbangan dengan matang, tampaknya aku—dengan sangat amat terpaksa—lebih memilih risiko mati jatuh dari atas pohon daripada mati sebagai makan malam monster jelek. “Jika kita ada di atas, angin pasti bertiup lebih kencang dan udara akan lebih dingin. Kauyakin kita masih tetap hidup sampai besok tanpa risiko mati membeku?” Wynn memutar bola mata, iris ruby-nya tampak bersinar di tengah kegelapan malam, membuatku ingin menukar mata hijauku dengan sepasang iris merah itu. “Kaupikir untuk apa aku menyuruhmu mencari daun-daun besar?” Untuk selimut. Benar. Dia cukup pintar ternyata, karena aku tidak mau mengaku diriku bodoh. Memanjat bukan perkara gampang. Dan meski aku sering melakukannya sewaktu kecil, aku tidak pernah memanjat pohon dengan lingkar batang sebesar ini. Tetapi akhirnya kami sampai di dahan yang cukup kuat dan tinggi, Wynn mengajarkanku bagaimana cara membungkus tubuh dengan daun juga mengikat sabuk memutari pinggang dan dahan agar aku tidak jatuh saat tidur. “Kaulihat bukit di seberang sana?” tanya Wynn tiba-tiba. Aku mengangguk, tak punya cukup tenaga untuk sekadar menjawab pertanyaannya dengan gumaman. “Kita akan melewati bukit itu besok dan memulai pelatihan di sana.” Aku malah teringat pada Elgan dan menyadari bahwa kami terpisah entah berapa kilometer jauhnya. “Kita pasti akan bertemu dengannya di sana. Tapi, perjalanan akan sangat berbahaya. Aku tidak bisa memastikan makhluk atau monster apa saja yang bisa kita temui sepanjang perjalanan.” Aku menelan ludahku susah payah, membayangkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa kami temui. Dari semua yang terburuk, aku berharap tidak akan bertemu dengan Medusa, karena kekuatan matanya bahkan lebih menyeramkan daripada sharingan klan Uchiha. “Jangan berpikir aneh-aneh dan usahakan untuk tetap berada di dekatku, dengan begitu aku bisa melindungimu dan kita bisa selamat sampai tujuan,” katanya pelan. Aku pernah baca di sebuah buku, apa yang dikatakan seseorang sebelum tidur itu murni dari dalam hati. Sesuatu yang hangat menyerbu masuk dalam diriku, menyadari aku tidak sendirian di sini. Ada Wynn yang akan memastikan kami tetap hidup. Untuk pertama kalinya aku mensyukuri keberadaan Wynn, diam-diam mengucapkan terima kasih atas perlindungannya. “Terima kasih kembali.” Eh? Apa telingaku sedang menipuku? Aku baru saja mendengar Wynn mengucapkan “terima kasih kembali” padaku? Dan kalau kupahami lagi apa yang sebelumnya dia katakan, rasanya seperti dia menjawab setiap hal yang kupikirkan. Ini mengerikan. “Hei! Kau bisa ba—” Pertanyaanku terpotong oleh suara dengkuran halusnya. Aku mendengus keras, tapi setidaknya sekarang aku tahu dia tidak semenyebalkan itu. Mungkin kami bisa menjadi partner yang baik jika lebih lama bersama. Besok semuanya akan dimulai, pasti akan lebih melelahkan daripada hari ini. Dan aku harus mempersiapkan diriku untuk menuju ke balik bukit itu besok pagi, karena satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah menerima takdir ini dan menjalaninya. Aku bergelung dalam selimut daun di samping Wynn, rasanya hangat meskipun angin bertiup cukup kencang. Tak lama setelahnya aku sudah terlelap menjemput alam mimpi. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD