Bab 8. Pelatihan

1766 Words
Lima hari adalah waktu yang terlalu singkat untuk menyembuhkan diri dan menampung informasi. Tapi Elgan bersikeras mengatakan kami tak punya banyak waktu lagi. Dia menjelaskan beberapa hal padaku dalam waktu lima hari, terhitung sejak kejadian 'panah salah sasaran' itu. Dan aku sangat terkejut mendapati Wynn sembuh dengan amat cepat. Dia tidak terlihat seperti orang yang habis terluka sama sekali, membuatku yakin dia bukan manusia biasa. Elgan menepati janjinya untuk menjelaskan segala hal yang ingin kuketahui. Ketika aku bertanya apa itu Lyeam, dia menjawab, “Kami adalah Lyeam. Setiap Loyth ditemani dua Lyeam yang akan menuntun dan menjaga mereka untuk sampai pada Erzsebet.” Jadi aku menyimpulkan Lyeam adalah semacam pelindung. “Kembali pada Erzsebet,” kataku setelahnya. “Apa yang sebenarnya ada di sana sampai Dartagnan mau repot-repot menyembunyikannya?” “Kita sudah membicarakan ini.” Wynn mengerang. Tapi Elgan segera menyahut, “Bicara soal itu, aku bertemu teman lama dalam perjalanan kemari. Seseorang yang tahu banyak hal tentang Dartagnan dan apa yang terjadi di seluruh daratan Terra.” Dia melirik Wynn sekilas. “Menurut apa yang kudengar darinya, kemungkinan terbesarnya adalah Erzsebet menyimpan sisa dari kekuatan terkutuk yang tak sengaja telah menyatu dengan jasad seorang wanita.” Aku menaikkan alis. “Maksudmu, kekuatan itu ada dalam mayat seorang wanita?” “Ya dan tidak. Sebenarnya dia belum mati, hanya tersegel. Dan segelnya semakin melemah, Dartagnan memanfaatkan ini untuk mendapatkan kekuatan itu. Jadi kurasa tugas kalian para Loyth adalah untuk memperkuat segel agar kekuatan itu tidak lepas.” Aku meringis iba untuk wanita itu. Pasti menderita sekali hidup tapi bagaikan mati dengan kekuatan besar dalam tubuhnya yang diincar makhluk jahat. “Tapi bagaimana caranya kita bisa sampai ke Erzsebet?” “Melalui gerbang,” jawab Wynn. “Kau ingat portal hitam yang membawamu kemari?” Aku mengangguk. “Hanya Loyth yang bisa menemukan portal hitam. Portal itu akan membawamu pada setiap gerbang yang dijaga makhluk bernama Durward. Dan kau akan menemukan Erzsebet di balik gerbang kesembilan. “Kami bekerja keras untuk mengetahui cara membobol petahanan Dartagnan terhadap Erzsebet, jadi kami harap kalian para Loyth akan bekerja sama kerasnya untuk menemukan kota itu.” Aku bernapas lega, setidaknya aku tidak perlu melawan Dartagnan. Dan pembicaraan berakhir sampai di situ. Tapi sejauh ini kurasa mereka belum membeberkan semuanya dan hanya memberitahuku dasar-dasarnya saja. Maksudku, ayolah, Dartagnan pasti tidak akan senang jika kekuatan itu kami segel. Dia akan mengerahkan segala cara untuk mencegahnya. Bila tidak berhasil, dia setidaknya akan mengirimkan pasukan untuk balas dendam. Dan selama makhluk jahat itu masih hidup, kekuatan misterius dalam tubuh si wanita tidak akan aman. Jadi intinya, seseorang harus membunuh Dartagnan kalau mau tempat ini kembali damai, hanya jika tempat ini pernah damai. “Shawn, kau baru sampai di hitungan ketujuh puluh tiga. Belum boleh berhenti, ayo mulai lagi sebelum aku menyuruhmu mengulang dari awal.” Elgan memperingatkan, berlagak bak seorang Ibu yang marah karena anaknya tidak menghabiskan s**u. Aku mengerang penuh penderitaan. Sementara Wynn tampaknya telah jauh melampaui batas hitungan yang ditetapkan. Sial, dia kan Lyeam. Aku melanjutkan push-up ku. Setelah sebelumnya melakukan seratus kali sit-up dan berbagai gerakan aneh lain yang menyakitkan. Setiap gerakan membuat otot-ototku meregang dalam rasa sakit. Elgan bilang inilah yang ia sebut pemanasan kedua, tiga hari berjalan dari kabin itu pemanasan yang pertama. Sungguh, aku sekarang yakin memang ada sesuatu yang salah dengan kepalanya. “Kau akan merubahku menjadi mumi.” Aku mengerang, menjatuhkan diri di atas hamparan rumput yang terasa menyejukkan. “Jangan bersikap berlebihan. Kita bahkan belum memilih senjata yang cocok untukmu.” Elgan menyahut sementara dia membenarkan posisi Wynn dalam melakukan salah satu gerakan anehnya. “Apa aku harus memegang kapak? Atau mengayunkan gada seberat puluhan kilo?” Wynn mendengus keras. “Jangan konyol! Kau bahkan tidak bisa menggunakan belati, 'kan? Nah, aku yakin kau akan kesusahan hanya untuk mengangkat pedang dari sarungnya.” Aku terhina! Kulemparkan batu dengan tenaga yang tersisa. Batu itu jatuh satu meter darinya. Dia tertawa mengejek dalam suara yang sangat menyebalkan. Aku benci saat lemah begini. “Jangan seyakin itu, pirang!”   ***   “Yah, aku seharusnya lebih yakin dari itu.” Wynn memandangku dengan tatapan dan seringai mengejeknya sementara aku kesusahan mengangkat pedang di tanganku. Pedang ini seberat kira-kira tiga kilogram dan mereka berharap aku bisa mengayunkannya di udara?! Lupakan itu! Setengah jam berlalu dan pedang ini masih berada di ketinggian yang sama, masih menyentuh tanah. Entah Elgan sedang berusaha balas dendam padaku atas hidungnya yang kini bengkok dan tak pernah sembuh lagi itu atau apa. Rasanya dia akhir-akhir ini menjadi lebih kejam dalam memberikanku pelatihan. “Ini.” Elgan menarik salah satu pedang kayu dari tumpukan berbagai senjata (aku tidak tahu dari mana benda-benda ini berasal, Wynn bilang padaku ini milik mereka sebelum kemudian mereka tersedot portal dan bertemu denganku di hutan dekat kabin) dan menyodorkannya padaku. “Kita mulai dari yang lebih ringan.” “Ide bagus,” ucapku pelan, melepaskan pedang berat itu yang segera berdebum keras ke atas tanah. Tidak terlalu bagus sebenarnya, malah jauh dari kata bagus sama sekali. Sementara Wynn tengah berlatih dengan senjata anehnya (pedang perak yang bisa dipanjangan dengan rantai pada gagangnya), Elgan tampaknya berusaha menyiksaku dengan pedang kayu. Dia memperagakan kuda-kuda dan cara memegang pedang dengan kedua tangan yang harus kuikuti. “Kuda-kudamu harus kuat. Kau tidak akan mau jatuh di serangan pertama, 'kan?” Ya, tentu saja. Siapa yang mau. Tapi aku hanya membalasnya asal dengan gelengan kepala. “Saat kau berhadapan satu lawan satu dengan Shadeez, maka tidak ada kesempatan untukmu menang. Satu-satunya yang harus kaulakukan adalah lari. Shadeez tidak akan mati dengan serangan fisik atau tusukan senjata biasa. “Dia hanya bisa mati oleh senjata yang terbuat dari Aerhesui. Sementara yang bisa membuat Aerhesui hanyalah Elfynn yang memegang kendali atas batu alam aquamarine.” Nah, apalagi itu? Sebelum sempat bertanya, Elgan sudah mempraktikkan gerakan-gerakan lain yang mau tak mau harus kuikuti. Setiap gerakan membuat otot dan seluruh tubuhku menjerit protes minta berhenti. “Jika bertemu dengan gerombolan Ors, yang bisa kaulakukan hanyalah menekan ketakutanmu,” jelasnya lagi, “Ors makhluk buta dan tuli, mereka melihat dengan merasakan ketakutanmu. Mendengar dengan membaui kekhawatiran dan pikiran negatifmu. Selama kau tidak ketakutan atau merasa khawatir dan membersihkan pikiranmu, kau aman dan bahkan bisa berkeliaran di sekitar mereka.” Aku mengangguk mengerti, Elgan memosisikan diri menghadap ke arahku. Berlagak bak orang yang akan berduel. “Kalau kau berhadapan satu lawan satu dengan lawan, kuatkan kuda-kudamu dan tanganmu harus cepat menangkis pedang lawan ke mana pun ia menyerang.” Dia mengangkat pedang untuk menyerang, aku yang tidak siap malah mengayunkan pedang kayuku sembarangan. “Menyerang bila hanya ada kesempatan. Harus selalu siap! Jika seperti tadi, kau akan mati dalam dua kali serangan.” Dia membentak keras, terdengar seperti guru silat Martin saat membentak muridnya yang melakukan kesalahan. Dia kembali menerjang. Mengajariku cara mengayunkan pedang, menangkis serangan, gerakan menyerang bahkan gerakan mengecoh musuh secara langsung. Membuatku kewalahan. “Dalam pertarungan, lindungi bagian terlemah dari tubuhmu.” Dia sengaja menyerang ke bagian-bagian lemah tubuhku. “Organ-organ vital.” Dia mencoba menyerang bagian d**a, perut dan kepalaku. “Titik-titik lemah yang jika tersentuh akan sangat fatal akibatnya,” Pedangnya mengayun ke leherku, aku bersusah payah menangkisnya, “dan jika ada, bagian tubuhmu yang terluka. Lawan akan memanfaatkan itu untuk menyerang. Tapi jangan perlihatkan seolah-olah kau sedang melindungi bagian-bagian yang kusebutkan tadi. Lawan akan langsung menyadarinya dan mengambil kesempatan itu.” Berkali-kali pedang kayunya mengenai tangan, kaki dan bagian tubuhku yang lain. Meninggalkan ngilu dan menambah rasa sakitku menjadi berkali lipat lebih menyakitkan. “Apa yang kaulakukan ini tidak bisa disebut serangan ataupun pertahanan, jika kita menggunakan pedang sungguhan, kau sudah teronggok jadi mayat sedari tadi.” Terdengar suara erangan Wynn. Saat aku menoleh, pria itu sedang terduduk sambil berusaha menghentikan aliran darah dari tangannya. Aku lengah. Elgan memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerangku, semakin memojokkanku hingga aku hampir terjengkang ke belakang. “Jangan pernah mengalihkan perhatianmu dari lawan! Sekali kaulengah, kau akan kalah!” Dia berkata keras-keras, dengan penekanan di setiap katanya. “Pegang senjatamu dengan kuat! Lawan bisa menyingkirkannya kapan saja. Bertarung tanpa senjata sama saja dengan melemparkan dirimu ke kawanan singa.” Dia memukul keras pedangku sampai benda itu terlepas dan terlempar agak jauh. Aku jatuh terduduk, terengah-engah, menatap Elgan yang sama sekali tidak menunjukkan kelelahannya. “Jangan pernah melepaskan senjata dari tanganmu, lawan akan mengambilnya. Dan saat itu terjadi,” dia mengambil pedang kayuku, mengayunkannya hingga mengapit leherku di kedua sisi, “kau akan mati.” Aku menatap ngeri padanya, dia menaruh kedua pedang itu bersama senjata yang lain. Kemudian menghampiri Wynn dan menyembuhkan tangan pria itu. Kukira aku diizinkan istirahat setelah ini, tapi ternyata Elgan tidak puas dengan latihan pedangku. Dia mengganti senjata dan menyodorkan sebuah busur silang. Kurasa aku lebih menyukai panah manual yang lebih tradisional dan sederhana. Sasarannya adalah sebuah pohon yang telah diberi tanda silang (kami bergeser ke arah lereng yang ada pohonnya). Aku harus menembakkan anak panahku ke titik persilangan itu. Sama sekali tidak mudah. Anak panahku hanya berhasil menyerempet sisi pohon. Arahan (baca: bentakan) Elgan dan ejekan Wynn sama sekali tidak membantu, malah makin memperburuk konsentrasiku. Dua jam kemudian, saat anak panahku hanya berhasil mengenai garis silang atas, Elgan mengakhiri pelatihan dan mengizinkanku beristirahat. Aku dan Wynn langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk pergi ke danau dan membersihkan diri. Rasanya segar sekali bisa berendam di dalam air, mengingat mandi adalah suatu kemewahan yang tidak bisa kunikmati selama menelusuri hutan bersama Wynn. Saat kami kembali, Elgan sedang memanggang tikus hutan. Aku masih mau muntah saat membayangkan harus memakannya, jadi Wynn memberiku berry mengenyangkan itu lagi. Entah kapan dia memetiknya. Kami tidur setelah menghabiskan makan malam. Sudah dua hari ini kami tidur di bawah hamparan bintang, aku bersyukur selama kami di sini hujan tidak pernah turun. Biasanya mereka akan bergantian berjaga, tapi tidak pernah sekalipun menginjinkanku melakukannya. Padahal mereka butuh istirahat dan aku kelebihan istirahat. Aku tahu aku masih lemah, tapi seandainya terjadi sesuatu pun aku akan langsung membangunkan mereka. Aku tidak akan bertindak bodoh dengan melawan bahaya sendirian. Malangnya, usulku yang satu ini tidak pernah diterima.   ***   Rasanya baru semenit aku memejamkan mata saat terbangun oleh suara orang yang sedang mengobrol. Ketika membuka mata, aku hanya dapat melihat punggung Elgan yang tengah menghadap api unggun. Di belakangku pastilah ada Wynn dalam posisi yang sama. Ini formasi untuk menjagaku, tapi biasanya hanya salah satu dari mereka berdua yang terjaga. “Setidaknya sekarang aku tahu kau sudah lebih dari mampu untuk melindungi dirimu dan orang lain.” Suara Elgan terdengar begitu lirih, seakan ada sesuatu yang sebelumnya membuat ia begitu tertekan. Kudengar ia menghela napas berat sementara Wynn masih bergeming di belakang sana. “Aku senang sekarang kau bisa lebih peduli pada orang lain. Aku tak pernah melihatmu seperti ini sebelumnya, 'Wynn yang memikirkan keselamatan orang lain dan tidak hanya peduli pada dirinya sendiri'.” Elgan terkekeh untuk perkataannya sendiri. “Keputusan dia untuk menyertakanmu bukan ide yang buruk, bukan?” “Kau membuatku terdengar seperti egois yang tidak berperasaan,” sahut Wynn. “Kau masih egois yang tidak berperasaan jika tetap tidak mau mengakui bahwa dirimu—” “Kita sudah pernah membicarakan ini, Elgan.” Wynn menyela, dalam geraman amarah tertahan. Ini kali pertama aku mendengarnya memanggil nama Elgan. Dan aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pria bermata sehitam jelaga itu. “Aku,” Elgan menghela napas, “bertemu Ayahmu.” Ada jeda yang panjang sebelum Wynn menyahut dalam suara lebih tenang namun sarat akan dendam dan kesedihan, “Kautahu aku masih tidak ingin mengakuinya sebagai Ayahku. Lagi pula, orangtuaku sudah mati karena Shadeez terkutuk itu.” Elgan terkekeh lemah, terdengar menyedihkan di telingaku. “Bicara soal Shadeez, yang kautemui di hutan itu aku. Bukan Shadeez yang membunuh orangtuamu.” []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD