Bab 2. Penyelamat

2024 Words
“Berisik!” Aku mengerjap beberapa kali, silau karena cahaya yang menusuk mata. Kembali bangkit dari adegan terjengkang tidak indah, aku menyipitkan mata dan melihat wajah yang menjadi sumber malapetaka keterjengkanganku. Pemilik dari suara menyebalkan itu ternyata seorang pria yang tampaknya lebih tua sekitar tiga tahunan dariku. Dia punya wajah yang sama menyebalkan dengan suaranya. Rambut pirangnya menutupi sebagian dahi, sementara bagian dahinya yang lain terekspos bebas. Sepasang iris merahnya menatap garang padaku, dan aku mendadak merasa takut. Bukan takut seperti ketika kau melihat hantu, ketakutan ini jelas lebih rumit dari itu. “K-kau ma-manusia?” ucapku tergagap, sesaat agak ragu melihatnya berjengit terkejut. “Anggap saja begitu.” Tatapannya berubah bingung, kedua alisnya saling bertaut dan aku bertanya-tanya akan setampan apa jika ia tersenyum. “Berkedip.” Sial. Dia menyeringai. “Aku tahu aku ini tampan, tapi jangan menyiksa matamu sampai lupa berkedip seperti itu.” Aku menyumpah pelan, mengalihkan mataku pada sosok yang berdiri di belakangnya. Pemilik suara kedua. Dia tersenyum ramah, garis tegas di wajahnya membuatku mengira-kira usianya sekitar dua puluh delapan tahun atau lebih. Tipikal pria tenang dan berwibawa. “Selamat datang, Nona,” ucapnya penuh penghormatan. Aku mengerjap, merasa bingung. “Kau juga bisa menganggapku manusia.” Dia kembali tersenyum, membuatku semakin bingung. Dalam keadaan normal aku mungkin akan berteriak, “Pikirmu aku peduli?!” padanya, tapi sayangnya, tenagaku sudah nyaris tidak tersisa untuk mengatakan kalimat tidak penting begitu. “Siapa kalian? Kenapa ... kalian berkata seolah-olah kalian bukan manusia? Apa kalian salah satu dari mereka? Kalian di sini untuk menangkapku?” cecarku, mengabaikan rasa sakit yang sedari tadi menyiksa seluruh tubuhku. “Keingintahuan berlebih bisa mencelakaimu,” ujar si pemilik suara kedua, sama sekali tidak menjawab rasa penasaranku. “Itu tidak menjelaskan apa pun.” “Aku memang tidak berniat memberi penjelasan,” katanya, “mungkin, tidak di sini.” “Aku tidak mengerti.” “Tidak ada yang perlu kau mengerti. Kau hanya harus tahu dan paham pada tugasmu.” Kerutan di antara alisku semakin dalam sampai aku meringis karena rasa sakit yang ditimbulkannya. “Tugas? Sebenarnya apa yang sedang kaubicarakan?” “Senior, kepalanya baru saja menubruk tanah dengan keras. Kau akan membuatnya semakin pusing dengan mengatakan kalimat ambigu seperti itu.” Pemilik suara kedua mengangguk. “Kau benar. Kalau begitu mari kita bicarakan di tempat yang lebih aman.” Tatapannya kembali padaku. “Tapi sebelumnya, aku rasa kau butuh istirahat dan...,” dia mengendus beberapa kali, “membersihkan diri.” “Ya, terlalu dekat dengan mereka membuat baumu sama busuknya dengan mereka.” Si pirang menimpali, yang Cuma kujawab dengan gerutuan singkat. Ketika si pirang berjongkok dan tangannya terulur di depan wajahku, aku hanya menatapnya curiga sebelum kemudian bertanya, “Bagaimana aku tahu kalian tidak berniat mencelakaiku?” “Apa kami terlihat seperti orang jahat?” Dia balik bertanya. “Itu tidak menjamin apa pun.” “Di saat seperti ini, tidak ada lagi yang bisa kau percaya selain kami.” Ada benarnya. Aku menyambut uluran tangannya ragu-ragu. Dia menarikku sangat keras sampai membuatku menubruk tubuhnya dan membangkitkan kembali rasa sakitku yang semakin menjadi-jadi. Aku mengerang, kembali jatuh terduduk karena kakiku sudah tak mampu menahan berat badanku. Si pirang berdecih, berbalik menatap pemilik suara kedua. “Senior?” panggilnya dengan nada bertanya. Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan selanjutnya karena mereka bicara lewat bahasa yang tidak kupahami. Mereka hanya saling melemparkan tatapan, melotot, mengedikkan bahu, mengerutkan dahi, diakhiri dengan dengusan keras si pirang. Aku tidak pernah belajar bahasa tubuh dan tidak berminat mempelajarinya sama sekali. Si pirang (aku harus bertanya siapa namanya) kembali menatapku, berjongkok dan secepat kedipan mata aku sudah berada dalam gendongannya. Oh. Oh, ini memalukan. Aku berontak. “Apa yang kaulakukan? Turunkan aku!” Dia kembali menyumpah, matanya menatapku dengan berang. “Kalau kau bisa berjalan aku tidak akan sudi repot-repot menggendongmu. Jadi diam saja dan jangan banyak bergerak. Kau benar-benar merepotkan, dasar bocah!” Kami (kecuali aku yang masih dalam gendongan si pirang) mulai berjalan. Memberengut tak suka, aku mencebik, “Aku bukan bocah.” Si pirang menatap lurus ke depan, mengikuti langkah seniornya yang sedang bersusah payah menyingkirkan dahan dan dedaunan. “Di bawah tujuh belas tahun, berarti kau masih bocah.” Aku mengerjap, menatapnya dengan mata menyipit curiga. “Bagaimana kautahu usiaku? Kau penguntit?” “Bisakah kau tidak banyak bertanya dan diam saja?!” bentaknya kesal. Hei, aku yang seharusnya kesal. Untuk kali ini aku menurut, bukan mematuhi perintahnya tapi karena aku lebih menyayangi kepala dan seluruh tubuhku yang kian lama kian terasa menyakitkan. Aku mengendus, mencium bau anyir darah memenuhi indra penciumanku. Tanganku bergerak mencapai kepala yang terasa panas dan sedikit basah, diiringi desahan napasku saat kulihat telapak tanganku berlapis cairan kental merah serupa darah. Itu memang darah. Aku bahkan tak ingat terakhir kali berdarah seperti ini. Rasa perih di kepalaku semakin terasa setelah aku sadar aku berdarah, bukan hanya kepala tapi dahi dan lenganku juga ternodai cairan kental itu. Mencari pengalih perhatian, aku menyadari ada yang janggal dengan jalur yang kami lalui. Pemilik suara kedua menuntun kami untuk tidak berjalan di jalan setapak. Membuatnya menyibukkan diri dengan menyingkirkan apa pun itu yang menghalangi jalan. Tak tahan dengan rasa penasaran, aku akhirnya memutuskan untuk bertanya, “Kenapa kita tidak berjalan di jalan setapak?” Agak aneh menyebut kata “kita” sementara yang sedari tadi berjalan hanya mereka berdua. Si pirang melirikku sebentar sebelum kembali memfokuskan pandangan ke depan, merunduk melewati dahan yang terlalu besar untuk disingkirkan. Merasa diabaikan, aku memukul dadanya pelan, membuatnya—pura-pura—meringis menahan sakit sembari melirikku tajam. “Tidak sopan mengabaikan orang yang bertanya padamu,” kataku. “Tidak sopan memukul orang yang membantu menggendongmu.” Tidak ada yang lebih menyebalkan selain dilempari kata-katamu sendiri. “Aku penasaran,” ketusku. “Di mana kau bisa menemukan jalan setapak di tengah hutan belantara seperti ini, hah?” Hutan belantara. Ada yang janggal dengan kata 'belantara' meski sebenarnya segala hal terasa janggal semenjak ketiga makhluk aneh itu mengejarku. Aku yakin Martin tidak akan mengajakku berkemah di tengah hutan yang bahkan tidak ada jalan setapaknya. Apa lubang hitam itu benar-benar membawaku ke dimensi lain? Kepalaku yang memang sangat sakit bertambah menyakitkan ketika aku berusaha mengolah kejadian tak masuk akal ini. Aku merasa ini tidak akan berakhir baik. “Jadi tuan-rambut-pirang-menyebalkan,” aku memberi penekanan di setiap katanya, “katakan padaku, apakah aku masih berada di hutan yang sama dengan hutan tempatku berkemah? Atau aku tersedot ke dimensi lain dan terjebak di negeri dongeng Narnia seperti para Pevensie bersaudara? Atau mungkin—” “Kau bisa diam tidak? Telingaku sakit mendengarmu bicara tepat di depan telingaku. Dan jangan lagi panggil aku rambut pirang menyebalkan, kau lebih menyebalkan dariku jika kau ingin tahu.” Bagus. Dia marah. Satu poin untukku. Hebat sekali, bukan, aku? Membuat orang yang menolongku marah dalam waktu kurang dari setengah jam. Tapi, hei! Aku bahkan tidak tahu mereka berniat menolongku atau malah mencelakaiku. Untuk saat ini, anggap saja mereka malaikat penolong yang datang untuk menyelamatkan nyawaku. Soal para malaikat ini akan berubah bertanduk atau tidak, itu urusan nanti.   ***   Sinar temaram lampu minyak menyapaku saat aku terbangun di ruangan asing yang tidak kukenali. Memoriku berputar-putar mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Ah, aku ingat, sepertinya aku tertidur saat di perjalanan saking bosannya tidak ada yang mengajakku bicara. Aku bertanya-tanya berapa lama aku tidur karena—sepertinya—hari sudah tampak gelap. Mataku mencoba beradaptasi dengan lingkungan sekitar, ruangan ini tidak terlalu luas tapi juga tidak terlalu sempit. Dinding didominasi oleh kayu yang ditumbuhi tanaman rambat di beberapa bagian. Bau debu dan ruangan yang terasa lembap meyakinkanku bahwa tempat ini tak terawat dalam waktu lama. Aku berbaring di atas ranjang dengan seprai kotor yang sudah ditambal di sana-sini. Di sebelah ranjang terdapat nakas, dan di atas nakas ada lampu minyak yang masih menyala. Siapa pun pemilik tempat ini, dia benar-benar tidak mengenal kecanggihan teknologi bernama “listrik”. Banyak terdapat rak berisi buku-buku tua berdebu di sekitar dinding, di tengah ruangan ada semacam meja makan bundar dengan tiga kursi. Puas melihat pemandangan sekitarku yang mengecewakan, aku beralih melihat keadaanku sendiri, yang sebenarnya lebih menyedihkan lagi. Aku masih memakai baju yang sama, sekujur tubuhku juga masih terasa kotor dan lengket, sepertinya seseorang sudah melepas sepatu botku karena kakiku terasa lebih dingin dan bebas. Tanganku beralih menggapai kepala yang kurasa sudah diselimuti perban di sana-sini. Aku mencoba bangun, terkesiap kaget saat melihat sesosok makhluk yang kemudian kukenali sebagai si pirang. Dia duduk di sofa dengan santai, kaki kanannya ditumpangkan di atas kaki kiri. Tangannya bersedekap di depan d**a sementara matanya menatap menyelidik ke arahku. “Kau sudah bangun?” “Kau pernah melihat orang tidur dengan mata terbuka dan tatapannya fokus?” Dia mendengus. “Masih sakit?” “Kalau maksudmu seluruh tubuhku, jawabannya ya.” Pandanganku menyapu sekitar, saat aku yakin tidak menemukan apa yang kucari di mana pun, aku bertanya padanya, “Di mana pemilik suara kedua?” Dia mengerutkan dahi dan aku merutuki diri. Aku lupa dia tidak tahu aku menyebut temannya dengan sebutan pemilik suara kedua. “Seniormu,” ralatku. Dengan dahi yang tambah berkerut dia menjawab,”Berburu,” jeda sebentar, “mencari makanan.” Aku ber-oh ria, tidak yakin apa yang bisa kulakukan dengan informasi yang kuterima. “Tempat apa ini?” Mataku kembali bergerak menyapu sekitar. Dia mengangkat bahu, kemudian berdiri. “Kabin yang kami temukan di tengah hutan. Mandi sana, kau bau. Aku sudah menyiapkan pakaian yang lebih pantas untuk kaupakai.” Aku melempar tatapan tajam kepadanya, tapi dia sama sekali tidak melihatku dan malah berjalan keluar. “Kau mau ke mana?” “Membantu Senior. Aku akan segera kembali,” jawabnya tanpa berbalik melihatku. Tangannya dimasukkan ke saku celana, aku baru sadar baju yang dipakainya agak aneh. Baru kali ini aku melihat orang memakai baju seperti itu secara langsung, biasanya aku hanya melihatnya di film-film, komik fantasi dan para cosplay—costume player. Imajinasiku mulai menyusun kemungkinan, apa mungkin aku memang benar-benar terjebak di dunia fantasi? Seperti dalam Alice in Wonderland misalnya? Atau Narnia? Bagaimana kalau nanti aku diminta mengalahkan penyihir putih jahat bernama Jadis? Baik, imajinasiku, cukup sampai di sini. Jangan membuatku tambah konyol dan ketakutan. Tapi kemudian aku melihat ada yang janggal dengan caranya berjalan, dia menyeret kaki kirinya sambil menahan sakit. Aku merasa sedikit bersalah ketika logikaku mengatakan dia terluka sebab terlalu lama menggendongku.   ***   Aku selesai mandi dan berganti pakaian tepat ketika si pirang—aku benar-benar harus menanyakan namanya—dan seniornya masuk membawa apa yang terlihat dan tercium seperti daging panggang. Cacing-cacing dalam perutku langsung bereaksi saat aku ingat belum makan apa pun sejak tadi siang. Aku menghampiri mereka yang duduk di meja makan. Si pirang membuang muka saat melihatku, sementara pemilik suara kedua kembali tersenyum ramah. “Kau terlihat lebih baik,” ujarnya, mengamatiku dari atas sampai bawah. Aku tidak tahu itu sebuah pujian atau ejekan, karena aku sendiri sadar betapa konyolnya diriku. Mereka memberiku pakaian yang sama anehnya dengan mereka. Mungkin tidak terlalu aneh, hanya baju polos lengan panjang selutut berwarna merah padam dengan tudung jubah serupa yang terpisah. Tudung jubahnya tidak kupakai, aku tidak mau terlihat seperti gadis berkerudung merah yang mengantarkan kue untuk neneknya di tengah hutan. Bawahannya celana ketat dengan sepasang bot sebetis berwarna serupa. Aku terpaksa memakai bot ini karena tak bisa menemukan botku di mana pun. Aku balas tersenyum, hanya sebagai bentuk formalitas dan keramahan. “Hm, terima kasih.” Dia mengangguk, kemudian mempersilakan kami menyantap hidangan seadanya. “Jika aku boleh tahu, siapa namamu, Nona?” Pemilik suara kedua bertanya setelah kami menghabiskan makan malam itu. Aku menggeleng cepat, sedikit menyesal karena rasa sakit yang ditimbulkannya. “Tidak usah seformal itu, dan jangan panggil aku nona, Tuan. Namaku Shuui Shawn. Terima kasih karena sudah menolongku.” Aku mendelik si pirang yang kentara sekali menahan tawa setelah mendengar namaku. Aku tahu namaku terdengar aneh ketika disandingkan dengan margaku, tapi bukankah tidak sopan menertawakan nama orang yang baru kaukenal? Terlebih orang itu adalah seorang gadis. Kau bisa membuatnya tersinggung, kautahu? “Tidak, kami yang seharusnya berterima kasih karena kau ada di sini, Nona Shawn.” Alisku bertaut, bingung. Sejenak penasaran kenapa rasanya tidak sakit. Tubuhku sepertinya sudah lumayan membaik dan kini giliran isi kepalaku yang harus mengalami nasib malang. “Cukup Shawn, dan apa maksudnya berterima kasih karena aku ada di sini? Oh ya, aku juga belum tahu kalian ini siapa, atau kenapa kalian menolongku, atau di mana aku sekarang, sebenarnya banyak sekali yang ingin kutanyakan pada ka—” “Hei, pelan-pelan. Kami belum terbiasa dengan bahasamu,” sela si pirang. Dia melirik pemilik suara kedua sebentar, kemudian mengangguk. “Kau bisa panggil aku Wynn, dan ini seniorku, namanya Elgan tapi kuharap kau tidak begitu lancang memanggil dia dengan namanya.” Pfftt.... Bibirku berkedut menahan tawa. Lihat? Namanya bahkan lebih aneh dariku. “Kau menertawaiku?” Ketahuan. Aku mengangkat bahu, dia berdecih. Dia baru saja menertawakan namaku dan aku tidak boleh balik menertawakan namanya. Tidak salahkan jika aku memanggilnya si-pirang-menyebalkan? “Jadi, Tuan Wynn, di mana aku sekarang?” “Kau ada di sini.” Aku memutar bola mata, menatapnya kesal. Tidak lucu, itu salah satu humor garing yang jika kauucapkan di depan teman-temanmu malah akan membuatmu diejek habis-habisan. Seringai kembali terpoles di bibirnya. “Kabin di tengah hutan tak bernama sekitar Gunung Oddvar.” Aku memang tidak pandai mengingat, tapi aku yakin tidak pernah mendengar atau melihat Gunung bernama Oddvar di peta dunia. “Di mana itu? Aku belum pernah mendengarnya,” kataku. “Tentu saja belum. Kau tidak akan pernah menemukan Gunung Oddvar di duniamu.” Sesaat rasa takut menguasaiku, menyadari kemungkinan terburuk dan kebenaran dari opini dan imajinasi liarku. “Jadi, ini bukan Bumi?” Suaraku tak lebih dari sekadar bisikan, tapi aku yakin dia masih dapat mendengarnya karena ekspresi menyebalkan di wajahnya perlahan hilang, digantikan tatapan tegas dengan raut wajah serius. “Kukira begitu.” []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD