Bab 6. Perjalanan Berbahaya

1612 Words
“Apa kataku, seharusnya tadi kita ke selatan.” Wynn berbisik di sampingku. “Dan mati terinjak-injak oleh kaki kuda mereka?” balasku ketus, enak saja menimpakan semua kesalahan padaku. Aku menatap para centaurus itu. Busur mereka masih terangkat ke arah kami, sementara Wynn mengeratkan genggaman tangannya padaku sampai sepertinya tanganku akan membiru. Salah satu centaurus yang berada di tengah maju ke depan, dagunya terangkat tinggi, menampakkan kesombongan. Ada bekas luka melintang dari pipi kanannya sampai ke hidung. Kurasa dia adalah pemimpinnya karena pakaiannya berbeda dari yang lain, dan dia membawa tombak, bukan panah. Suaranya berat dan berwibawa saat ia berkata, “Apa yang dilakukan Bangsa Kedua di tanah leluhurku?” Bagai mantra, ketika dia mengucapkan “Bangsa Kedua”, tanah mulai bergetar. Pepohonan tampak bergerak walau tidak ada angin yang menggerakannya, dan air sungai mulai beriak di antara gemuruh air terjun. Aku dapat melihat salah satu pohon membentuk tubuh seorang wanita dari sulurnya, wajahnya tampak tegas dan anggun, rambutnya tergerai dari daun. Seluruh tubuhnya yang berserat kayu membuatku yakin dia adalah hamadryad, sang roh pepohonan. Di belakang kami, air mulai naik membentuk Dewa Sungai dan puluhan naiads. Nymph air itu terlihat anggun dengan tubuh transparan mereka. Nah, ini baru namanya terkepung. “Kami hanya lewat, kami tidak tahu kalau kau tidak suka ada yang melintasi tanah leluhurmu.” Jawaban Wynn tampaknya menyinggung sang pemimpin karena centaurus itu segera mendelik tak suka padanya. “Aku bertanya pada Bangsa Kedua. Bukan kepadamu, Putra Aroduna.” Aku semakin bingung, sementara Wynn tampak terkejut. Para nymph terenyak, sedikit menarik diri. “Tuan Orryn, kita terlarang untuk menyebut nama itu.” Anak buahnya mengingatkan. Si pemimpin, yang dipanggil Orryn, bergumam panjang sebelum meminta maaf pada anak buahnya juga pada naiads, Dewa Sungai dan hamadryad. “Kami sedang melakukan perjalanan, Tuan Orryn. Kami sama sekali tidak tahu bahwa kami melewati daerah Anda. Mohon maafkan kami,” kataku mencoba bersopan santun. Orryn menatap menyelidik padaku, matanya menyiratkan kebencian. Centaurus yang lain maju selangkah, menodongkan senjata mereka padaku. Apa kesopananku tidak mereka sukai? “Apa pun itu, Bangsa Kedua terlarang untuk menginjakkan kaki di tanah leluhur kami. Kerusakan dan kemalangan selalu menyertai langkah kalian.” Aku sangat amat bingung sekarang. “Dia di sini untuk membebaskan Erzsebet dari cengkeraman Dartagnan!” Wynn menggeram. Dan aku menyesalkan kata-katanya yang membuat centaurus semakin bergerak maju mendesak kami. Tombak milik Orryn teracung, hanya berjarak satu jengkal dari leherku. “Loyth,” desisnya, “musuh dari Laird Dartagnan adalah musuh kami juga.” Sial, bagus sekali Wynn. Kau membuatku hampir terbunuh sekarang. “Singkirkan senjatamu dari hadapannya!” Wynn yang tidak pernah memahami situasi dan kondisi, rutukku dalam hati. Dan detik itu juga, hujan panah kembali berlangsung, diperburuk dengan lemparan kayu para hamadryad dan luapan air naiads. Wynn meraih tanganku dan—tanpa terduga—melompat ke samping, melayang jatuh bersamaku ke bawah buih air terjun. Keputusan yang salah. Sungai adalah daerah kekuasaan naiads dan Dewa Air. Jadi, seperti yang sudah kuduga, ketika kulit kami bersentuhan dengan air, naiads segera meluapkan sungai dan menenggelamkan kami ke dasarnya. Bagian paling mengerikannya adalah aku tidak bisa berenang dan genggaman tangan Wynn terlepas dariku. Sungguh, demi apa pun, jatuh dari atas pohon dengan ketinggian puluhan meter masih jauh lebih baik daripada ini. Aku meronta dalam air, kehabisan napas. Air mulai mengeras di sekitarku, memerangkapku dalam kepadatannya yang semakin menyempit. Tubuhku kesakitan, rasanya seperti dihantam tembok beton dari segala arah. Setiap detiknya semakin meremukkan hingga mati rasa sama sekali. Aku tak bisa lagi meronta. Tak kuat lagi bertahan. Dan cahaya semakin menghilang dari penglihatanku.   ***   Ketika aku membuka mata, suara Wynn segera menulikan pendengaranku. Dia berseru keras, mengguncang tubuhku dengan wajah cemasnya. “Aku hidup! Aku hidup! Kau akan membunuhku jika mengguncang tubuhku sekeras itu,” sergahku cepat. Wynn menghela napas kemudian duduk dengan lebih rileks. Aku duduk di sampingnya, menyadari kami sama-sama basah kuyup dan kedinginan, dan kelaparan, dan kelelahan, dan hari semakin gelap. Sial. “Bagaimana kita bisa selamat?” tanyaku. Dia menutup matanya, menggelengkan kepala. “Aku tidak mau membicarakannya.” “Huh?” “Kalau sudah merasa lebih baik, ayo lanjutkan perjalanan. Kita tidak akan berhenti sampai tiba di balik bukit.” “Hah?” “Ah, aku jadi rindu pada Senior.” “Heh?!” “Ck, ayo jalan.” Dia berdiri dan melangkah pergi meninggalkanku yang masih melongo seperti orang bodoh. Sepertinya kepalaku terlalu banyak kemasukan air sampai fungsi otakku beroperasi lebih lambat seperti ini. Seluruh tubuhku terasa ngilu saat berdiri. Lagi-lagi, sial! Sepertinya selama berada di Terra aku tidak akan pernah merasakan tubuh tanpa rasa sakit. Ah, menyesal jarang bersyukur saat sehat. “Wynn!” rintihku, berusaha terdengar dan terlihat semenyedihkan mungkin. Wynn berbalik malas, menatapku dengan alis terangkat. “Apa?” tanyanya ketika aku tak kunjung bicara. Hei, kupikir dia bisa mendengar apa yang kupikirkan. Apa telinganya juga tersumbat air? Aku memasang tampang memelas. “Mereka meremukkan badanku. Aku tak bisa bergerak, istirahat dulu, ya? Lagi pula aku juga lapar dan hari sudah sangat malam.” “Memangnya siapa yang pingsan sangat lama sampai menghambat perjalanan?” Oh, Mr. Sarkasme telah kembali. “Memangnya siapa yang membuat makhluk-makhluk itu marah karena ucapannya?” tantangku. Alis Wynn semakin naik di dahinya. “Memangnya siapa Bangsa Kedua yang mereka larang menginjakkan kaki di wilayah mereka?” Skak mat. Aku kalah. Baiklah. Menyebalkan! Aku memaksakan diri untuk berjalan, rasanya mengerikan. Memalukan! Aku pasti terlihat seperti nenek-nenek yang sudah kesulitan melangkah. “Tapi jangan berlari, aku benar-benar akan mati kalau harus berlari lagi.” Mengangkat bahu, Wynn menjawab, “Itu tergantung. Jika tiba-tiba ada makhluk entah apa yang mengejar, aku terpaksa harus berlari. Kalau kau lebih memilih tertangkap oleh mereka, maka itu adalah urusanmu.”  Dia mengulas senyum menyebalkan. “Bukankah kaubilang akan melindungiku?” “Kapan aku mengatakan sesuatu yang menggelikan seperti itu?” “Kau berkepribadian ganda, ya?” selidikku. Dia tertawa renyah. “Jangan bodoh!” “Ah, aku lupa kau memang sudah bodoh,” tambahnya, kemudian kembali tertawa. “Aku tidak tahu mengejekku bisa membuatmu sebahagia itu,” ketusku sebal. Dia menyeringai, air menetes dari rambut pirangnya yang basah. “Karena itu, biarkan aku mengejekmu.” “Sayangnya aku tidak suka kau bahagia.” Dia terdiam. Dan sepanjang perjalanan dia masih saja diam. Aku akan mengira dia menghilang diterbangkan angin kalau saja tidak mendengar gemeresik kakinya yang bergesekan dengan dedaunan kering. Apa aku menyinggungnya? Oh, sensitif sekali. Tapi rasanya ucapanku keterlaluan. Aku menggeleng, dia lebih keterlaluan. Wynn terkekeh, aku menatapnya ngeri. Berhenti berpikir, Shuui! Dia bisa mendengarmu! Argh, sial. Menyebalkan! Dan dia kembali tertawa. Shuui yang malang. Wynn berhenti tertawa, bola matanya bergulir waspada. Apa lagi? Aku sudah tidak sanggup berlari, rasanya ingin menangis saja kalau ada makhluk aneh lainnya. “Ayo cepat,” bisiknya. “Ada apa?” tanyaku dengan suara tak kalah pelan. Dia menggeleng. “Di sini tidak aman,” jawabnya. Aku mendengus. “Memangnya di mana ada hutan belantara yang aman?” Dia tak menjawab pertanyaanku yang memang tak kuharapkan balasannya, langkahnya semakin cepat dan aku berusaha mengimbanginya. Uh, perutku sakit. Aku baru saja ingat aku belum makan apa pun selain buah berry ketika mendengar suara, sejenak kukira itu suara perutku. Wynn menaikkan sebelah alisnya memandangku. “Lapar.” Aku bicara tanpa suara, dengan raut wajah paling nelangsa yang kubisa. Tapi ketika suara itu kembali terdengar dan Wynn membelalakkan matanya sampai nyaris keluar, aku bersumpah suara itu bukan berasal dari perutku. Dan aku meringis saat merasakan embusan napas hangat di belakang leherku. Apa pun kumohon asal jangan hantu! Nyatanya memang bukan hantu, melainkan beruang setinggi tiga meter yang segera menggeramkan suaranya semenakutkan mungkin saat aku berbalik. Ayolah, tanpa berusaha terdengar menakutkan pun kau sudah terlihat mengerikan! Kutarik kata-kataku! Hantu saja. Hantu saja. Tanpa aba-aba, kami berlari ketar-ketir. Menembus semak, melompati sulur, berzigzag di antara pepohonan, dan tersandung. “Wynn, aku benci beruang!” teriakku, yang sepertinya dimengerti oleh beruang itu karena dia semakin menggeram marah. “Kaupikir aku suka?” Wynn membalas tak kalah kerasnya. “Tentu saja tidak. Maksudku usir dia! Ayo lawan dia!” “Jangan gila! Bodoh saja kau sudah merepotkan.” Dalam keadaan seperti ini masih sempat-sempatnya dia mengejekku. “Kembali ke timur!” Wynn mengingatkan saat aku berlari tak tentu arah. Aku yang sedang berlari dengan panik tentu saja tidak tahu arah timur sebelah mana. Jadi, sekali lagi kami keluar menuju jurang yang memojokkan kami. Kenapa hutan terasa lebih kecil dari seharusnya? Kami membelakangi jurang, menatap beruang itu dengan napas memburu. Beruang itu berjalan dengan keempat kakinya. Atau yang di depan itu tangannya? Ah, aku tidak tahu. Aku tak bisa berpikir. Yang jelas dia menatap kami dengan liur menetes dari sela-sela gigi tajamnya. Ew. Beruang itu mengangkat kedua kaki depannya, menggeram keras, merangsek maju dan jatuh ke dalam jurang bersama Wynn dalam dekapannya. Sebelum sadar apa yang sedang terjadi, aku memekik keras, memanggil nama Wynn dan melongokkan kepalaku ke bawah jurang. Gelap. Tapi sinar rembulan membuatku masih dapat melihat mereka. Bergelantungan di akar yang menjulur dari tanah, bergulat hebat sebelum kemudian empat anak panah menancap di punggung sang beruang. Beruang itu melolongkan kesakitan, cengkeramannya terlepas dari Wynn, jatuh ke dalam jurang yang gelap. Dipastikan tewas. Dan aku dapat melihat siluet seseorang bergerak menjauh di seberang sana. “Apa yang kaulakukan? Cepat bantu aku!” Teriakan Wynn mengalihkan atensiku dari sosok itu. Aku kemudian mengambil beberapa ranting yang cukup kuat dan mengulurkannya pada Wynn. Aku tidak menyangka aku sekuat itu sampai bisa menahan berat tubuh Wynn, walaupun berkali-kali aku hampir kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh. “Wynn, aku benar-benar mati,” lirihku ketika dia sudah menjejak tanah. Dia berdecak. “Kau masih bisa bicara, berarti kau masih hidup.” “Ayo jalan lagi.” Wynn benar-benar gila! Kami nyaris mati dan dia bisa secepat itu mengajakku kembali berjalan. Terbuat dari apa tubuh dan pikiran orang ini? Aku mengikutinya setengah hati. Kami kembali berjalan menuju timur, lebih waspada dari sebelumnya. Menghindari sungai, rawa, daerah yang terlalu gelap ataupun yang menurut Wynn bisa menjadi sarang makhluk-makhluk buas dan mistis. Saat kami tiba di balik bukit pada keesokan harinya (kami tidak tidur sama sekali jika kau ingin tahu, dan sayangnya aku yakin kau tidak cukup ingin tahu), cahaya matahari pagi segera menyambut kami. Aku akan sangat terpesona dengan pemandangan di hadapanku jika saja tidak mengantuk, kelaparan dan kelelahan sampai nyaris pingsan. Di depan kami, padang rumput luas terhampar dikelilingi bukit dan pegunungan. Lereng landai berhiaskan bunga-bunga liar menjadi kombinasi yang sempurna untuk danau hijau di kejauhan. Sinar mentari pagi mengintip di balik dua pegunungan, persis seperti gambar yang sering dibuat anak kecil. Dan aku tidak bisa berhenti menghirup udara segar berbau khas embun pagi. Basah. Menyegarkan. “Perjalanan yang tidak sia-sia, 'kan?” Wynn berbisik, menutup matanya dan menghirup napas dalam-dalam. Aku tersenyum, hendak menjawab tapi tiba-tiba, segalanya terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan, sebatang anak panah berdesing ke arahku, Wynn berteriak, aku terdorong jatuh. Erangan kesakitan berpadu dengan cipratan darah. Wynn jatuh tersungkur, dengan anak panah di sisi kiri tubuhnya. []
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD