#R – Sendirian

2316 Words
Sunyi dan sendiri, itulah kehidupan yang selama ini selalu Risa jalani. Risa seakan sudah berteman baik dengan kesunyian, dia seakan sudah tidak takut lagi dalam kesendirian, karena dia tahu jika dia memang harus bisa bertahan hidup sendiri, jangankan orang lain bahkan orang tuanya sendiri tidak mengharapkan dia hadir didunia. Tapi, dari keadaan yang selama ini dia hadapi, ada banyak pelajaran yang bisa dia ambil dan simpulkan, dari semua sikap kedua orang tuanya Risa bisa belajar jika hidup memang harus bisa sabar dan mengajar diri sendiri untuk tidak membalas sebuah kejahatan dengan kajahatan. Melalui hubungan orang tuanya yang tidak pernah harmonis, Risa bisa belajar, jika sesuatu yang dipaksakan memang tidak akan berjalan lancar, dari sana Risa sering belajar mengenai arti sebuah kehidupan yang menurutnya terasa kejam dan tidak pernah memberinya keadilan. Setelah kepergian kedua orang tuanya tidak ada yang Risa lakukan selain menangis, bukan menangis karena luka – luka yang memang terasa menyakitkan dibagian – bagian tubuhnya, tapi menangisi dirinya sendiri yang tidak pernah diinginkan oleh siapapun bahkan oleh kedua orang tuanya. Bahkan dengan keadaannya yang sudah bersimbah darah karena tindakan mereka sendiri, Risa masih tetap ditinggalkan tanpa ada belas kasihan yang mereka tunjukkan, beberapa luka yang tentu terasa menyakitkan tidak menarik sedikitpun perhatian dan simpati mereka, setidaknya jika tidak mengasihani Risa, keadaan Risa saat itu bisa membuat mereka mengurungkan niat pergi meninggalkan Risa sendirian. “Non Risa tidak apa – apa ? ayo biar Bibi bantu, Non” Bi Imah, dialah sosok yang selalu memberikan Risa kasih sayang yang tidak pernah Risa dapat dari ibunya sejak masih sangat kecil. Bi Imah adalah saksi nyata perjalanan kisah hidup Risa yang penuh lika – liku dan duka, bahkan diusianya yang belum genap 17 tahun Risa sudah menghadapi masa sulit yang tidak pernah Risa bagi kepada siapapun. Bi Imah, adalah orang yang paling peduli kepada Risa, karena merawat Risa sejak dia masih meminum s**u sebagai sumber makanannya atau sejak Risa masih bayi, membuat Bi Imah merasa bukan merawat anak majikannya, tapi dia merasa sedang merawat putrinya sendiri. Setiap perlakukan kasar yang dilakukan kedua orang tua Risa, Bi Imah adalah orang yang paling sedih, bahkan saat Risa yang merasakan sakit luka – luka  akibat kekesarasan orang tuanya, Bi Imahlah yang akan menangisnya. “Ayo Non, biar Bibi bantu obati” Untuk yang kedua kalinya, Bi Imah menawarkan pertolongan kepada Risa yang pada saat itu terlihat sedikit sempoyongan, mungkin akibat kepalanya yang sempat membentur dinding.  Sebanyak dua kali juga Risa mengabaikan pertolongan yang Bi Imah tawarkan kepadanya. Bukan Risa tidak sopan, tapi Risa merasa jika saat itu keadaannya sangat menyedihkan dan Risa tidak suka dalam keadaan seperti itu. Risa hanya ingin tetap menjadi Risa yang terlihat kuat yang masih bisa berdiri dengan kedua kakinya sendiri, dalam keadaan sesulit apapun, itu sebabnya Risa mengabaikan pertolongan Bi Imah untuk yang kedua kalinya. “Ayo Non, biar Bibi bantu ke kamar, biar Bini bantu obatin luka – lukanya juga” “Enggak aku bisa sendiri, Bibi istirahat aja” Risa melepaskan tangan Bi Imah yang sudah menyentuh tangannya, yang berniat membantu Risa berjalan menuju kamar, saat itu Risa memilih berjalan sendiri dengan tertatih – tatih dari pada harus menerima pertolongan Bi Imah. Prinsip hidupnya yang tidak ingin dikasihani oleh orang lain membuat Risa tidak bisa menurunkan egonya, padahal sekuat apapun dia, masih tetap membutuhkan orang lain didalam hidupnya. Selain itu, tatapan mata Bi Imah yang terlihat berkaca – kaca syarat akan kesedihan menjadi alasan Risa menolak pertolongan Bi Imah juga, karena saat Risa melihat kesedihan dan air mata Bi Imah saat itulah pertahanan Risa akan hancur, dan dia akan benar – benar menjadi orang yang mengasihani dirinya sendiri. Sadar dengan penolakan yang dilakukan oleh Risa, Bi Imah hanya mampu berdiri dilantai dasar menatap kepergian Risa, menaiki anak tangga menuju kamarnya. Tanpa terasa butiran air mata berjatuhan membasahi kedua belah pipi Bi Imah saat dia tahu sesakit apa yang Risa rasakan dengan luka – luka yang ada ditubuhnya, dan seberapa besar rasa sakit yang Risa miliki didalam hatinya atas semua perlakuan kedua orang tuanya. “Jika ini adalah malam terakhir aku merasakan sakitnya pukulan Mamah dan Papah, aku rela setidaknya hal itu bisa membuatku tenang, karena dengan pukulan mereka aku merasa bahagia, setidaknya jika tidak pelukan, pukulan bisa menjadi kenangan terakhir yang bisa aku kenang sampai pada kematian” ujar Risa, sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu yang baru ditutup, lalu tubuhnya luruh kelantai. Risa memeluk lututnya sendiri dalam keadaan kamar yang masih gelap, saat itu Risa seakan tidak berniat sedikitpun untuk menyalakan lampunya, karena dengan kegelapan Risa bisa merasakan sedikit ketenangan. Keadaan yang sudah tengah malam ditambah diluar yang sedang hujan, membuat keadaan menjadi sunyi dan dingin, air mata yang kepedihan atas luka – luka yang bersemayam didalam hatinya akhirnya tumpah setelah sejak tadi dia berusaha menahannya. “Kenapa takdir hidupku setragis ini, kenapa takdir tidak pernah adil kepadaku, kenapa takdir terus menerus mengujiku, KENAPA ?!!” teriak Risa, terdengar begitu nyaring dalam keadaan tengah malam. Mengingat apa yang baru saja terjadi, rasanya Risa ingin sekali marah, tapi Risa tidak tahu harus marah kepada siapa. Terkadang saat dalam keadaan seperti yang terjadi saat ini, Risa ingin sekali pergi, dan Risa selalu berharap agar takdir kematian segera menjemputnya, karena sebesar apapun Risa mencoba bersabar, Risa tetaplah manusia biasa yang memiliki batas dan memiliki rasa putus asa, saat dia meminta tuhan mencabut nyawanya saat itulah Risa berada dititik terendak dan titik paling menyakitkan dalam hidupnya. Air mata Risa sudah membanjiri kedua belah pipinya, bayang – bayang waktu dimana kedua orang tuanya menyiksanya tanpa rasa kasihan masih terbayang dalam ingatan Risa, setiap kalimat menyakitkan yang terucap dari lisan keduanya masih terngiang – ngiang dalam telinganya. Risa ingin semua itu terlupan dalam ingatannya, karena setelah dia melupakannya saat itulah rasa sakitnya akan hilang juga, tapi kenyataannya apa yang pernah terjadi akan sangat tidak mungkin dilupakan, sekalipun lupa pasti akan ada masa mengingatnya lagi. Risa yang sejak tadi duduk sambil memeluk lututnya, akhirnya bangkit, dalam gelapnya suasana kamar Risa saat itu Risa berusaha menumpahkan semua kemarahan yang ada didalam hatinya, dia mengacak – acak seluruh isi kamarnya hingga tidak berbentuk, sampai tidak sengaja Risa memukul lemari kaca yang ada dikamarnya hingga pecah dan membuat tangan Risa berdarah. “Non Risa, ada apa Non, biarkan Bibi masuk biar Bibi bantu obati lukanya” “Tidak apa – apa Bi, aku akan segera istirahat” Jawaban Risa tidak lagi membuat Bi Imah berani mengeluarkan kata – kata untuk menyanggah ucapan Risa, perempuan berusia setengah baya itu memilih bungkam, karena dia tahu saat Risa mengatakan tidak maka memang tidak ada kesempatan baginya masuk dan membatu Risa. Namun, jika saja yang berada diluar kamarnya adalah ibu kandungnya, mungkin tanpa dibujuk rayupun Risa akan langsung membukanya. Tangis Risa yang semula jatuh dalam bisu, isak tangis Risa akhirnya terdengar seiring rintik hujan dan sunyinya malam. Tubuhnya kembali jatuh terduduk, bersimpuh diatas lantai bayang – bayang itu semakin kuat teringat dalam kepalanya. Namun, tangis Risa tiba – tiba berubah menjadi ringisan, tangannya mencerngkram kepalanya sendiri, Risa mencoba untuk tenang berharap cara itu bisa melebur sakitnya, tapi tenyata bukannya mereda rasa sakit itu  semakin terasa menyakitkan. Mimisan yang sudah berhenti sejak beberapa menit lalu, akhirnya kembali terjadi, cairan berwarna merah kental berbau anyir itu kembali mengalir dari hidung Risa. Risa berusaha untuk tetap mempertahankan kesadarannya, tapi ternyata rasa sakit dibagian kepalanya memang terasa sangat menyakitkan. Mata yang sejak tadi Risa pertahankan tetap terbuka, akhirnya terkantup rapat membuat Risa tidak lagi mengingat apapun selain sebuah kegelapan. *** Setelah gelap terbitlah terang, setelah malam pasti akan ada siang, semua akan terus terulang sesuai waktu perputarannya. Pagi – pagi, saat suasana masih terasa segar, bahkan matahari belum sempat terbit hingga diatas kepala. Rumah megah kedua orang tua Risa sudah mendapat kunjungan tamu istimewa. Dia datang dengan senyum sumbringah yang tergambar nyata diwajahnya, kedatangannya tentu hanya untuk menyapa Risa yang sudah lumayan lama tidak dia temui. “Assalmu’alaikum, Bi” sapanya, sambil tersenyum ramah kearah Bi Imah yang sudah sangat akrab karena seringnya dia berkunjung ke rumah kedua orang tua Risa. “Mas Dimas, kapan pulang dari Lombok Mas ?” jawab Bi Imah, yang jutru melupakan jawaban salam yang sudah Dimas sampaikan terlebih dahulu. Laki – laki yang dipanggil Dimas itu adalah paman Risa, atau lebih tepatnya adik kandung dari ibu kandung Risa. Dimas adalah salah satu orang yang sangat Risa percaya didalam hidupnya, karena sejak Risa kecil Dimas adalah keluarga yang sangat peduli kepada Risa, dia selalu ada saat Risa berada dalam keadaan apapun, dia adalah orang pertama yang akan merasa bahagia saat Risa bahagia, dia akan menjadi orang paling sedih saat Risa bersedih. Biasanya, Dimas selalu menyempatkan diri datang menemui Risa dirumah kedua orang tuanya setiap hari, Dimas sempat mengajak Risa tinggal dirumahnya bersama ibunya yang merupakan nenek Risa juga, tapi gadis remaja itu menolak dengan alasan ingin tinggal dirumah kedua orang tuanya agar bisa bertemu orang tuanya setiap hari walau hanya sebentar. Namun, karena dua minggu terakhir Dimas pergi ke Lombok untuk honeymoon bersama perempuan yang sudah dia nikahi kurang lebih dua minggu yang lalu, hal itu otomatis membuat Dimas tidak bisa menemui Risa juga.  “Kemarin Bi, oh iya Risa mana Bi ?” tanya Dimas, sambil tersenyum ramah. “Non Risa … masih dikamarnya, Mas” jawab Bi Imah, sambil mempersihkan Dimas masuk. Dimas mengangguk dengan senyuman yang tergambar diwajahnya, kemudian Dimas berlalu menaiki anak tangga menuju kamar Risa. Karena memang sudah biasa saat Risa masih berada dikamarnya, Dimas selalu menyusul Risa kekamar, baik itu untuk sekedar mengecek keadaannya saja, untuk membangunkannya, atau bahkan untuk mengganggunya. Namun, baru setengahnya kaki Dimas menampaki anak tangga, Dimas langsung berhenti saat dia mendengar Bi Imah memanggil namanya. “Mas Dimas, tolong bujuk Non Risa, sejak semalam dia tidak mau keluar kamarnya” ujar Bi Imah, terdengar sangat khawatir. Mendengar pernyataan Bi Imah, wajah Dimas yang semula berhias senyum sumbringah berubah menjadi sedikit kaku, perasaannya menjadi tidak enak, karena Dimas tahu alasan apa yang selalu menjadi penyebab Risa tidak mau keluar dari dalam kamarnya. Kemudian, Dimas langsung melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga dengan sedikit lebih cepat setelah menanggapi ucapan Bi Imah dengan anggukan kepala. Kedatangan Dimas yang semula selalu dibayangi wajah kesal Risa karena dia akan menganggu waktu tidurnya dihari weekend, seketika berganti dengan bayang – bayang yang membuat perasaan Dimas menjadi ketar – ketir khawatir. Dimas langsung memutar knop pintu kamar Risa yang biasanya jarang terkunci dihari libur saat dia sudah berhasil tiba didepan pintu kamar Risa. “Sengaja biar kalau om dateng aku enggak perlu bangun dulu buat buka pintu”, alasan itu yang Risa katakan kepada Paris saat dia bertanya perihal pintu kamar Risa yang jarang terkunci jika dihari weenend. Namun, sekarang yang membuat  Dimas khawatir, pintu kamar Risa terkunci dan Dimas semakin yakin sudah terjadi sesuatu hal yang begitu besar. Dimas berusaha menggedor pintu kamar Risa, berharap dia akan membuka pintu. Dimas tidak peduli Risa akan kesal nantinya, yang penting untuknya sekarang adalah meyakinkan hati dan melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Risa memang baik – baik saja. Namun, nyatanya sekarang  tidak ada sahutan apapun yang terdengar dari dalam kamar, padahal sudah sangat jelas jika Risa masih menghuni kamarnya, akan sangat tidak mungkin jika tidur Risa tidak terganggu dengan suara gedoran dan teriakan Dimas memanggil namanya, karena yang Dimas tahu Risa adalah tipe anak yang mudah dibangunkan. Setalah beberapa menit, akhirnya Pintu kamar Risa berhasil dibuka, atas bantuan Bi Imah yang tiba – tiba datang membawa kunci cadangan yang katanya baru saja dia temukan. Hal pertama yang terlihat saat pintu terbuka adalah keadaan kamar Risa yang biasa rapih, sekarang terlihat sangat berantakan. Sampai akhirnya tatapan mata Dimas, jatuh pada sosok Risa yang masih tergeletak tidak berdaya didekat lemari dengan pecahan beling yang berserakan didekat tubuh Risa juga. “Risa, ada apa ini ? kenapa kamu bisa babak belur begini ?” ujar Dimas, saat dia sudah berada didekat Risa, dan memangku kepala Risa yang semula tergelak diatas lantai. Saat itu, terlihat ada bekas darang yang sudah mongering dibagian dahi dan hidung Risa. Keyakinan Dimas mengenai apa yang sudah terjadi bertambah manjadi seratus persen setelah melihat keadaan Risa. Dimas berusaha membangunkan Risa menggunakan cara yang dia bisa, tapi melihat Risa yang tidak kunjung membuka matanya, akhirnya Dimas memutuskan untuk membawa Risa langsung ke rumah sakit. “Om …” Dimas melirik Risa yang pada saat itu sudah berada dalam gendongannya, telinganya sempat mendengar Risa memanggilnya dengan suara yang terdengar begitu lemah, dan saat itu Risa memang sempat tersadar, tapi tidak lama kemudian Risa kehilangan kesadarannya lagi. Dimas berusaha membangunkan Risa dengan mengguncang tubuh yang berada dalam gendongannya itu, mulutnya tidak henti memanggil nama Risa, berharap cara itu bisa membawa Risa kembali sadar. Namun, karena Risa tidak kunjung membuka mata, Dimas benar – benar langsung membawa Risa menuju rumah sakit. Tepat setelah tiba di rumah sakit, Risa langsung dilarikan keruangan IGD, dan setelah itu Dokter langsung memberikan penangan kepada Risa. “Apa sebenarnya yang sudah terjadi pada pasien Pak, kenapa dibagian tubuhnya banyak sekali luka yang sepertinya terjadi dengan unsur kesengajaan” ujar Dokter, sambil menatap Dimas lekat – lekat. “Saya juga tidak tahu Dok, tadi saya menemukan keponakan saya sudah dalam keadaan seperti itu dikamarnya” jawab Dimas, apa adanya. “Mulai hari ini tolong selalu pantau keponakan anda Pak, karena jika memang keponakan anda mengalami kekerasan hal itu bisa berimbas pada mentalnya” ujar Dokter, yang langsung Dimas angguki, karena setelah ini Dimas memang tidak akan membiarkan siapapun menyakiti Risa, termasuk kedua orang tuanya sendiri. “Baik Dok, terimakasih” jawab Dimas, sambil mengangguk. Dokter yang sejak tadi berbincang bersama Dimas ikut menganggukkan kepala, kemudian dia pamit karena harus memeriksa keadaan pasiennya yang lain. Sedangkan Dimas, memilih masuk ke dalam ruang perawatan Risa, diatas ranjang pesakitan Dimas melihat Risa yang masih terbaring dengan beberapa perban yang menempel dibagian tubuhnya, serta ada infus yang mengantung. Hati Dimas merasa teriris saat dia melihat keadaan Risa yang begitu mengenaskan, lagi – lagi Dimas merasa gagal menjaga Risa, karena lagi – lagi dia melihat Risa terluka.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD