Part 6 : Hiasan Lumba-lumba

1507 Words
(Pov Rindang) *** Tak terasa malam telah beralih menjadi pagi. Bus pariwisata yang kami tumpangi telah memasuki area jalan menuju lokasi sekolah. Dapat aku lihat barisan para orangtua yang menunggu kepulangan putra atau putrinya dari kegiatan study tour ini. Kami pun bersiap menata barang bawaan agar tidak ada yang tertinggal. Wildan turut mengingatkan aku untuk memastikan kembali barang-barangku. Kami semua cukup lelah selama perjalanan namun semua itu tak mengurangi rasa senang kami yang baru saja mengukir pengalaman cerita melancong ke kota orang. Aku bangkit dari kursi penumpang, kemudian turut mengantre untuk turun dari dalam bus. Begitu turun, aku berpelukan dengan Dewi, Cika, Swasti, Ayu, Nita. Rasa amat senang memiliki mereka semua sebagai sahabatku yang sangat baik. "Rindang..." dapat aku dengar suara bapak memanggil. Aku melambaikan tangan pada bapak, lalu sekali kali memeluk teman-temanku berpamitan pulang. Dari ekor mataku dapat aku rasakan Wildan tengah memperhatikanku. Benar saja setelah itu aku mendengar ia berpesan agar aku berhati-hati pulangnya. Aku menoleh, mengangguk serta melempar senyum padanya. Aku menghampiri bapak yang telah menungguku. Aku peluk beliau, rasanya begitu rindu akan suasana rumah. "Gimana..menyenangkan?" "Sangat menyenangkan bapak, terimakasih bapak telah mewujudkan semua ini," "Semua berkat Allah yang telah mengijinkan bapak punya rezeki sayang," Aku semakin mengeratkan pelukanku ketika mendengar jawaban bapak. Bapak segera mengajakku pulang, katanya sih karena Ibu sudah begitu merindukanku. Aku melambaikan tangan pada teman-temanku yang lain yang aku temui saat berpapasan menuju arah dimana bapak memarkirkan sepeda motornya. ------ Tiiinnnn..... Bapak membunyikan suara klakson sepeda motor saat kami mulai masuk ke halaman rumah. Terlihat Ibu membuka daun pintu dengan senyum merekah menyambut aku pulang. Ibu bergegas menghampiri padahal aku dan bapak saja belum sempat turun dari sepeda motor. "Alhamdulillah...akhirnya kesayangan Ibu pulang juga," Aku nyengir saja merespon ucapan ibuku yang membuatku tersanjung. Aku merasa sangat beruntung mempunyai bapak dan ibu sebagai orangtuaku di dunia ini. "Lho ngantuk ya?" tanya ibu seketika melihatku yang menguap. Dan aku mengangguk sebagai jawabannya. Ibu membimbingku masuk ke rumah. Ibu menyiapkan air hangat untuk ku bersih-bersih badan. Kemudian membuatkanku minuman hangat. Aku hanya sarapan sedikit saja sebab yang aku butuhkan saat ini hanyalah kasurku untuk aku tidur. Rasa kantuk yang tak tertahankan membuatku segera memejamkan mata sembari memeluk guling yang telah aku rindukan. Matahari semakin tegas menyinari bumi. Perlahan ku buka mataku, mengerjap-ngerjap sembari sesekali meregangkan badan. Tiba-tiba aku teringat dengan souvenir pemberian dari Wildan. Aku segera meraih dan membuka tas. Aku pandangi hiasan berbentuk lumba-lumba kecil yang bening ini. Aku merasa sangat menyayangi benda tersebut. Aku simpan pada sebuah kotak yang berada di dalam nakas. Aku buka kembali isi tas, aku raih barang yang telah aku beli sebagai oleh-oleh untuk bapak dan ibu. ----- Keesokan harinya aku bersiap berangkat sekolah seperti biasa. Entah mengapa isi kepalaku saat ini terasa lebih fresh. Apakah berwisata memang sepenting ini? Aku menjadi bergumam sendiri. Di kelas kami terasa sangat seru karena membahas study tour kemarin. Suasana kelas menjadi semakin terasa hangat. Aku menoleh ke arah pintu dan melihat Wildan yang baru datang, ia tersenyum padaku lalu menuju ke kursinya. Nampak Cika mendekati Wildan dan mereka berdua bercakap-cakap dengan sangat akrabnya, wajar saja namanya juga pacaran bukan? Aku meredam perasaan hatiku yang mulai bergejolak tak menentu. Aku tidak suka perasaan seperti ini. Aku melanjutkan obrolanku bersama Ayu dan yang lainnya. Aku tak ingin terpengaruh dengan kemesraan Wildan dan Cika. Ardian dan Fatur nampak menghampiri kami. Mereka turut bergabung berbincang denganku dan yang lainnya. Dan ternyata Ardian memberiku sesuatu yang ia beli saat study tour kemarin. Sontak teman-teman menggoda kami hingga membuatku dan Ardian sama-sama merasa canggung. Wildan berdiri dan maju ke depan. Sebagai ketua kelas ia memberitahukan tugas dari guru yang berhalangan hadir mengajar pada jam mata pelajaran pertama hari ini. Kami diberi tugas berkelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4 siswa. Wildan memberikan tugas pada Dewi selaku sekretaris kelas untuk menuliskan nama-nama siswa di tiap kelompoknya. Dewi pun menyanggupi dan bergantian maju ke depan, ia mulai menulis di papan tulis sesuai apa yang diarahkan oleh Wildan. Mataku membola, aku menganga, dapat aku baca dengan jelas dan seksama jika aku ini satu kelompok dengan Wildan, Ayu dan juga Tama. Jantungku berdegup tak beraturan. Ada rasa senang tapi cenderung was-was. Sementara Cika satu kelompok dengan Dewi, Andre juga Rudi. Dapat aku dengar Cika mengeluh karena tidak satu kelompok dengan Wildan yang merupakan kekasih hatinya. Wildan menegaskan jika pembagian nama siswa pada setiap kelompok tugas dari guru tidak bisa ditukar-tukar. "Senangnya satu kelompok dengan orang-orang pintar," tiba-tiba Ayu berceletuk sembari menyikut lenganku. "Satu kelompok dengan orang-orang pintar?" aku ulangi pernyataan Ayu itu. "Iya dong..ada kamu juga Wildan, cocok kan sama-sama pintar yang saling melengkapi pasti nanti kita menjadi kelompok yang paling solid," dengan entengnya Ayu berdiplomatis demikian tanpa tahu rasanya aku ingin menjitak dahi dia. "Hellloooo...maksudnya kamu berniat hanya numpang setor nama doang nih?" aku berkacak pinggang seolah sedang kesal padanya. "Ya enggak dong, nanti aku setor cemilan deh biar kamu semakin semangat ngerjain tugas kelompoknya bareng aku dan yang lain, pokoknya kamu gak perlu khawatir, urusan konsumsi biar mama aku nanti yang bikin," sekali lagi dengan entengnya Ayu merayuku dengan cemilan. Yap meski harus aku akui apapun makanan buatan mamanya Ayu memang selalu berhasil membuatku ketagihan. Faktor jarak rumah kami yang dekat telah menjadi satu keberuntungan tersendiri sebab Ayu kerap ke rumah membawa makanan yang baru dibuat. Setiap siswa mulai merapatkan kursi mereka pada kelompoknya masing-masing. Termasuk Wildan yang diikuti Tama menuju meja dimana aku dan Ayu duduk. Aku merasa cukup gugup, namun ada yang terasa janggal ketika aku memperhatikan gerak-gerik Tama dan Ayu. Aku menjadi bertanya dalam hati sendiri apakah Ayu dan Tama saling suka? "Ehemmmm...semangat sekali kamu," aku berkata pelan namun masih dapat didengar oleh Ayu. Dia hanya meringis menunjukkan barisan giginya yang putih itu. Aku pun mencebik padanya. Sudah diputuskan jika Wildan yang menjadi ketua kelompoknya, dia memang mumpuni dalam segala hal. Itu pula salah satu hal yang semakin membuatku kagum terhadapnya. Jujur aku memang suka dengan orang-orang yang pintar sebab menurutku jika kita berbincang, kita jadi selalu bisa upgrade pengetahuan kita. "Tugas ini kan untuk jangka waktu satu minggu nih, jadi kapan kita mulai bisa diskusi di luar jam sekolah dan mau dimana tempatnya?" Tama mengajukan pertanyaannya pada kami. "Terserah saja sih, dimana dan kapannya insya Allah aku akan mengupayakan untuk bisa mengikuti," timpalku. Ayu mengajukan rumahnya untuk tempat diskusi kelompok, aku sedikit melirik ke arah Wildan yang masih fokus menatap memahami konteks tugas kelompok kami. Kemudian Wildan mendongak dan bersuara, "Bagaimana kalau dirumahku saja? mau nanti atau besok sore?" Tama dan Ayu menganggukkan kepala sembari berkata jika mereka menyetujui usul Wildan. Aku pun turut setuju, lalu diputuskan jika diskusi akan dimulai nanti sepulang sekolah langsung ke rumah Wildan bersama agar tidak memakan waktu lebih lama. Cika berjalan menghampiri kami, Ayu memberitahunya jika sepulang nanti kelompok kami akan mulai mengerjakan tugas di rumah Wildan. Cika antusias mendengar hal itu dan ingin sekali ikut. Tetapi Wildan melarangnya, ia beralasan tidak ingin fokusnya nanti bercabang antara memikirkan tugas dan dirinya. Cika pun mengerti walau seulas raut kecewa sedikit nampak di wajah cantiknya. Wildan memegang tangan Cika berharap kekasihnya tak merajuk. "Ciyyeeee...so sweet banget sih, jadi nganan dehh..ehh ngiri maksudnya," ucapan Dewi yang turut menghampiri kami berhasil membuat Cika tersipu. "Ya udah yuk ke kantin ahh, lapar nih...," Nita memasang wajah memelasnya. Temanku yang satu ini memang tidak bisa menahan lapar walau sebentar saja. "Makan mulu nih perut, tapi badan segitu saja, pada lari kemana sih lemaknya, heran dehh," Dewi mengejek Nita yang memang badannya tergolong dibawah ramping meski hobinya makan, berbanding terbalik dengan Dewi yang mudah berisi badannya. "Berisiiikkk....sirik aja hidupnya wleeeeee..." Nita tak mau kalah sengit meledek Dewi. "Sudah..sudah..ayo ke kantin sekarang," Ayu mencoba menengahi Dewi dan Nita. Aku pun beranjak berdiri, namun Wildan menahan tanganku agar aku kembali duduk. Ia berujar ada sesuatu yang perlu dibahas terlebih dulu denganku sebentar. Wildan meminta yang lain untuk duluan pergi ke kantin. Aku mengernyit heran, "Ada apa lagi?" Wildan tersenyum lalu bertanya, "Suka dengan hiasan yang kemarin aku belikan saat study tour?" "Suka kok, bagus..." "Kamu tahu arti dari lambang lumba-lumba?" Wildan kembali mengajukan pertanyaan padaku. Aku terdiam mencoba berfikir dan mencerna maksud pertanyaannya, "Tidak..memangnya kenapa?" "Nanti bisa dicari tahu sendiri ya, itu salah satu tugas dariku buat kamu," Wildan bangkit dari duduknya lalu meninggalkanku yang termangu bingung sendiri. Aku menepuk keningku sendiri mengingat tulisan yang pernah aku baca jika lumba-lumba disebut sebagai dewa pelindung cinta, karena dari sejarahnya ada lumba-lumba yang konon pernah menyelamatkan hidup sepasang kekasih di laut lepas yang terpisah. Maka dari itu, lumba-lumba atau dholpin dilambangkan sebagai tanda cinta untuk sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta. Tapi kebingunganku tak selesai ketika aku mengingat makna dari lumba-lumba. Aku justru semakin bingung menimbang apa maksud dari pertanyaan Wildan tadi padaku. Apakah dia benar-benar serius dengan perkataannya jika itu tugas darinya untukku mencari tahu arti lambang lumba-lumba. Lantas apa hubungannya dengan hiasan yang ia berikan yang juga berbentuk lumba-lumba. Aku menepis segala pradugaku, aku bergegas menuju kantin menyusul teman-teman. Aku putuskan tak akan membahas duluan tentang itu pada Wildan, biar saja. Aku harap Wildan hanya iseng semata menanyakan hal tersebut. Mungkin ia hanya mengetes seberapa dalam pengetahuanku. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD