Bukan Aku Yang Mau!

1403 Words
Jika tidak membuat heboh seisi rumah bukan Auris namanya. Pagi ini dia bangun kesiangan gara-gara semalam tidak bisa tidur memikirkan Perempuan yang bersama dengan Rajata. Dia menyesal saat Raja ingin menjelaskan siapa itu Ciara malah menolak seolah-olah tidak mau tahu padahal kenyataannya sangat ingin tahu. “Kakak hari ini diantar sama Eyang Kakung. Soalnya, Supir sudah berangkat mengantar Adek.” “Iya, Mom. Sarapan juga di mobil saja ya?” “Sudah Mommy siapkan sarapan sekaligus bekal makan siang Kakak.” Auris tidak makeup sama sekali. Setelah mandi dia langsung memakai baju dan menyiapkan keperluan ospek hari ini. “Daddy masih di kamar, Mom?” “Iya, Sayang. Daddy bilang kepalanya masih pusing.” “Aku samperin Daddy dulu ya, Mom? Sekalian mau pamit ke kampus.” “Iya, Sayang.” Auris memakai ranselnya lalu berlari menuju ke arah pintu kamarnya. Namun, dia kembali masuk karena melihat ranjangnya yang masih berantakan. “Biar Mommy yang bereskan,” ucap Nala. Dia tahu sekali jika Putrinya paling tidak suka jika kamarnya berantakan. “Terima kasih, Mommy.” Auris memberikan ciuman jauh pada Mommy nya. Sementara Nala hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan Putri sulungnya sangat mirip dengannya waktu remaja. Bedanya, Auris sangat teledor dengan barang-barang yang dimilikinya. “Daddy ...” “Iya, Nak. Masuk saja.” suara serak Ace terdengar sampai luar kamar. Auris membuka pintu dengan perlahan karena kondisi Daddy nya sedang sakit. Dia tidak mau Ace semakin sakit karena melihat tingkah brutalnya. “Daddy kira Kakak sudah berangkat ke kampus.” “Belum, Dad. Aku bangunnya agak kesiangan.” Ace melambaikan tangan meminta Putrinya naik ke atas ranjang. Biasanya dia yang merawat istri dan anak-anaknya ketika sakit. Tapi, kali ini Ace sendiri yang terkapar tak berdaya di atas ranjang karena terserang flu dan batuk. “Daddy kenapa nggak mau peluk aku sih?” Auris ingin memeluk Ace langsung di tolak. “Jangan peluk dulu, Nak. Daddy sedang terkena flu berat. Nanti kamu bisa ketularan.” “Ih ... nggak akan ketularan,” rengek Auris memaksa ingin memeluk Daddy nya. “Lagian Daddy sudah pakai masker.” “Tetap saja lebih baik menjaga jarak dulu, Sayang.” Akhirnya, Auris menurut meskipun bibirnya masih mencebik. Dia langsung pamit pada Ace karena sudah siang harus segera berangkat ke kampus. Nala sudah menunggu Putrinya di meja makan. Sarapan dan makan siang sudah dikemasnya dalam wadah sehingga Auris tinggal berangkat menuju kampus dan bisa sarapan di dalam mobil. “Bye, Mom. Auris berangkat dulu.” Teriaknya ketika sudah berada di dalam mobil. “Bye, Sayang. Nanti pulangnya Mommy yang jemput sekalian pulang ke rumah.” “Asiap ...” Sepanjang perjalanan menuju ke arah kampus. Auris tak henti-hentinya mengajak Eyang Kakungnya bercanda. Dia menggoda Kakungnya yang kesepian di tinggal keluarga Ayah Danesh pergi liburan ke Korea Selatan. “Makanya Kakak nginap dulu di rumah Akung. Pulang minggu depan saja.” “Enggak bakal di bolehin sama Daddy, Kung. Tahu sendiri kalau aturannya boleh menginap ketika libur atau waktu ada acara keluarga.” “Ya, dirayu dong Daddy kamu.” “Mana bisa, Kung? Pokoknya Daddy kalau soal aturan itu tidak ada tawar-menawar.” “Semalam yang anterin Kakak pulang siapa?” Auris mengira tidak ada yang tahu jika bukan supirnya yang mengantarkannya pulang semalam. Ternyata mata batin Eyang Kakungnya sangat jeli sekali. “Teman Auris, Kung.” “Siapa? kenapa tidak diajak masuk?” “Waktu Auris pulang semalam sudah pada tidur semua, Kung. Makanya Rajata nggak aku ajakin masuk ke rumah.” “Oh, jadi Rajata yang mengantarmu pulang.” Eyang Karim melihat ke arah cucunya sekilas sambil tersenyum. “Akung jangan salah paham. Bukan aku yang mau di antar pulang sama Rajata. Dianya yang paksa buat anterin.” Karim terkekeh mendengar suara cucunya yang mendadak gugup. Semua keluarganya sudah tahu jika Laki-Laki tampan itu suka dengan cucunya. “Tumben Kakak dipaksa mau. Biasanya langsung mencak-mencak.” “Nggak ada pilihan lagi, Kung. Lagian semalam Auris sedang malas berdebat.” “Owh, begitu ya?” “Ih ... Eyang kok gitu sih jawabnya.” “La terus harus jawab bagaimana?” “Tau ah, Auris sebel sama Akung!” Eyang Karim tertawa karena berhasil menggoda cucunya. Dia paling suka melihat wajah cantik Auris ketika sedang merajuk karena akan mirip sekali dengan Nala waktu muda. *** “Bawa bekal?” Auris mendongak ke atas saat ada orang yang bertanya. Dia menunduk kembali meneruskan makan siangnya tanpa mau menjawab. Rajata menghampiri Auris ketika sedang makan siang. Sahabatnya membeli minuman dingin di kantin jadinya dia sendirian duduk di kursi sekitaran Auditorium. “Mau ini?” tawarnya ketika sudah duduk di sebelah Auris. “Enggak, terima kasih.” “Aku tidak suka cumi-cumi. Ambil saja kalau mau.” Auris masih gengsi melihat bekal yang dibawa Rajata. Dia tahu jika Laki-Laki di sebelahnya tidak bisa makan seafood seperti Daddy-nya. “Sudah tahu alergi cumi kenapa juga bawa bekal itu,” omelnya tanpa mau melihat ke arah Rajata. “Bukan aku yang mau. Sepertinya, Mama Tiriku sengaja memasukkannya ke dalam bekal ku.” Mendengar Rajata mengucapkan ‘Mama Tiri’ membuat Auris langsung menatapnya. Dia paling tidak bisa mendengar cerita orang tua yang jahat dengan anak-anaknya. Sekalipun, anak sambung. “Mau tukeran bekal?” Auris memberikan bekal makan siangnya yang masih utuh. Dia tadi menghabiskan bekal sarapannya yang masih sisa separuh. “Kamu makan apa?” “Biar aku makan lauk kamu. Lagi pula aku sudah makan sisa sarapanku.” Rajata mengambil bekal yang diberikan oleh Auris. Tanpa berpikir panjang dia langsung memakannya karena sudah lapar. Setelah mengantar Auris pulang, dia mampir ke rumah Papanya karena ingin mengambil barangnya yang tertinggal disana. Ketika ingin pulang ke rumah Omanya, Papanya mencegah dan memintanya untuk menginap. Dengan sangat terpaksa Rajata menginap di rumah mendiang Mamanya yang penuh kenangan manis sekaligus pahit. “Pelan-pelan saja makannya. Nanti kamu tersedak.” Tegur Auris. Dia memberikan air putih miliknya. “Terima kasih. Aku buru-buru karena harus membantu Ciara.” Auris menghentikan suapannya ke dalam mulutnya sendiri saat mendengar Rajata mengatakan nama ‘Ciara’. Tiba-tiba saja nafsu makannya menghilang begitu saja! Gadis itu menutup bekal makan siang milik Rajata setelah itu memberikannya pada yang punya. “Kenapa tidak dihabiskan?” “Sudah kenyang.” Rajata mendesah pelan. Dia minum air pemberian Auris untuk mendorong makanan yang ada di tenggorokannya. “Jangan marah. Ciara kuliah di kampus yang sama dengan kita dan satu jurusan denganku. Tadi, dia dikerjai oleh senior seperti kamu kemarin. Aku ingin melihat keadaannya setelah makan siang.” Auris menyibukkan diri dengan ponselnya. Dia tidak peduli dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Rajata. “Kalau kamu tidak percaya. Ayo ikut aku ...” “Buat apa?” saut Auris. “Biar kamu tahu jika aku benar-benar hanya ingin menolong Ciara.” Auris mengambil kotak bekalnya yang sudah kosong. Memasukkannya lagi ke dalam tas bekal milik Mommy nya. Setelah itu, pergi begitu saja tanpa menjawab ajakan dari Rajata. Gadis itu berjalan menuju toilet dengan perasaan kesal. Harusnya Auris tidak merasakan apa yang kini tengah dirasakannya karena dia selalu mengatakan jika tidak suka dengan Rajata. “Kenapa sih sejak tadi cemberut terus mukanya?” “Lagi nggak mood aja hari ini aku, Alice.” “Bukannya tadi pagi masih cerah ceria itu wajah?” “Hmmm ... ada sesuatu yang bikin aku bad mood setelah makan siang.” “Apa? coba ceritakan sama aku. Siapa tahu aku bisa membantu mengembalikan mood kamu seperti sedia kala.” Auris menyandarkan kepalanya pada bahu Alice. Keduanya kini tengah menunggu jemputan di tempat biasa. Selama ospek berlangsung Auris terus saja menekuk wajahnya hingga membuat temannya sampai keheranan. “Aku kesal dengan Rajata.” “Kenapa lagi dia?” Auris menceritakan kejadian tadi siang saat bertukar bekal dengan Rajata. Waktu itu Alice sedang mengantri minuman yang sedang viral di kampus. Jadi, dia berada di kantin cukup lama. “Aku kok nggak tahu Ciara kayak apa? Padahal barisan anak Teknik sebelahan sama kita.” “Sama, Lice. Aku juga.” “Kamu sudah pernah melihat wajahnya Ciara?” “Semalam aku bertemu dengannya.” “Hah? Kok bisa? Gimana ceritanya?” Auris kembali menjelaskan awal pertemuan Ciara dengannya semalam. Dia juga menceritakan soal Ciara yang sengaja memeluk Rajata. “Wah ... fix, itu anak suka dengan Rajata!” “Sepertinya sih iya.” “Terus kamu mau diam saja?” tanya Alice dengan gemas. “Jangan sampai Rajata berpaling darimu dan lebih memilih Ciara!” “Ya, biarkan saja. Aku nggak peduli.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD