Auris berjalan tertatih ke arah toilet wanita. Meskipun, kakinya sudah mendingan. Tetap saja dia belum bisa berjalan dengan normal.
“Hai, Auris. Boleh kenalan gak nih?”
“Maaf, Kak. Aku sedang buru-buru.”
“Masih lama jam istirahatnya. Santai saja,” ucap senior yang terkenal nakal.
“Tapi aku belum makan siang, Kak. Masih harus mengerjakan tugas dari panitia ospek juga.”
Auris melanjutkan langkahnya menuju toilet namun kakinya di cekal oleh seniornya. “Lah malah jatuh.”
“Aduh ...” Auris merintih kesakitan ketika kaki kirinya menyentuh lantai.
“Salah kamu sendiri jalan tidak pakai mata.” Yoga menyalahkan Auris. Kedua temannya ikut tertawa melihat gadis itu terjatuh.
Auris masih berusaha berdiri sendiri tanpa mau melawan senior yang menjahilinya. Dia ingat pesan Mommy nya jika tidak boleh berurusan dengan para senior yang memiliki kepribadian kurang baik.
“Biar aku bantu.” Yoga dengan kurang ajarnya memeluk lengan Auris.
“Nggak perlu, Kak. Aku bisa sendiri,” tolaknya dengan menarik tangannya.
Yoga kembali menarik tangan Auris hingga gadis itu menabrak badannya. “Sombong juga kamu ya!”
“Kakak! Aku akan laporkan pada Dosen kalau bertindak tidak sopan seperti ini lagi,” ancam Auris dengan berusaha melepaskan cekalan tangan seniornya.
“Laporkan saja! Kamu pikir aku takut? Tidak ada Dosen yang berani memberikan hukuman padaku.”
“Lepaskan aku!” seru Auris. Kedua matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. Dia ingin meminta tolong tapi keadaan lorong menuju toilet dalam keadaan sepi.
“Kamu cantik sekali, Auris. Pantas saja semua panitia ospek terus saja membicarakanmu.” Yoga dengan kurang ajarnya membelai lembut kepala Auris.
Perlakuan Yoga membuat Auris kehilangan kesabaran. Dengan bekal bela diri dari Daddy nya dia menendang s**********n seniornya hingga terduduk dilantai.
“Sial! Dasar gadis sinting.” Yoga merintih kesakitan saat aset negaranya terkena tendangan.
“Bos, kamu tidak apa-apa ‘kan?”
“Matamu buta?! Tidak bisa melihat apa yang baru saja dilakukan gadis sinting itu padaku.”
“Maaf, Bos.”
Kedua sahabat sekaligus anak buah Yoga tengah menolong Bosnya. Mereka melupakan Auris yang kini tersenyum penuh kemenangan.
Memiliki kesempatan kabur tak disia-siakan oleh Auris. Dengan menahan nyeri pada kakinya, dia bergegas menuju ke Auditorium.
“Dari mana saja kamu?” Rajata tiba-tiba muncul di hadapan Auris.
“Dari toilet.”
“Kenapa sampai pergi jauh dari Aula? Di sini juga ada banyak Toilet.”
“Penuh semua toiletnya. Jadi, aku cari yang sepi.”
“Sengaja ingin diganggu senior?”
Kedua mata Auris melotot galak pada Rajata. Pertanyaan Laki-Laki yang ada di depannya sangat menyakiti hatinya.
“Kalau tidak bisa bicara dengan baik mendingan jauh-jauh dariku. Bikin mood aku makin berantakan saja!”
“Oh, cita-cita diganggu senior sudah tercapai?”
Auris membuang wajahnya ke samping kiri. Rajata benar-benar berubah sangat menyebalkan. Tidak ada perhatian sama sekali dengannya.
“Minggir, aku mau lewat.”
“Kenapa aku harus ke pinggir? Lihat sebelah kirimu masih muat di lewati tiga orang sekaligus.”
Auris mendengkus sebal. Bukannya dirayu ketika sedang merajuk malah semakin dibuat kesal.
“Kamu tuh kenapa sih? Berubah jadi aneh dan sangat menyebalkan.” Auris akhirnya tidak tahan lagi bertanya keanehan yang terjadi pada Rajata.
Bukannya menjawab. Rajata hanya mengangkat bahunya lalu pergi begitu saja.
Kedua tangan gadis itu mengepal menahan kesal dengan wajah ditekuk. “Awas saja kamu Rajata! Aku akan membuatmu bertekuk lutut kembali padaku.”
***
“Auris tugasmu sudah selesai apa belum?”
“Belum. Aku tidak bisa menemukan Bendahara BEM Fakultas untuk meminta nomor ponselnya.”
“Bukannya tadi kamu sudah bertemu dengannya?”
“Kapan? Aku sudah bertanya pada semua anggota BEM tapi tidak ada yang mengaku bernama Zivanya.”
“Ya, enggak bakal mengaku. Jangan tanya langsung tapi lihat name tag.” Alice melihat daftar kertas yang dipegang oleh Auris. “Masih kurang satu. Ayok aku bantuin cari Bendahara BEM Fakultas.”
“Sahabatku Alice memang yang terbaik,” ucapnya dengan dengan memeluk tubuh Alice.
Kedua sahabat itu berjalan berkeliling mencari keberadaan anggota BEM yang bernama Zivanya.
Tugas yang diberikan panitia ospek hari ini lumayan sulit karena orang yang harus dimintai nomor ponsel tidak mau mengatakan nama jika di tanya. Membuat Auris seperti orang linglung berputar kesana-kemari berulang kali.
“Halo, Kak. Saya Auris, MABA yang mendapatkan tugas dari panitia untuk meminta nomor ponsel Bendahara BEM Fakultas.”
“Kamu salah orang, Dek. Aku bukan Bendahara BEM.”
Auris memberikan senyuman manisnya. “Kakak yang bernama Zivanya, ‘kan?”
“Tahu dari mana kalau namaku Zivanya?”
“Itu,” tunjuk Auris pada name tag yang sedikit terlihat dibalik kerudung.
“Lah, malah kelihatan.” Zivanya tidak menyangka name tag yang disembunyikannya keluar tanpa permisi.
Auris dan Alice terkekeh pelan melihat kelucuan dari seniornya. Kalau dilihat dari wajahnya Zivanya terlihat galak tetapi sangat ramah sekaligus humoris.
“Kakak mau isi sendiri apa Auris yang isikan?”
“Biar aku saja. Nanti kalau aku sebutin malah banyak yang mencatatnya.”
“Wah ... Kak Ziva banyak fans berarti ya?” goda Alice.
Ziva tertawa, mencubit pelan pipi Alice. “Bukan fans tapi haters.”
Setelah berhasil menyelesaikan tugas. Auris langsung menuju ke meja panitia ospek untuk mengumpulkan tugasnya.
Alice sudah selesai lebih dulu jadi hanya mengantarkan sahabatnya saja. Sembari melihat-lihat panitia ospek yang terlihat bening-bening sedap dipandang.
“Hey,” panggil seseorang ketika Auris baru saja kembali duduk pada barisannya. “Boleh minta fotonya?”
Auris mendongak. Wajahnya biasa saja saat melihat Rajata berdiri di depannya. “Nggak boleh!”
Dia langsung menolak tanpa bertanya tujuannya meminta foto. Kekesalannya pada sikap songong Raja masih belum hilang.
“Hanya foto selfie untuk tugasku hari ini,” ucap Rajata.
“Aku tidak mau di foto sama kamu!” tolaknya lagi.
Rajata duduk di samping Auris. Membuat para teman kelasnya berteriak heboh karena dapat melihat ketampanan MABA Fakultas Teknik yang menjadi idola baru kampus.
“Hanya sebuah foto tidak akan membuat wajahmu berubah jelek.”
Auris mencebikkan bibir. Rajata berubah sangat drastis.
“Mohon maaf ya, aku tetap tidak mau di foto meskipun kecantikanku akan bertambah setelahnya.”
“Ccckkk, percaya diri sekali kamu.” Rajata tersenyum mengejek pada Auris.
Dia membuka kamera ponselnya langsung mengambil gambar gadis yang kini sedang menekuk wajah tanpa permisi. “Sudah ...”
“Apanya yang sudah?”
“Fotonya. Aku sudah mendapatkannya.”
Rajata pergi begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih karena telah mencuri foto Auris. Meskipun, sikapnya jutek. Tetap saja banyak sekali Perempuan yang menyukainya.
Alice terbahak melihat wajah kesal sahabatnya. Dia suka melihat interaksi antara Auris dan Rajata. setiap kali bertemu keduanya pasti akan menjadi Tom and Jerry.
“Ngeselin banget tuh orang,” omel Auris.
“Lagian dimintai foto baik-baik nggak kamu kasih.”
“Ya, enggak pakai acara mencuri juga, Lice.”
“Aku penasaran sama hasil foto yang diambil Rajata secara diam-diam.”
“Pasti wajahku kelihatan jelek sekali.”
“Kayaknya sih iya,” jawab Alice dengan terkikik geli.
Setelah semua MABA mengumpulkan tugas yang diberikan oleh panitia. Mereka langsung diperbolehkan pulang.
Agenda hari ketiga ospek adalah perkenalan gedung Fakultas masing-masing. Mereka besok akan diajak keliling gedung oleh panitia.
“Di jemput sama Daddy lagi?”
“Enggak. Hari ini Daddy ada jadwal operasi hingga malam. Mommy yang akan jemput sama Adek. Sekalian kami berkunjung ke rumah Eyang.”
“Sama, dong. Aku juga nggak di jemput Papa karena sedang di luar kota. Tapi aku dijemput sama Pak Supir.”
Auris memeluk lengan sahabatnya. Dia tahu jika Alice tidak memiliki Mama karena sudah meninggal ketika melahirkannya. “Mau bareng? Nanti aku bakal minta Mommy buat antar kamu lebih dulu.”
Alice menggelengkan kepala. “Terima kasih, Auris. Kapan-kapan saja aku menumpangnya. Soalnya itu jemputanku sudah datang.”
“Wah, cepat sekali.”
“Iya, aku ‘kan mau mampir dulu beli Novel.”
Auris memeluk Alice sebentar sebelum sahabatnya itu masuk ke dalam mobil. Setelah itu, kembali pada kursi panjang yang disediakan pihak kampus untuk para mahasiswanya menunggu jemputan.
Aurell, Adik kesayangannya sudah mengirimkan pesan padanya jika sebentar lagi akan sampai.
“Sendirian saja cantik.” Yoga tiba-tiba datang lagi langsung memeluk bahu Auris.
Auris berdiri dan melepaskan pelukan Seniornya dengan sedikit kasar. “Kak Yoga jangan bersikap kurang ajar sama aku ya!”
“Kenapa memangnya? Aku suka bersikap seperti itu padamu.”
Auris menghela nafas agar emosinya tidak meledak di depan umum. Karena saat ini banyak sekali MABA di sekitarnya sedang menunggu jemputan juga.
“Ada apa?” Rajata datang langsung menggenggam sebelah tangan Auris.
“Kak Yoga sejak tadi siang bersikap kurang ajar dengan ku,” adunya. “Dia juga sengaja menjegal kakiku agar terjatuh di lorong toilet.”
Rajata melihat ke arah seniornya. Dia sudah tahu siapa orang tua Yoga hingga membuatnya merasa berkuasa di kampus.
“Apa kamu lihat-lihat?! Berani dengan ku!” bentak Yoga.
“Bukannya aku tidak berani. Tapi aku malas meladeni Mahasiswa yang hobinya membuat masalah.”
“Owh, sok menjadi Mahasiswa baik ternyata. Kamu belum tahu siapa aku?” Yoga mulai menunjukkan sikap arogannya.
“Anak dari Wakil Rektor.”
“Masih berani berurusan dengan ku?”
“Bukankah aku sudah mengatakan jika tidak mau berurusan dengan Mahasiswa pembuat onar? Tidak dengar atau memang ...” Rajata sengaja menggantungkan kalimatnya untuk mengejek Yoga.
“Jangan sok jagoan kamu!” Yoga melayangkan satu pukulan namun dengan mudahnya ditepis oleh Rajata.
“Ya Allah. Jangan berantem di sini,” teriak Auris. Gadis itu memeluk tubuh Rajata agar tidak melawan Yoga.
“Lepaskan aku Auris. Kamu bisa terkena pukulan!” Rajata sedikit mendorong tubuh Auris agar berjarak dengannya.
Setelah itu, dia kembali menangkis pukulan dari Yoga. Memutar sebelah tangan jagoan kampus itu ke belakang dan mengunci pergerakannya.
“Jangan ganggu Calon Istriku lagi jika kamu masih sayang dengan tulang-tulang mu!” bisik Rajata dengan penuh penekanan.