Rajata Menang Banyak

1616 Words
“Sudah jelas dengan rute yang harus kalian lewati saat jelajah malam ini?” “Sudah, Kak,” jawab kompak junior Mapala. “Kalau begitu, kalian kembali ke tenda masing-masing. Siapkan peralatan yang harus kalian bawa untuk jelajah malam. Jangan sampai ada yang ketinggalan karena itu akan menyusahkan kelompok kalian.” “Siap, Kak.” Setelah mendapatkan materi dari Senior Mapala yang menjadi tamu undangan malam ini, semua junior ke tenda masing-masing sesuai perintah panitia. Auris sudah menyiapkan peralatan yang akan dibawanya saat melakukan jelajah malam. Sejak kejadian pencurian ciuman yang kedua kalinya, gadis itu menjaga jarak dengan Rajata. Selama Senior Mapala memaparkan materi, dia tak menghiraukan jika Rajata bertanya soal materi yang tak dipahami nya. Auris tidak percaya jika seorang Rajata tidak paham dengan materi yang baru saja di terangkan. Secara kapasitas otak yang dimilikinya sangatlah besar. “Auris, sudah siap?” “Iya, Inggrit. Kamu sendiri gimana?” “Sama. Tapi agak gugup. Baru kali ini aku keluar tengah malam di tepi danau.” “Ya, aku juga. Kata senior nggak ada hewan buas di sini. Jadi, tidak perlu takut.” “Aku tuh takut sama Laba-Laba, Ris. Biasanya kalau di alam terbuka seperti ini hewan itu banyak dan ukurannya sangat besar.” “Nanti biar aku saja yang mengusir jika bertemu Laba-Laba,” Auris menggandeng Inggrit menuju ke tempat berkumpul sebelum jelajah malam di mulai. “Lah, kamu nggak takut memangnya?” Kepala Auris menggeleng dengan cepat. “Aku tuh takut sama reptil yang ukurannya besar saja. Seperti ; Buaya, Komodo dan Ular Anaconda. Karena ukurannya besar aku takut di makan sama mereka.” “Di sini tidak ada hewan-hewan yang barusan kamu sebutkan, Ris.” “Hehe, iya. Makanya aku bisa bernafas lega. Soalnya, sempat takut jika masih ada Buaya di dalam danau.” Kegiatan jelajah malam di mulai ketika waktu menunjukkan pukul dua belas malam tepat. Tidak ada acara penutupan mata pada Junior Mapala. Namun, mereka dilarang menyalakan senter selama kegiatan berlangsung. Peralatan yang ada di dalam tas kecil mereka hanya dipakai jika dalam keadaan mendesak saja. Sepanjang jalan di tepi danau sudah disiapkan obor yang jaraknya lumayan jauh dari obor yang lainnya agar suasana tempat jelajah malam tetap gelap. “Jangan jauh-jauh dari aku!” “Berisik banget sih, bisa dian apa enggak?!” omel Auris. “Malu sama teman-teman yang lainnya.” Rajata menjadi ketua kelompoknya yang terdiri dari 1 Laki-Laki yaitu dia sendiri dan 5 Perempuan termasuk Auris. “Raja itu di sana ada apa?” tanya Inggrit. “Sepertinya itu, pos satu.” Raja melihat peta yang di gambarnya ketika senior menjelaskan rute yang akan dilaluinya. “Syukurlah sebentar lagi sampai pos.” Inggrit mendesah lega. Dia sejak tadi yang paling ketakutan di antara anggota kelompoknya. “Jangan takut! Laba-Laba sudah di pukul tuh sama Pak Ketua,” ucap Auris dengan mengelus lengan temannya. Raja masih terus berjalan di depan memastikan jalan setapak yang dilaluinya aman. Karena senior sudah membuat jebakan di setiap jalan yang menjadi rute jelajah malam. “Aduh ...” “Kenapa?” Tanya Auris ketika Rajata menghentikan langkahnya. “Sepertinya kakiku ...” Rajata menghentikan ucapannya. Dia juga meminta anggotanya mundur ke belakang. Namun Auris menolak. “Mundur Auris! Ada Ular yang melewati sepatuku,” ucapnya dengan nada lirih namun penuh penekanan. “Astaghfirullah, lalu gimana? Apa yang harus kami lakukan?” Auris beserta teman-temannya panik. Posisi mereka saat ini jauh dari obor membuat kaki Rajata tidak terlihat sama sekali. Mereka tidak di ijinkan menyalakan senter sebelum melewati pos ketiga meskipun dalam keadaan darurat seperti saat ini. “Bisa carikan ranting kayu?” “Aku bawa tongkat lipat,” ucap salah satu anggotanya. “Boleh di pakai ‘kan?” “Tentu saja boleh. Tongkat bukan senter,” saut cepat Auris. Gadis itu meminta temannya mengambil tongkat dari dalam tasnya. Setelah itu, memberikannya pada Rajata. “Hati-hati, Rajata,” ucap para anggotanya. Rajata mengangguk yakin meskipun tidak terlihat dengan jelas karena cahaya bulan tertutup awan gelap. Dengan insting yang dia punya sebagai seorang pecinta alam. Rajata mengarahkan ujung tongkatnya ke arah sisi kanan yang di rasanya itu adalah bagian kepala. Rajata melakukan gerakan cepat saat penjepit berhasil menjepit bagian kepala Ular. Dia memutar dengan cepat tongkat itu lalu membawanya ke arah obor agar bisa melihat jenis Ular apa yang telah mengganggunya. “Apa yang kamu bawa Raja?” tanya senior yang menjaga pos satu. “Ular, Kak.” “Cepat bawa ke sini.” Rajata berjalan cepat agar segera menyerahkan Ular yang ditangkapnya. Dia cukup terkejut saat melihat King Cobra kecil yang melintas di atas sepatunya. “Siapa yang sudah membawa tongkat Ular?” tanya senior setelah menaruh Ular ke dalam kurungan yang tersedia di pos. “Saya, Kak.” “Siapa nama kamu?” “Shinta, Kak.” “Karena kamu membawa tongkat Ular, kelompokmu akan mendapatkan tambahan nilai.” Rajata dan anggotanya mendesah lega. Mereka sudah berpikir akan mendapatkan hukuman karena membawa peralatan yang tidak ada dalam list dari panitia. Auris dan juga Inggrit memeluk lengan Shinta. “Shinta hebat!” seru keduanya. “Tidak sia-sia bawa ransel paling besar. Ternyata isinya kayak kantong Doraemon,” ucap Auris. “Kamu ini, mana bisa ransel aku disamakan dengan kantong Doraemon yang serba ada.” Kelompok Rajata mulai memecahkan pertanyaan yang cukup sulit dari panitia agar bisa melanjutkan perjalanan menuju ke pos dua. Kini giliran Auris yang memiliki kepintaran di atas rata-rata beraksi. Dia dengan mudahnya menjawab pertanyaan berjumlah lima nomor dan benar semua. “Semoga saja tidak akan ada ular lagi,” ucap Auris yang paling takut dengan reptil. “Untung saja Ular tadi ukurannya kecil. Kalau besar pasti aku sudah pingsan.” “Tetap waspada. Jika merasa menginjak sesuatu berhenti dulu jangan lanjutkan langkah,” ucap Rajata yang berada di depan anggotanya. “Siap, Pak Ketua!” seru kelima gadis di belakangnya. Perjalanan menuju ke arah pos dua sangat lancar. Mereka tidak mendapatkan kesulitan apapun. Kelompok Rajata memutuskan langsung lanjut ke pos selanjutnya setelah Auris berhasil menjawab semua pertanyaan. “Kalau perjalanan ke pos tiga lancar seperti tadi bakal menang kelompok kita,” Ucap Shinta. Rajata menghentikan langkahnya tanpa aba-aba membuat orang-orang di belakangnya salin bertabrakan. “Ada apa?” tanya Auris. “Apa ada Ular lagi?” tanya Shinta. Dia langsung membuka ranselnya. “Bukan.” Rajata meminta anggotanya menutup mata dan tetap diam di tempat. “Aku akan jalan lebih dulu.” Para gadis di belakangnya menurut kecuali Auris. Dia menahan lengan Rajata dan mengatakan ingin ikut. “Tetap di tempat, Auris.” Auris menggelengkan kepalanya. “Pokoknya mau ikut.” “Kamu akan ketakutan jika ikut,” ucap Rajata dengan lirih agar anggotanya tidak mendengar. “Ada apa sih? Selain reptil aku berani kok.” “Sepertinya ada hantu di atas pohon sana,” tunjuk Rajata pada pohon yang ada obornya. “Aku akan memastikannya. Jika itu panitia yang sedang menyamar kita bisa lanjut.” “Aku tetap ikut!” “Pegang tanganku.” Auris memeluk lengan Rajata lalu keduanya melangkah seirama menuju ke arah pohon yang berjarak 200 meter di depan mereka. “Kayaknya bukan hantu sungguhan,” bisik Auris. “Aku juga merasa begitu, makanya aku minta kalian menunggu dengan menutup mata.” “Mana asik jelajah malam nggak lihat hantu?” Rajata melihat ke arah gadis yang kini menempel padanya. “Dasar aneh!” Cubitan kecil dari Auris mendarat sempurna pada lengan Rajata. “Bilang apa tadi?!” “Ampun ... Ampun, sakit Auris. Kamu ini suka sekali melakukan kekerasan padaku!” gerutu Rajata. “Lebih baik kamu cubit itu hantu yang ada di atas pohon besar itu.” “Ide bagus,” jawab Auris dengan cepat. Dia tersenyum bahagia, otak cantiknya sudah menyusun rencana untuk memberikan kejutan pada senior yang cosplay menjadi hantu. “Jangan berlebihan kalau mau ngerjain senior. Kasihan dia nanti,” tegur Raja. “Salah sendiri jadi hantu pohon. Harus dikasih pelajaran!” Kedua orang itu sudah berada tepat di depan pohon besar. Tiba-tiba saja dari atas ada Mbak Kunti bergelantungan menggunakan tali putih. Raja sedikit terkejut ketika mendengar suara tawa Mbak Kunti. Beda sekali dengan Auris, gadis itu langsung menarik dress putih yang menjuntai ke bawah. Suara tawa Auris mengalahkan suara Mbak Kunti. Dia terlihat senang sekali berhasil menangkap hantu. “Awww ... jangan di tarik nanti robek,” teriak senior yang sedang cosplay menjadi hantu. Saat mendengar suara tawa renyah Auris teman-temannya langsung membuka mata. Mereka kaget ketika melihat temannya sedang melakukan adegan tarik-menarik dengan Mbak Kunti. “Buruan turun, aku akan mencubit pipi kamu, Mbak Kunti,” teriak Auris. “Mana ada ada hantu gemoy seperti ini,” ucapnya lagi. Rajata meminta Auris melepaskan hantu jadi-jadian yang tengah berteriak minta tolong padanya. Namun, tetap saja gadis itu tidak mau melepaskan. “Tolong, Adek. Lepaskan aku, nanti aku bisa jatuh ke danau,” ucap Mbak Kunti. “Gak mau pokoknya turun dulu!” seru Auris. “Aku tidak boleh turun. Nanti kalau ada kelompok lain datang bisa ketahuan jika aku hantu bohongan.” Inggrit tertawa hingga memegang perutnya saat melihat kelakuan temannya. Baru kali ini ada Mbak Kunti merengek minta di lepaskan. “Auris sudah,” Rajata memeluk Auris dari belakang agar gadis itu mau melepaskan seniornya. Posisi Mbak Kunti kini sudah semakin ke bawah hampir jatuh. “Lepaskan aku Rajata! Kamu ini suka sekali mengambil kesempatan,” omel Auris. Bukannya melepaskan pelukannya pada Auris. Rajata justru mengeratkan hingga tubuh keduanya saling menempel. Dengan sekali angkat, Rajata menggendong Auris agar dia mau melepaskan Mbak Kunti. Bukan Rajata namanya jika tidak memanfaatkan kesempatan emas. Dia menyempatkan mengecup pipi Auris sebelum membawanya menjauh dari pohon. “Dasar kang modus!” teriak Auris. “Tidak ada yang melihatnya. Jika kamu masih meronta-ronta aku akan menciummu lagi di depan teman-teman,” ancam Rajata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD