Persimpangan Jalan (2)

2105 Words
1 bulan kemudian… Dengan Hormat, Melalui surat ini kami dari BEST Hawwan Tbk, menyatakan bahwa : Nama : Eshal Maida Aara NIK : Diterima untuk bekerja mulai tanggal 1 Februari 2021 dengan ketentuan saudara mentaati semua peraturan dan tata tertib yang berlaku di BEST Hawwan Tbk. Demikian surat ini kami sampaikan atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapan terima kasih. Hormat Kami HRD ( Oktaviana Melisa ) Surat itu masuk diemailnya setelah Aara mendapatkan telpon dari seseorang yang mengaku HRD dari perusahaan tersebut. Perempuan itu termenung, berusaha mengingat kembali apakah dia pernah memasukan lamaran di perusahaan BEST Hawwan Tbk yang seperti disebutkan dalam surat maupun seseorang yang menelponnya tadi. Seperti informasi yang didapatkannya, Aara harus membawa CV dan lamarannya ke jalan Haji Subroto, Surabaya dan akan langsung bekerja hari itu juga. Sebenarnya hal yang sangat membahagiakan, namun dia masih belum lepas dari rasa bingungnya. Tapi seketika dia sadar dan segera berlari kedepan rumah, menunjukan surat panggilan bekerja ke ibunya. Wanita yang paling menyesalkan perempuan itu keluar dari pekerjaan sebelumnya. Seperti orang tua lainnya, wanita itu hanya ingin putrinya mendapatkan kehidupan yang layak dan Bahagia, hanya itu saja. Mendapat berita itu, ibunya memeluk Aara dan sedikit meneteskan air mata. “Kalau begitu segera makan, dan tidur. Besok ibu bangunkan pagi-pagi, kamu jangan sampai telat ya, karena besok hari pertama kerjamu. Jalanan kan macet biasanya.” Ucapnya dengan antusias. Aara tersenyum melihat ibunya yang bahagia, wanita yang tidak tau alasan Aara menjadi frustasi dan memilih keluar dari segala aktivitasnya dulu. Aara tidak pernah menceritakan tentang Dhanis pada ibunya, karena dia tau ibunya akan marah besar. Jadi semuanya dia pendam sendiri, sampai berakhir seperti saat ini. Dan kini, perempuan itu ingin semuanya berubah, hari baru akan dilaluinya mulai besok. *** Jam pun berganti dengan cepat, terang yang berubah menjadi petang, kembali terang lagi. Ibunya membangunkan Aara tepat waktu, sehingga perempuan itu pagi-pagi sudah berada di tempat kerja barunya. Dia bertemu dengan HRD yang menelponnya kemarin, dan bertemu juga dengan teman kantornya. Dan yang paling membuatnya terhenyak, dia satu kantor dengan Aqila, teman satu kampusnya dulu dengan Dhanis juga. “Bagaimana kamu dengan Dhanis? Aku dengar dia sudah menikah ya..” Ucap Aqila, karena dia tau Aara sangat serasi dengan Dhanis waktu itu, banyak orang yang mengagumi mereka dan iri karena paket komplit dimiliki mereka berdua. Aara hanya tersenyum masam, Aqila yang menyadari suatu hal segera mengalihkan pembicaraan. “Oh ya, kamu tau Ra, disini ada marketing manager yang keren banget, udah kayak pemeran Aldebaran di sinetron ikatan cinta. Namanya pun sama, Pak Al.” seperti karyawan lainnya, Aqila menyukai salah satu karyawan juga disana. Aara tertawa, “Kamu nggak berubah ya, sama aja kayak dulu, nggak bisa liat orang ganteng.” Ucapnya melihat temannya itu selalu antusias menceritakan hal yang dikaguminya. “Eh tapi seriusan, kalo kamu tau, aku yakin kamu bakal naksir jugaa..” “Masak sih?” Goda Aara yang tidak percaya dengan yang dikatakan oleh Aqila. “Iya beneeer, oh ya nanti kan ada meeting team marketing sama direktur perusahaan, kamu harus tau, karena saat itu semua cowok ganteng numplek blek jadi satu ruangan.” Ucap Aqila yang membuat Aara menggelengkan kepala dan berdecak heran. *** Hari yang melelahkaaaaan.. Sepulang dari kerja, Aara mampir beli jajanan pasar kesukaannya yang dekat dengan rumah Dhanis. Sembari menunggu, dia duduk dibangku yang biasanya dia pakai untuk menatap kemesraan Dhanis dengan istrinya. Setidaknya hal itu menjadi pengingatnya untuk tidak lagi berharap dan mencintai laki-laki yang tidak pernah menghargainya. “Kamu disini ternyata,” Suara itu tidak asing lagi bagi Aara. Dia menoleh kesampingnya dan mendapati Harist disana. Laki-laki itu tersenyum, kamus Bahasa santainya semakin membaik, setelah mengenal Aara. Mereka sering bertemu, dan berbagi cerita. Entah apakah Harist lah yang membuat Aara dapat sedikit demi sedikit merelakan Dhanis. “Hmmm, aku capek sekali. Ini hari pertamaku kerja looh. Kamu tauu, aku bertemu dengan teman lamaku dikampus, Namanya Aqila.” Aara mulai membuka cerita, dan Harist segera mengambil posisi yang nyaman untuk mendengar cerita perempuan itu. “Hal paling konyol adalah, dia mengajakku keluar ruangan sebentar dan turun hanya untuk melihat para team marketing dan direktur perusahaan meeting, dia bilang cowok ganteng numplek blek jadi satu ruangan.” Lanjutnya bercerita. “Terus kamu turun dengannya? Kamu melihat cowok-cowok ganteng itu?” tanya Harist. “Menurutmu?” Tanya balik Aara, menyuruh laki-laki itu untuk menebak. “Aku tidak tau. Ayo katakana saja.” Ucap Harist tanpa basa-basi. Aara mendesis, “Mana kamus bahasa santaimuuu, basa-basi sedikit kek. Ya enggaklah, aku karyawan baru disana, mana mungkin aku berani leha-leha. Fokusku disana kerja, bukan cari cowok ganteng.” Ucap Aara. “Naah itu baru bener.” Harist mengubah posisi duduknya menjadi lurus kedepan, dia melahap makanan yang ada disampingnya. “Cuma gitu doang?” Tanya Aara. “Iya. Apa yang kamu lakuin itu bener.” “Baiklah.” Aara membenarkan posisi duduknya juga, dia menghadap kedepan, menghempaskan punggungnya dibangku kursi. Dan pandangan yang pertama kali dilihatnya adalah Dhanis yang baru pulang kerja, dia disambut bahagia oleh perempuan yang perutnya semakin hari semakin membesar. Ya, istri Dhanis telah hamil, dan mungkin sudah 5 bulan dari hari pernikahannya. Tiba-tiba Aara dikejutkan oleh mulutnya yang dimasuki banyak makanan, dia melihat kearah samping dan mendapati Harist yang hendak kembali mengambil makanan untuk memasukkannya dimulut Aara lagi. Perempuan itu memukul kecil lengan laki-laki itu, mengoceh dengan mulut yang penuh makanan. “kurang ajar yaaa, dasar kurang kamus bahasa santai. Ngeselin banget.” Gerutu Aara, dia tau Harist melakukan itu agar dia berhenti memperhatikan apa yang ada didepannya. Ya, Aara sudah menceritakan semuanya tentang Dhanis pada laki-laki itu. Setelah lama dia pendam sendirian, akhirnya dia memiliki tempat bercerita. Sebenarnya perempuan itu takut, Harist akan memandangnya seperti perempuan jahat dan tidak punya hati, tapi respon Harist sangat diluar ekspektasi. Laki-laki itu dapat menerima dan tidak sepenuhnya menyalahkan Aara. “Aku tidak suka kamu melihatnya.” Ucap Harist sembari membuka ponselnya, sepertinya ada sesuatu yang mengharuskannya melihat benda berbentuk persegi panjang itu. Karena setiap dengan Aara, laki-laki itu jarang sekali bermain ponsel. “Aku sudah nggak apa-apa.” Aara coba meyakinkan. “Nggak mungkin, ngggh Ra..” “Ya?” “Aku pamit dulu, terjadi sesuatu sama ayahku, nanti aku kabari lagi ya.” Ucap Harist yang tidak bisa menutupi kegusarannya. “Ada apa? Apa perlu aku ikut?” Aara ikut khawatir. “Nggak perlu, nanti aku kabari lagi. Kamu langsung pulang setelah ini, besok kerja.” Ucap Harist langsung bergegas pergi. Sepertinya benar, ada sesuatu yang terjadi pada ayahnya hingga membuat laki-laki itu sangat khawatir. *** Esok harinya.. Aara menghubungi Harist, namun belum ada kabar sama sekali dari laki-laki itu. “Tumbenan ya Pak Rendy nggak dateng ke kantor beberapa hari ini. Biasanya awal bulan gini udah nanya-nanya laporan dan segala macemnya. Paling nakutin dah.” Ucap Aqila bersama teman lainnya. Aara hanya mendengarkan, yang dia tau pak Rendy adalah direktur utama di BEST Hawwan Tbk, pria paruh baya yang keras tapi sangat bijaksana, kesan pertama Aara mengenalnya. “Ada sesuatu jadi Pak Rendy nggak bisa dateng ke kantor.” Jawab bu Okta yang menjadi paling senior disana. Sepertinya masih kerabat dekat dari keluarga direktur. Hanya menebak saja sih, karena wanita itu selalu tau apa yang terjadi dengan keluarga pemilik perusahaan. “Oalaaah." “Selamat siang semuanya.” Suara itu terdengar seiring laki-laki masuk kedalam ruangan. Semuanya tercekat, begitupun dengan Aara. Mungkin hanya perempuan itu yang paling terkejut. “Harist.” Ucap Aara pelan. Bagaimana laki-laki itu ada ditempat kerjanya? Dan kenapa semuanya menyahuti dan terlihat segan pada Harist? Lalu, kenapa laki-laki itu berjalan menuju ruang kerja milik direktur utama? “Ra, ssstt..” Aqila menyadarkan Aara yang masih tercekat. “Kenapa? Ganteng ya?” Ucapnya yang menyadarkan Aara. Tiba-tiba suara telpon berbunyi, Aara segera mengangkatnya. “Ke ruangan saya sekarang.” Kemudian telepon itu ditutup. “Siapa? Pak Harist ya?” Tanya Aqila berbisik. Aara pun mengangguk. “Disuruh keruangannya?” Aara lagi-lagi mengangguk. “Dia pasti minta laporan bulanan, kamu siapin dan langsung bawa ke Pak Harist.” Ucap Aqila memberi tau. Aara mengangguk lagi. “Tenang, nggak usah takut. Pak Harist memang lebih keras dan kaku daripada Pak Rendy.” Ya, terdengar jelas dari ucapannya tadi. Pikir Aara. *** Setelah menyiapkan semua laporannya, Aara pergi menuju ruang kerja direktur utama. Dia mengetuk pintu, “Permisi Pak,” “Ya, masuk.” Jawab seseorang dibalik pintu. Aara pun membuka daun pintu, dan memperlihatkan laki-laki dengan jas hitamnya duduk disana, bergelut dengan banyak kertas dan laptop didepannya. Dia harus menahan diri, jangan bertanya apapun pada laki-laki itu, meski Aara merasa ini semua sangat lah aneh. “Pak, mohon dicek laporan bulanannya. Saya ijin kembali ke ruangan. Permi,” “Tunggu dulu, duduk disitu, saya mau cek laporannya. “ Harist menunjuk kursi yang ada diseberangnya, menyuruh Aara duduk disana sembari dia mengecek hasil laporan bulanannya. Aara pun melakukan apa yang diperintahkan. Dia duduk dan ya hanya duduk. Rasanya sangat canggung. “Nanti jam istirahat, makan siang dengan saya.” Ucap Harist. Bukan sebuah penawaran, tapi ini adalah perintah. Melihat Harist kali ini mengingatkannya pada awal mereka bertemu, ketika Harist sulit mengenalkan diri secara nonformal, ternyata laki-laki itu memang lebih cocok bersikap kaku dan keras seperti ini. Belum juga mendapat jawaban dari Aara, laki-laki itu mendongak dan membuat Aara semakin gugup. “Ma.. maaf pak, saya sudah bawa bekal, saya bisa makan diruangan saja.” Aara menolak, dia tidak tau harus bersikap seperti apa. “Tidak boleh ada penolakan.” Oh tidak. Aara menyadari satu hal; Harist adalah laki-laki yang tidak mau dibantah ataupun mendapatkan penolakan. Lalu Harist yang bersamanya selama ini, siapa dia? “Baik pak, maaf.” Aara menundukkan kepalanya, memperhatikan kaki-kakinya dibawah. Apa yang harus dilakukannya saat Harist sedang mengecek laporannya. Ini sangat membuatnya canggung dan terasa aneh. *** Pukul 12.00 “Qil,” Aara sudah berada disamping perempuan yang dipanggilnya. “Kita ke kantin yuk.” Langsung ditariknya Aqila tanpa aba-aba. “Kok tumben sih?” Tanya Aqila yang bingung “Tapi bentar, aku belum bawa uang njiir.” “Pake uang aku. Udah ayo.” Aara hanya tidak mau Harist keluar ruangan dan menemukannya, bisa-bisa semua orang satu perusahaan curiga melihatnya dengan orang nomor satu diperusahaan itu. Akh tidak-tidak. Aara tidak ingin hal itu terjadi, dia tidak mau menjadi bahan gunjingan satu perusahaan. *** Setelah jam makan siang selesai, ternyata Harist sudah berada diruangannya. Aara bersyukur tidak terjadi makan siang bersama dengan laki-laki itu. Ketakutannya dapat dihindari. “Aara,” Suara itu mengejutkannya yang antara sedang fokus bekerja atau fokus dengan pikirannya yang berkecamuk. “Saya mau kamu kerjakan sales report dan harus selesai hari ini juga.” Semua mata dalam ruangan itu tertuju pada Harist yang sudah berada disamping meja Aara. “Pak, mohon maaf. Tapi biasanya sales report diserahkan pada tanggal 10.” Sahut bu Okta ingin menyelamatkan Aara. “Saya mau hari ini selesai, karena besok saya pakai untuk bahan meeting.” Ucap Harist dan tidak ada yang bisa membantahnya. “Baik, Pak.” Aara mengangguk, sepertinya ini hukuman dia karena tidak makan siang dengan Harist. *** Pukul 18.00 “Raa, gapapa kan aku tinggal pulang dulu? Maaf yaa.” Ucap Niken, yang pamit paling terakhir dari lainnya. Semuanya sudah pulang, karena memang sudah jamnya. “Iya gapapa mbak, habis ini selesai kok aku. Hati-hati dijalan ya.” Jawab Aara. Dia harus menyelesaikan sales report dari berbagai versi dengan item dan customer yang tidak sedikit. Akh ayolah, Harist benar-benar sedang menghukumnya. Suara pintu dari ruangan Harist terdengar, dan benar, laki-laki itu melangkah keluar dan berhenti didepannya. “Ayo pulang.” Ajaknya. “Maaf pak, belum selesai. Saya lanjutkan sebentar.” Ucap Aara. “Dilanjutkan besok saja.” “Tapi besok sudah dibuat Pak Harist meeting.” “Besok tidak ada meeting.” Maksudnya? Akh bertanya maksudnya saja membuat Aara sangat malas. “Saya bilang ayo pulang. Kamu mau saya kunci disini sendirian?” “Baik pak.” Ucap Aara menyesalkan bisa berteman dengan laki-laki seperti Harist. Setelah membereskan berkas dan mejanya, Aara segera menuju Harist yang sudah menunggunya. Mereka pun keluar dari ruangan dan turun bersama. “Mana kunci motormu.” Harist meminta hal yang tidak terduga. “maksudnya?” “Kunci motor. Aku nggak suka ya kamu bohong lagi.” Ini Harist kembali lagi sepertinya. Namun Aara masih tercengang. “Kemana kamu tadi? Udah dibilang makan siang sama aku, malah makan sama Aqila. Untung aku nggak keruwes kamu.” Iya ini benar Harist sudah kembali. Dia seperti hewan bunglon yang berkamuflase. Bisa berubah-rubah gitu. Tapi Aara lagi-lagi masih tercengang. “Raa, mana kunci motormu.” Ucap Harist lagi. “Buat apa?” “Aku mau kamu temani aku makan, aku tadi nggak makan karena kamu." “ha? Seriusan?” Tanya Aara merasa bersalah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD