"Bagaimana menurut anda, Nona Praditha Sampoerna?" Karena Ditha tidak kunjung memberikan respons, pria menyebalkan tadi kembali menagih jawaban.
Ditha tetap terdiam selama beberapa saat. Meski di dalam hatinya sedang bergemuruh hebat badai kepanikan. Dia memaksakan otaknya bekerja dan berpikir lebih keras untuk bisa memberikan jawaban yang tepat dalam situasi ini.
Suasana ruangan menjadi sunyi untuk menanti jawaban Ditha. Hanya ada suara-suara jepretan kamera dari para awak media, memotret dari kejauhan yang terdengar.
"Saya ... boleh saya meminta sedikit waktu?" Ditha memberanikan diri untuk meminta sedikit waktu. "Saya ingin berbicara berdua dengan dia sebentar."
Ditha memberikan tatapan mata sinis kepada pria di sebelahnya. Tatapan yang seolah mencercanya dengan kalimat, "Apa sih maumu? Apa sebenarnya yang kamu inginkan dariku?"
Pria itu hanya menjawab tatapan Ditha dengan senyuman lebar. Membuat Ditha semakin dongkol karena pria itu terlihat terlalu santai dalam menghadapi masalah serius yang sedang terjadi ini.
"Ide yang bagus. Mungkin memang ada hal-hal yang harus kalian putuskan berdua terlebih dahulu." Mama Ditha menyetujui permintaan putrinya. Semua yang hadir juga nampak tidak keberatan dengan permintaan Ditha kali ini.
"Gimana Nak?" Mama Ditha balik bertanya kepada pria itu.
"Tentu, tidak masalah." Dia menjawab tak keberatan juga. Kemudian bangkit dari kursi dan menyodorkan sebelah tangan kepada Ditha dengan gesture layaknya seorang pria sejati.
What the? Akting apa lagi ini?
Dengan sangat kikuk Ditha menerima uluran tangan pria itu, kemudian beranjak dari kursinya dan pamit undur diri. Demi alasan kesopanan, dia seakan terjebak dalam situasi yang membuatnya tidak untuk bisa menolak. Di hadapan banyak mata yang memandang mereka.
Kedua pemuda dan pemudi itu berjalan beriringan menuju ke salah satu ruangan di sebelah restoran. Ruangan yang biasa digunakan untuk ruang persiapan pada acara pesta-pesta tertentu.
"Kamu sudah gila? Kenapa mau saja sih?" cecar Ditha dengan nada suara meninggi.
"Mau apa?" jawab si Pria dengan nada tenang, berlagak bodoh.
"Ya mau menerima perjodohan ini lah. Kamu kan tahu kalau pria yang aku incar itu bukan kamu?"
"Tahu."
"Terus kenapa kamu malah menerima?"
"Ya karena aku mau sama kamu."
"Gak bisa kayak gitu donk!" Hardik Ditha semakin kesal dengan jawaban pria itu.
"Bukannya kamu sendiri yang minta perjodohan ini? Bukannya kamu sendiri yang memanggil para awak media itu?" Pria itu balik bertanya.
"Sekarang coba kamu pikirkan, kalau salah satu dari kita menolak bakal seperti apa jadinya?" Lanjutnya dengan senyuman licik yang setipis kertas.
"Tapi kan lebih baik malu sekarang, daripada harus memaksakan keadaan." Ditha menjawab tak mau kalah.
Kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah besok akan ada headline news tentang kegagalan perjodohan antara grup Pradana dan Sampoerna ini. Dan kalau sudah begitu, Ditha hanya tinggal siap-siap menjadi artis dadakan. Dengan memakai kacamata hitam dan topi kemana-mana untuk menutupi wajahnya.
Bukan keadaan yang terlalu buruk, 'kan?
"Apakah aku seburuk itu di matamu?" Sebuah pertanyaan tak terduga keluar dari mulut lawan bicara Ditha. Pertanyaan bernada rendah yang mampu memberi efek menggema di kepalanya.
Ditha terdiam, tidak sanggup untuk memberi jawaban. Hanya bisa memaksa otaknya berpikir lebih keras lagi guna membuat pertimbangan.
Selama ini pria itu memang tak pernah sekalipun bersikap buruk ataupun kasar kepada Ditha. Dia memang tidak terlalu buruk sebagai seorang pria. Akan tetapi berbagai rumor mengatakan bahwa Pria itu adalah seorang playboy kelas wahid. Dan Ditha terlalu malas harus berhadapan dengan konflik perselingkuhan atau orang ketiga yang mungkin akan terjadi jika nanti menjadi pasangannya.
"Aku selama ini cuma main-main. Gak ada satu pun dari wanita-wanita itu yang ingin aku ajak ke hubungan serius. Karena aku belum menemukan seseorang yang cocok untuk dijadikan partner. Partner in love and partner in life yang sesuai."
Ditha tidak menjawab, hanya memberi tatapan menyimak pembicaraan itu.
"Aku termasuk tipe yang susah untuk cocok dengan kaum wanita. Kalau udah gak cocok ya bye aja. Tinggal cari yang lain," lanjutnya menjelaskan.
"Tapi entah kenapa aku merasa kamu itu berbeda dari kebanyakan wanita lain. Kamu satu-satunya yang bisa membuatku penasaran, membuatku ingin mencoba dekat dan mengenalmu lebih jauh."
"Aku sudah membayangkan kalau kita bisa jalan-jalan berdua, berpetualang bersama-sama. Ini akan menjadi perjalanan menyenangkan bagi kita berdua."
"What did he said? Beneran gak sih ucapan yang keluar dari mulut manisnya?" Batin dan akal sehat Ditha tak bisa mempercayai pendengarannya. Sama tidak percaya dengan ucapan semanis madu dari mulut si pria kadal buntung.
"Tapi aku nggak cinta sama kamu!" Ditha menjawab terang-terangan.
Sudah jelas sekali belum ada rasa cinta yang tumbuh di hati Ditha untuk pria itu. Meski tak dapat dipungkiri bahwa pria di hadapannya itu memliki pesona yang mampu menggetarkan hati setiap wanita.
"Cinta itu bisa tumbuh dan berkembang dengan sendirinya ... Lihat saja, aku pasti akan membuatmu jatuh cinta kepadaku." Terlihat kilatan yang bersemangat dari kedua bola mata pria itu. Menandakan bahwa dia semakin tertantang untuk dapat menaklukkan Ditha.
"Apa benar dia benar-benar menyukaiku? Sejak kapan? Bukannya selera dia yang cantik-cantik, imut dan feminim sebagai seorang cassanova?"
"Bukannya semua itu jauh dari imageku?"
Ditha semakin terombang-ambing dalam kebimbangan dan pikirannya sendiri.
Bagaimana ini? Bagaimana aku harus menjawabnya? Kenapa dia bisa terlihat sangat serius begitu? Dia sedang tidak bercanda kan?
"Apa benar tidak apa-apa?" tanya Ditha masih ragu.
"Kenapa tidak kita coba dulu? Kalau ternyata kita gak cocok bukannya masih bisa untuk dibatalkan lain kali. Sebelum janur kuning melengkung?" tanya pria itu balik menantang Ditha.
Ditha kembali terdiam dan berpikir, akal sehatnya membenarkan perkataan pria itu. Selama belum menikah, memang masih aman. Pembatalan perjodohan atau pertunangan sudah sering terjadi. Lalu hal yang paling penting untuk saat ini adalah, kedua keluarga besar mereka tak harus menanggung malu.
Aku yang membuat ulah, jadi aku yang akan bertanggung jawab membereskan kekacauan ini sendiri.
"Ok deal. Let's have a try!" Ditha akhirnya membuat keputusan. Keputusan yang kelak akan mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya. Merubah total segala pola pikir dan tingkah lakunya dalam bersikap.
"Deal!" Lawan bicara Ditha menyambut dengan seringai dan kepuasan nyata terlihat di wajah tampannya. Membuatnya bagaikan predator malam yang memukau namun sangat mematikan.
Glek! Ditha menelan air ludah cukup banyak untuk membasahi keluh dan kering pada tenggorokannya. Merinding dan ketakutan melihat mimik wajah itu.
Apa yang aku lakukan sudah benar? Ya Tuhan, tolonglah aku. Jangan biarkan makhluk ganas bertulang belakang ini memangsa diriku!
Ditha akhirnya terpikirkan sebuah ide untuk bisa tetap mengendalikan keadaan yang mungkin saja bisa berakhir runyam.
"Besok akan aku buatkan MOU, Memorandum Of Understanding tentang hubungan kita. Kamu juga bisa membuat MOU untuk aku. Lalu nanti akan kita gabung menjadi sebuah perjanjian, kontrak tertulis yang harus kamu dan aku tanda tangani diatas materai."
"Terserah kamu saja," jawab pria itu enteng, seolah tidak keberatan sama sekali.
"Kamu harus siap-siap dengan segala persyaratan kalau mau jadi pasanganku." Ditha kembali memberikan persyaratan.
"Siapa takut!"
"Oh God, kenapa dia menerima semudah itu?Sudah tidak apa-apa kan? Pasti aman terkendali kan?" Ditha menyugesti dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
All is well, Everything is gonna be ok.