Vanya terbangun ketika waktu menunjukan pukul tiga dini hari,ia tertidur dengan setelan kerjanya,matanya terpaku pada cermin yang memantuklan pantulan dirinya, wajahnya terlihat sangat kelelahan, baju yang ia kenakan sangat kusut. Vanya berdiri lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. 30 menit kemudian Vanya telah selesai membersihkan tubuhnya, ia lalu keluar kamar dan membuka kulkas untuk mencari makanan, ia kelaparan sebab ia belum makan sejak siang tadi. Vanya tidak menemukan apa-apa didalam kulkas dirinya juga malas untuk memesan makanan, ia masih memikirkan Raka. Vanya duduk terdiam menatap segelas air yang masih belum di sentuhnya.
Gavin yang masih menyelesaikan pekerjaan kantornya tersadar saat lampu lantai bawah menyala,berarti seseorang sedang terbangun. Gavin berjalan pelan , ia tidak langsung menemui Vanya ia mengintip sedikit dari arah tangga, terlihat Vanya yang sedang melamun, rambutnya basah menandakan gadis itu baru saja keramas. Gavin mendekati Vanya lalu duduk di hadapan gadis itu.
“Kenapa bangun?” Tanya Gavin basa-basi
“Kebangun mas” Jawab Vanya seadanya,matanya tidak terlepas dari gelas di hadapannya.
Krrrkk krrkk , perut Vanya berbunyi, keduanya saling menatap lalu sama-sama tertawa.
“Kamu laper ya? Kenapa gak makan?” Tanya Gavin
“Gak ada makanan mas”
“Saya lagi kerja,kebetulan tadi saya beli banyak makanan, kalau mau ayo ke ruangan saya” Vanya sedikit kaget dengan apa yang terjadi di hadapannya, ia tersadar bahwa Gavin tidaklah seseram seperti apa yang ia bayangkan selama ini. Kharismanya semakin bertambah ketika sikapnya berubah menjadi manis. Gavin berdiri lalu berjalan mendahului Vanya, sementara Vanya mengekor di belakang pria itu. Ini adalah kali pertama Vanya memasuki ruang privacy pria itu. Gavin mendorong pintu kaca yang bertuliskan kata “Office” di pintunya. Tempat yang cukup nyaman untuk bekerja, ruangan bernuansa monokrom dengan interior yang mewah serta penataan barang-barang yang sengaja di atur sedemikan rupa semakin menambah kesan mewah dan luas untuk ruangan yang sebenarnya tidak begitu luas. Gavin meminta Vanya untuk duduk di sofa sementara dirinya memanaskan beberapa sosis dan pasta di microwave yang terletak di mini pantry.
“Maaf ya seadanya” Ucap Gavin sembari meletakan sosis dan juga pasta yang baru saja ia panaskan.
“Seadanya apaan mas, ini mewah tau”
“Yasudah selamat makan” setelah itu semuanya kembali hening, Vanya sibuk dengan makanannya karena ia sangat lapar , begitupun dengan Gavin. Gavin sesekali memperhatikan Vanya , gadis itu nampak lebih hidup dibandingkan apa yang ia lihat beberapa jam yang lalu.
“Vanya ganggu gak mas?” Tanya Vanya, ia berusaha membuka percakapan agak keduanya tidak terlalu canggung.
“Enggak kok, pekerjaan saya udah selesai, tadi lagi beres-beres tapi ngeliat ruang bawah lampunya nyala yaudah saya kebawah aja” Jawab Gavin sembari sesekali meniup pastanya agak tidak terlalu panas.
“Emm”
“Kira-kira Airaa kemana ya perginya? Saya benar-benar masih mengira kalau ini semua tuh mimpi soalnya malam sebelum acara, kami masih baik-baik aja, masih telfonan, bahkan beberapa jam sebelum acara saya masih ngeliat Airaa lagi megang baju pengantinnya, kenapa juga Airaa tega ngelakuin itu kepada saya. Padahal saya sayang banget sama dia, rasanya baru kemarin kami ngelewatin waktu buat sama-sama senang, rasanya baru kemarin saya perjuangin dia di depan keluarga besar saya, rasanya baru kemarin kami tunangan dan lamaran, kenapa dia tega kepada saya?” Ucap Gavin, matanya terlihat memerah, menandakan bahwa pria itu benar-benar mencintai Airaa. Mungkin Airaa adalah salah satu mahluk terbodoh di dunia karena dengan teganya menyianyiakan perasaan dan cinta tulus dari mahluk se sempurna Gavin.
“Kira-kira mas benci ngga sama mba Airaa?” Tanya Vanya
“Bagaimana bisa saya benci dengan perempuan yang paling saya cintai? Mungkin rasa kecewa itu ada Vanya, tapi rasa sayang dan rasa cinta saya jauh lebih besar daripada itu semua”
“Kalau gitu, kenapa mas Gavin ngga cari mba Airaa?”
“Karena saya tau Airaa punya alasan kenapa dia ngelakuin ini semua, gapapa saya kasih dia waktu, lagipula saya akan fokus sama dia setelah kita cerai nanti” Kalimat terakhir Gavin sukses membuat Vanya merasakan sesuatu yang aneh, tidak. Dia tidak menyukai Gavin hatinya masih menjadi milik Raka, hanya saja mereka sudah terikat dengan sebuah ikatan suci pernikahan dan walaupun terpaksa Vanya tetap tidak mau bercanda mengenai yang namanya pernikahan.
Vanya tidak membalas ucapan Gavin, ia buru-buru menyelesaikan makannya lalu bergegas kembali ke kamarnya, sebelum kembali ke kamar Vanya tak lupa mengucapkan terimakasih kepada pria yang berstatus sebagai suaminya itu.Vanya tak bisa tertidur hingga pagi datang, maka dari itu ia berangkat lebih awal dari biasanya. Sesampainya di kantor gadis itu bertemu dengan Arin, sahabatnya.belum sempat duduk Vanya sudah di recoki dengan seribu pertanyaan dari gadis itu.
“Kok bisa sih nya? Maksud gue kenapa gak batal aja?! Terus gimana sama Raka? Terus mba Aira juga gimana? Lo bakalan selamanya gitu bareng cowok yang lo gak suka? Lagian nya sayang banget hubungan lo sama Raka harus kandas gara-gara hal kayak gini”
“Semuanya terjadi gitu aja rin... , mba Airaa pergi waktu tamu undangannya udah pada datang, sementara waktu itu gua lagi ngeberesin barang-barang yang belum sempat di beresin terus nyokap gua narik gua ke kamar maksa gua gantiin Airaa demi nama baik keluarga, gua sempat nolak tapi nyokap ngancem gua , kalau gua gak nurut dia bakal bunuh diri. Rin... anak mana sih yang tega ngeliat ibu nya mati?” Jelas Vanya kepada Arin, Arin terlihat begitu prihatin terhadap apa yang baru saja sahabatnya lalui, jika saja ia menjadi Vanya mungkin ia sudah gila namun untungnya gadis itu terbilang sangat tegar sehingga ia masih bisa bertahan setidaknya hingga saat ini.
“Terus gimana sama lo dan Raka? Lo gak mikirin gimana sayangnya Raka sama lo nya?” Sambung Arin
“Gua juga masih mikirin gimana caranya ceritain ini semua ke Raka , Raka pasti benci banget rin sama gua , menurut lo gua harus gimana ya rin?”
“Dan lo nggak mungkin kan buat cerai sama mas Gavin? Pernikahan tuh bukan bahan buat bercandaan Vanya... lo udah ngambil keputusan itu, dan lo harus berusaha buat ngejalanin semuanya sebaik mungkin... lo bisa kok berusaha mencintai mas Gavin dan sebaliknya, lo harus pelan-pelan bicara ke Raka. Anggap aja ini semua adalah takdir” Vanya menghela napas berat mendengar penjelasan dari sahabatnya itu, ia menelungkupkan kepalanya, rasanya ia ingin bunuh diri saja.
Di lain sisi, Gavin sedang berdiri menatap ramainya jalanan dari ketinggian, berharap satu dari sekian banyak manusia yang sedang berlalu lalang disana ada Airaa yang kembali untuk dirinya,harapannya seketika sirna sebab hingga saat ini Airaa juga belum bisa di hubungi. Gadis itu hanya meninggalkan sebuah note yang bertuliskan “I need a time for take a rest, sorry hon i have to go” di pintu lemarinya. Gavin hampir saja gila karena gadis itu, rasa sayangnya telah melampaui batas sebab sudah dikecewakan saja ia masih sangat mencintai Airaa.
“Permisi pak, lima belas menit lagi meeting akan di mulai” Ucap Sekretarisnya, Gavin tidak menjawab ia hanya menganggukan kepalanya. Sebenarnya ia masih belum siap untuk berpikir terlalu keras hanya saja karena tuntutan pekerjaan ia harus dan mau tidak mau melakukan itu semua.
Vanya memarkirkan mobilnya di garasi rumah, sepertinya Gavin belum pulang karena mobilnya juga belum ada, Vanya melangkahkan kakinya, benda pertama yang ia lihat adalah foto-foto milik Airaa dan Gavin di ruang tamu terlihat sangat berdebu, wajar saja teringat kata-kata terakhir yang Airaa ucapkan adalah rumah yang akan Airaa tempati dengan Gavin belum sempat dibersihkan padahal barang-barang mereka sudah disana, Vanya meletakan barangnya lalu berinisiatif membersihkan foto-foto itu. Ia mengambil sebuah box besar lalu meletakan foto-foto itu disana, setelah itu ia berjalan santai menuju dapur untuk mengambil lap basah untuk membersihkan debu-debu yang menempel di bingkai foto-foto itu.belum sempat ia mengambil lap tiba-tiba seseorang membuka pintu rumah, Gavin baru saja pulang.
“Vanya! Maksud kamu apa menurunkan foto-foto saya dan Airaa?!” Teriak Gavin saat melihat hampir seluruh fotonya bersama Airaa dimasukan oleh Vanya kedalam sebuah box besar.
“Ngga mas Vanya tuh Cuma berniat ngebersihin foto mas Gavin sama mba Airaa soalnya banyak banget debunya” Jawab Vanya, membela diri.
“Kamu bohong Vanya! Kamu pasti tidak suka dengan semua foto Airaa!”
“Mas! Ngga ih, ya tuhan aku beneran Cuma mau bersihin foto-foto itu, soalnya berdebu banget”
“Kamu gak usah membela diri Vanya... kamu jangan kira kalau diri kamu itu special walaupun saya berbuat baik sama kamu semalam, ingat ya Vanya! Kamu Cuma pengganti Airaa untuk menjaga nama keluarga, bukan benar-benar menggantikan Airaa di hati saya, kamu Cuma berstatus sebagai istri saya, tapi hati saya bakalan tetap milik Airaa, selamanya!” Mata Vanya memanas, ia tidak biasa mendengar suara teriakan apalagi jika dirinya dibentak. Matanya menatap Gavin dalam-dalam sementara pria itu juga menatapnya penuh dengan kebencian.
“Aku istri kamu mas! Bukan mba Airaa”
“Dan lima bulan setelah ini kita akan bercerai! Kamu jangan berharap lebih sama saya, saya tidak akan pernah mencintai kamu!”
“Gimana kalau aku nolak buat cerai?”
“Kamu jangan macam-macam Vanya!”
“Aku bakalan nolak untuk cerai!” Gertak Vanya,lalu gadis itu meninggalkan Gavin yang sedang mematung di ruang tamu.
Vanya memasuki kamar yang ia tempati sejak ia menikah dengan Gavin, gadis itu menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur lalu menangis sejadi-jadinya. Masalahnya ternyata tidak berhenti saat ia menyanggupi permintaan mama nya, masalahnya dengan Raka, masalahnya dengan Gavin,bahkan masalah yang akan ia hadapi ketika ia bercerai dengan Gavin. Vanya mencoba berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri, ia menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan, ia berpikir tidak ada juga gunanya menghabiskan tenaga hanya sekedar memikirkan masalah yang entah kapan selesainya, lebih baik ia menjalani semuanya dengan ikhlas dan sabar.
Keesokan harinya, ia terbangun dengan mata yang sembab, sesaat ia melihat pantulan dirinya dari dalam cermin “Buluk banget sih nyaa” ucap nya saat melihat pantulan dirinya sendiri, setelah itu Vanya segera mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja, saat keluar dari kamar ia tanpa sengaja berpapasan dengan Gavin , tatapan pria itu masih saja dingin seolah-olah ia sangat membenci Vanya, tidak ada percakapan di antara keduanya hingga mereka berdua sama-sama berangkat menuju kantor mereka masing-masing. Vanya kembali merasa tertekan dengan sikap Gavin yang sangat tidak bersahabat, bagaimana bisa ia tinggal satu atap dengan manusia dingin seperti itu, ditambah lagi ia belum jujur kepada Raka tentang apa yang sedang ia hadapi saat ini. Sesampainya di kantor ia tidak langsung menuju ruangannya, namun ia mampir ke ruangan sahabatnya Arin.
“Rin , gua gak tau harus gimana” Ucap Vanya kepada Arin sesaat setelah ia mendorong pintu ruangan tersebut.
“Apasih Abella Vanyaaa?? Kenapa?? Masih pagi looh ini”
“Gak ngerti lagi deh , dosa apa coba yang pernah gua lakuin sampai tuhan gini amat ngasih cobaannya”
“Kenapa sama mas Gavin?”
“Dia semalem ngamuk-ngamuk ke gua ,gara gara tuh gua nurunin foto dia sama mba Airaa, dia kira gua mau gantiin mba Airaa, padahal gua cuma mau bersihin aja, soalnya banyak banget debunya”
“hmmm, lain kali kalau suasananya udah agak tenangan dikit lo minta maaf deh soalnya gak enak juga kalian berantem gara-gara masalah sepele kayak gitu” Vanya hanya mengangguk membalas ucapan Arin,mereka terdiam selama 15 menit lamanya, lalu Vanya memutuskan kembali ke ruangannya.
Vanya melewati jam makan siang dengan berdiam diri di dalam ruangan kerjanya,ia tidak napsu makan, di kepalanya terdapat banyak sekali masalah yang ia pikirkan,ia juga semakin memikirkan bagaimana hubungannya dengan Raka sebab pria itu baru saja mengirimkan boucket bunga cantik yang sengaja ia pesan untuk Vanya. Vanya berpikir bagaimana bisa ia mengatakan hal konyol seperti itu kepada Raka? Sementara ia sangat mencintai pria itu dan bagaimana pula ia bisa menyakiti perasaan pria baik itu sementara Raka saja bisa menjaga perasaannya dengan sangat baik.
Sepulangnya dari kantor Vanya benar-benar dikagetkan oleh kedatangan orang tua Gavin,mereka sedang duduk menunggu Vanya di ruang tamu, sementara Gavin hanya duduk sembari memainkan ponselnya.
“Vanyaa sayangg akhirnya kamu datang juga, mama sama papa udah nungguin kamu looh daritadi”
“Heheh iya mah, maaf Vanya tadi kejebak macet”
“Iya gapapa,by the way kan gini bagus foto-fotonya Gavin sama mantannya di turunin aja, kan bisa diganti sama foto kalian berdua” Ucap ibu mertua Vanya ketika melihat tumpukan foto-foto didalam box yang belum sempat Vanya bereskan karena sudah terlanjur bertengkar dengan pemiliknya.
“Mah?!” Protes Gavin namun tak ditanggapi oleh mama nya
“Kalian honeymoon ya” Ucap papa Gavin sembari menyentuh lutut anak laki-lakinya itu.
“Apaansih pa, engga” Tolak Gavin
“Kamu bisa apa kalau papa sudah mengatur jadwal cuti kalian berdua, dan ini tiketnya” Ayah mertua Vanya melemparkan dua tiket kehadapan Gavin dan juga Vanya.
“Papa kenapa suka seenaknya sih?”
“Kamu juga kenapa seenaknya sama papa? Sebelum menikah dengan Vanya, kamu tidak ingat bagaimana kamu seenaknya sama papa? Bagaimana janji kamu sama papa? Bagaimana papa menuruti semua permintaan kamu tanpa protes?” Gavin diam ketika papa nya mengingatkan Gavin mengenai janji yang pernah ia ucapkan ketika meminta persetujuan untuk menikahi Airaa, janji yang Gavin buat justru merugikannya saat ini pasalnya ia berjanji untuk mengikuti semua permintaan papa nya jika papanya menyetujui hubungannya dengan Airaa, Gavin juga berjanji akan menerima konsekuensi jika kelak terjadi sesuatu antara dia dan Airaa.
“Tapi pa, Vanya punya banyak banget kerjaan di kantor, dan gak bisa kalau mau tiba-tiba honeymoon tanpa rencana dulu sebelumnya” Ucap Vanya , sebisa mungkin ia berusaha menolak karena ia juga tidak mau pergi dengan Gavin.
“Vanyaa... papa sudah memikirkan itu semua, kamu tidak usah khawatir pekerjaan kamu akan beres. Kamu tinggal menikmati honeymoon kamu dengan Gavin”
“Tap-“
“papa sama mama gak suka looh menerima penolakan” setelah itu Vanya dan Gavin hanya memilih untuk diam karena memang tidak ada gunanya jika mereka berdebat dengan kedua orang tua yang berada di hadapan mereka, setelah itu orang tua Gavin pamit untuk pulang dan meninggalkan dua anak manusia yang masih sama-sama bergelut dengan pikirannya masing-masing. Gavin meraih kedua tiket itu lalu membawa benda itu ke ruang kerjanya.
“Vanya setelah ini kita bicara” Ucap Gavin,sebelum menaiki anak tangga. Vanya hanya mengangguk ia bahkan terlalu lelah hanya untuk sekedar menjawab ucapan Gavin.