BAB 2: PATAH

1476 Words
Haven: Ada yang ingin aku bicarakan. Haven: Aku ke unit kamu sekarang. Della terus saja membaca ulang pesan yang Haven kirimkan untuknya. Entah mengapa pesan singkat itu terasa tak mengenakkan bagi Della. Tidak seperti biasanya dimana Della akan merasa sangat senang kala Haven menghubunginya, kali ini justru kecemasan yang menguasai. Ia beranjak dari highchair yang ia duduki, melangkahkan kaki mendekat ke espresso maker di unitnya. Tepat saat cairan hitam itu mengalir, pintu unitnya terbuka. “Haven?” “Ya, ini aku,” ujar Haven, muncul dari foyer mungil di unit Della. “Kopi?” “Boleh.” Tak ada kecupan hangat. Hampa. Sudah lebih dari dua bulan hubungan mereka menjadi canggung seperti ini. Tak mungkin tak ada penyebabnya bukan? “Silahkan!” ujar Della seraya menyodorkan satu mug berisi ice americano. Melbourne sedang panas dan terik sekali akhir-akhir ini. Mungkin nyaris setiap orang yang tinggal di kota ini mencari minuman dingin setiap saat. “Thanks.” Della beranjak, duduk kembali di atas highchair yang tadi didudukinya, tepat di samping Haven. Ia menunggu Haven menyesap minuman di hadapannya terlebih dahulu seraya menguatkan hati untuk mendengar apapun yang akan dikatakan pria itu padanya. “Della....” “Ya?” Haven menoleh, menatap Della lekat. Jelas, kekasih Della itu ragu untuk mengatakan apapun yang sedang menghantui benaknya. Haven menghempaskan napas. “Boleh aku yang mengatakan apa yang ada di pikiran kamu?” lirih Della. Haven seolah kehilangan kata-kata, kelu. ‘Apa mungin Della tau?’ “Della....” “Ayo kita putus!” ujar Della lembut, namun terdengar jelas ketegasan di nada suaranya. “Della,” lirih Haven lagi. Benar, memang kalimat itu yang ingin dikatakan Haven. Tetapi mendengar Della yang mencuri ucap, rasanya tetap menyakitkan. “Itu kan yang belakangan ini selalu mau kamu ucapkan? Bukan hanya kali ini.” “Della, aku ga bermaksud....” “Yes, you did. It’s ok. Aku ga bisa maksa seseorang yang udah ga mau lagi bersamaku.” Haven menarik napasnya panjang dan dalam. Lalu, kedua telapak tangannya naik, mengusap kasar wajah tampannya. ‘Kenapa sesakit ini?’ batinnya, sunyi. “Pergilah, Hav,” pinta Della, lirih. “Della....” “Ga ada yang perlu kamu jelaskan bukan? Karena apapun itu, hubungan ini tetap harus diakhiri. Aku mau ke kampus. Masih ada yang harus aku urus untuk wisudaku minggu depan.” “Della, I’m sorry.” “Hmm. Pergilah!” Haven turun dari kursi yang didudukinya, mengikis jarak dengan Della, ingin memberikan pelukan dan kecupan terakhir untuk gadis itu. Sayangnya, Della mengulurkan telapak tangannya. Menahan Haven agar tak melakukan apapun padanya. Haven terdiam. Pedih tak mampu ditampiknya. Ia begitu yakin bahwa dirinya mampu melepas Della. Tak ada keraguan sedikitpun sebelumnya. Tetapi begitu Della yang menyatakan perpisahan mereka, mengapa rasanya terlalu menyakitkan? Pemuda itu menjauh, tak ingin meninggalkan luka yang lebih dalam lagi bagi Della. Ia melangkah lesu, bahkan sempat meneteskan air matanya kala pintu unit yang sudah berkali-kali didatanginya selama lima tahun hubungan kasih mereka tertutup rapat di balik punggungnya. Jondy: Della, lo ke kampus ga? Sudah nyaris tiga jam Della masih duduk menangis di mini bar unitnya. Lima tahun membangun kasih dengan Haven, nyatanya tak berakhir dengan pernikahan. Malah pengkhianatan dan perpisahan yang harus ditelannya. Me: Lo bisa jemput gue? Jondy: Tumben? Kenapa lo? Ada apa? Me: Kalau lo ga bisa, gue bisa naik taksi. Jondy: Gue sampai di unit lo lima belas menit lagi. Cepetan! Burusan siap-siap. Della turun dari tempatnya duduk, memaksakan langkah menuju kamarnya. Mempersiapkan diri atau ia akan dihujani pertanyaan tanpa jeda oleh sahabat baiknya selama menimba ilmu di negeri kanguru tersebut. Tepat lima belas menit kemudian, pintu unit Della kembali terbuka. Ia memang memberikan password pintu unitnya pada orang-orang terdekatnya. Agar mereka bisa datang berkunjung kapan saja. Jondy menatapnya sendu. Ia tahu ada masalah yang membuat kedua netra sahabatnya, yang baru saja selesai memoleskan makeup tipis, terlihat membengkak. “Della....” “Jangan sekarang, Jo.” “Okey. Kita selesaikan urusan kita hari ini, setelahnya lo harus ceritain ke gue semua.” Della menganggukkan kepalanya, mengiyakan permintaan Jondy. *** Hari kelulusan. Della dan Jondy baru saja memisahkan diri lebih dulu dari farewell party setelah wisuda magister mereka, berpindah ke sebuah café dengan menu utama seafood yang tak pernah membuat Della bosan dengan rasa masakannya. "Kenapa buru-buru sih?" "Udah kangen aja sama Mama dan Papa, Jo." Jondy mendengus. Ikut merasa sedih menatap wajah sendu Della. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam erat kedua tangan Della. "Dua tahun lagi, gue bakalan balik ke Jakarta. Nanti gue kerja di tempat lo, oke?" Della tersenyum, tulus. "Oke!" "Gue angkat telpon dulu ya. It's Mommy," ujar Jondy saat ponselnya bergetar di atas meja. Della mengangguk, sementara Jondy beranjak meninggalkan meja mereka menuju halaman muka café. Café itu memang lebih penuh dari biasanya karena beberapa keluarga juga mengadakan syukuran makan siang setelah kelulusan di sana. "Kak Della!" panggil seorang gadis seraya berjalan cepat mendekati Della. Ariana, adik sepupu Della. Della baru saja hendak melambaikan tangannya saat pandangannya bersirobok dengan kedua netra Haven yang berjalan di belakang Ari. Begitu mereka berdua mendekat, Della baru sadar, jemari dua orang di hadapannya saling bertautan. "Tuh benar kan, baby? Kak Della pasti di sini. Dia suka banget masakan café ini." 'Baby?' "Ari dan Haven boleh duduk kan Kak?" Della mengangguk lesu. "Kalian?" "Iya Kak, kami udah jadian. Sekitar seminggu yang lalu. Iya kan sayang?" "APA?" Ketiga pasang mata menoleh bersamaan, menatap Jondy yang berdiri tepat di belakang kursi Ari dan Haven, membeku seraya menatap geram pada keduanya. "Kak Jondy. Selamat ya!" ucap Ari seolah tak ada yang salah dalam situasi canggung mereka. Jondy melangkah kembali, duduk tepat di samping Della. "Barusan lo bilang apa Ri?" tanya Jondy. Bisa saja pendengarannya salah kan? "Aku dan Haven jadian seminggu yang lalu." "Hah!" sinis Jondy. Della mengulurkan tangannya di bawah meja, menggenggam satu tangan Jondy. Memohon agar Jondy jangan bereaksi apapun karena Della sudah terlalu malas menghadapi drama yang selalu saja dibuat Ari. "Ga apa-apa kan Kak Della?" tanya Ari lagi. Haven hanya terdiam sedari tadi. Bahkan mungkin ia mengatur napasnya agar tak mengeluarkan suara sama sekali. "Bukan urusanku kan?" Della balik bertanya, datar. "Kata Haven hubungan kalian sudah lama selesai bukan? Selama ini kalian hanya berteman baik." Kini Della pun terdiam. Kelu. Sementara Jondy justru tertawa geli. "Haven bilang apa?" kekeh Jondy. Della mengeratkan genggamannya di tangan Jondy. "Iya, kami udah lama putus," ucap Della seraya tersenyum. Mendahului ucap sebelum Jondy memaki pasangan baru di depan mereka. Haven menoleh, menatap Della lekat. Malu dan getir. "Kak Della jadi kerja di sini kan?" tanya Ari lagi. "Ngga. Lusa aku balik ke Jakarta." Kini, mulut Haven menganga. Ia sama sekali tak menyangka dengan apa yang didengarnya barusan, sementara Ari mengerutkan kening. "Bukannya Kak Della dapat tawaran dari The Royal Melbourne Hospital?" "Siapa yang cerita?" "Haven." "Oh. Iya, tapi aku lebih kepingin pulang." "Sudah dapat kerja di Jakarta?" "Belum, nanti aja dipikirin. Yang penting pulang dulu. Sudah kadung kangen sama Mama dan Papa." "Yah, Ari pikir kita bisa bareng-bareng Kak. Ari ngambil magister di sini karena kepingin sama-sama Kak Della." ‘Kepingin ngambil apa yang aku punya! That’s you, Ari!’ "Nanti kamu akan terbiasa kok. Di sini lingkungannya enak. Lagian ada Haven kan? Dia pasti akan jaga kamu." Ari menganggukkan kepalanya seraya menatap Della lekat yang terus saja tersenyum. "Apa kita tinggal bareng aja sayang?" tanya Ari tiba-tiba pada Haven. Penasaran dengan emosi Della. Ketiga pasang mata yang mendengar permintaan murahan Ari langsung terbelalak. "Ari!" tegur Haven, merasa risih dengan ucapan Ari barusan. Ari justru tertawa menanggapi kekesalan Haven. "I'm just kidding!" 'Ck!' "Iya, aku tau, terlalu cepat untuk mengatakan hal tadi kan? I'm just kidding, baby!" Haven diam saja, enggan menanggapi Ari, lebih tepatnya ia terlalu takut salah menanggapi. *** Haven berlari menyasari Melbourne Airport menuju Terminal Keberangkatan Internasional. Mencari sosok gadis yang selama lima tahun terakhir sempat berstatus sebagai kekasihnya. Ia tak mengerti apa yang terjadi padanya. Mengapa begitu mudahnya ia melepas Della dan berpaling pada Ari. Dan mengapa begitu mudahnya Della menerima perpisahan mereka? "DELLA!" pekik Haven begitu sosok Della yang bersiap masuk ke gerbang keberangkatan tertangkap kedua netranya. "TUNGGU!" Della mundur kembali. Menunggu Haven mendekat. "Della," lirih Haven lagi, terengah-engah. "Ada apa?" Lagi, Haven malah membatu menatapnya. Della menunggu, berharap akan ada kalimat yang sedikit saja bisa meringankan luka hatinya. "Aku pergi kalau ga ada yang mau kamu bicarakan." "Della...." "Cepatlah Haven!" tegas Della. Haven mendengus, sesak, rasanya tak sanggup mengungkapkan isi hatinya. "Hati-hati," lirih Haven akhirnya. 'Tes!' Air mata Della menetes dalam kesunyian pemiliknya. "Della...." "Oke. Makasih. Aku pergi!" lirih Della, menahan isaknya. "Della!" Haven menahan gadis itu, mencengram lembut tangan Della yang menggenggam handle koper. "Maafin aku," lirih Haven lagi. "Maaf untuk apa?" "Aku menyakitimu." "Ya, kamu berkhianat Haven. Kamu mengkhianatiku!" Haven membeku, punggungnya terasa menegang dan dingin, sementara jantungnya seolah diremas. “Della....” "Pulanglah, Hav. Kalau Ari melihatmu di sini, dia pasti akan murka." "Della!" "Aku pergi. Mari jangan bertemu lagi!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD