FM-1
Pria itu masih berdiri di balik jendela besar yang ada di dalam apartemennya. Dengan kedua tangan ia masukkan ke dalam saku celana, masing-masing di sebelah kanan dan kiri celana pendek yang ia pakai saat ini. Menatap pekatnya malam yang ditaburi oleh gemerlap cahaya lampu jalanan.
Joshua Giordino, pria berusia dua puluh sembilan tahun yang selama hampir kurang lebih sepuluh tahun lamanya memutuskan untuk tinggal dan menetap di luar negeri jauh dari keluarganya yang berada di Indonesia.
Bukan tanpa sebab jika selama ini Josh_ begitu ia biasa disapa_ mengambil sebuah keputusan yang sempat ditentang oleh keluarganya, yaitu Papa dan juga Opa dan Omanya. Namun, Josh tetap pada pendirian untuk tidak mau pulang setelah kelulusan sarjananya dulu.
Helaan napas yang kesekian kali Josh embuskan dari sela bibirnya. Ini keputusan yang sangat sulit. Dia harus mengambil langkah apa sekarang? Menyetujui permintaan sahabatnya, ataukah dia akan menolak saja. Dilema yang Josh rasa membuatnya susah memejamkan mata beberapa malam ini.
Syafique Kyle, teman sekaligus sahabat yang hingga kini masih berhubungan baik dengannya. Josh ingat bagaimana Syaf yang selalu ada bersamanya di saat kondisi Josh tersulit apa pun juga. Kini, Syaf meminta pada Josh untuk dapat menggantikan sementara posisinya sebagai salah satu dosen di sebuah Universitas Swasta di kota tanah kelahiran Joshua.
Bukan maksud Josh menolak apa yang sahabatnya minta. Hanya saja untuk kembali dan tinggal di tanah air tempat kelahirannya, membuat Josh harus berpikir kembali secara matang. Tak bisa memutuskan begitu saja. Ini semua menyangkut hatinya. Hati yang telah lama mati karena Joana.
Josh tersenyum miris mengingat satu nama itu. Sekuat apa pun ia berusaha mengenyahkan, akan tetapi Joana tetap menjadi yang spesial untuknya. Tak pernah tergantikan oleh siapa pun hingga detik ini juga.
Josh tahu dan paham siapa Joana. Mantan kekasih yang merupakan adik satu ibu dengannya. Juga istri dari paman yang merupakan Papa angkatnya. Rumit memang. Kenyataan hidup yang tak seindah rencana di masa lalu. Semua kacau hanya karena sebuah status.
Miris. Benar-benar miris kisah percintaan seorang lelaki tampan bernama Joshua Giordino. Hanya karena Joana seorang, hidup Josh menjadi berantakan. Tak mau lagi mengenal dekat dengan wanita, karena ia tak ingin terjebak dalam nostalgia masa lalu yang hanya akan menyakiti dirinya. Cukup satu kali saja ia patah hati dan Josh tak akan mau mengulanginya kembali. Karena rasa sakitnya pun masih terasa hingga kini.
Pria itu terkesiap dari lamunan. Ponsel di atas meja berdering dengan sangat nyaring, memenuhi seisi penjuru apartemen yang berada di pusat kota. Apartmen yang lebih dari sepuluh tahun lamanya Josh tempati. Lebih tepatnya semenjak ia menjadi seorang mahasiswa, lalu menjadi seorang karyawan swasta, hingga sekarang sudah tak lagi bekerja. Sebenarnya Josh telah kehilangan pekerjaan yang selama beberapa tahun ini ia jalani. Bukan tanpa sebab ia berhenti bekerja. Itu semua karena kontrak kerja dengan salah satu perusahaan ternama telah berakhir sekitar satu bulan lalu. Josh bisa saja mulai mencari pekerjaan di perusahaan baru. Namun, karena kesalahannya juga yang sempat bercerita pada Syaf mengenai status pengangguran yang sekarang ia sandang, menyebabkan Syaf memiliki ide dan menawarkan pada Josh sebuah pekerjaan untuk menggantikan posisinya. Hanya sementara Syaf berkata. Meski demikian pekerjaan sementara yang Syaf tawarkan menimbulkan keraguan di hati Joshua.
Pria itu menghampiri ponsel yang masih saja meraung ingin diperhatikan.
Syaf, nama yang tertera di layar ponsel pintar miliknya. Ini sudah satu minggu berlalu sejak hari penawaran Syaf kala itu. Dan Josh tahu sekarang lah saatnya ia memberikan jawaban pada sahabatnya. Ya atau tidak. Keputusan yang sangat berat harus ia ambil. Dengan segala macam konsekuensi yang akan ia terima nanti. Jika Josh menolak maka ia akan merasa tidak enak hati pada Syaf. Bagaimana pun juga Syaf terlalu baik untuknya. Bukankah sekarang saatnya Josh untuk membalas kebaikan hati Syaf. Terlebih alasan yang Syaf lontatkan sangat tak mungkin untuk dijadikan alasan Josh untuk menolak. Ya, orang tua Syaf sedang sakit. Dan harus menjalani pengobatan ke Singapura. Syaf sebagai putra satu-satunya harus rela mengurus orang tuanya. Tetapi karena kendala pekerjaan membuat Syaf harus segera mengambil keputusan. Ingin resign saja andai ia tak memikirkan nasib para mahasiswanya. Namun, Syaf masih punya hati. Bertahan-tahun menjadi seorang dosen membuat Syaf sangat tahu bagaimana nasib seorang mahasiswa yang menggantungkan nasib pada dosennya. Semua seolah sudah direncanakan dengan sangat baik oleh Sang Pencipta. Karena di saat Syaf membutuhkan solusi akan masalahnya, di saat itu pula Josh mengatakan sudah tak lagi bekerja. Sangat hebat tentu ide yang berada di dalam benak Syaf. Memohon pada Josh untuk menggantikan pekerjaannya, sementara Syaff mengurus orangtuanya.
"Josh! Bagaimana?" tanya Syaf tanpa basa basi begitu Josh menjawab panggilan video call-nya.
Josh duduk di atas sofa dan menjatuhkan punggung begitu saja hingga membentur sandaran sofa. Mengusap wajah frustrasi akan pertanyaan yang Syaf lontarkan.
"Kenapa kau memberikan pilihan yang sulit untukku, Syaf?"
Syah berdecak tidak suka. "Apanya yang sulit, hah?! Kau hanya perlu mengabdikan diri selama enam bulan lamanya untuk menjadi dosen Manajemen Bisnis. Kurasa kau tak akan kesulitan, secara selama ini nilai yang kau raih selalu cumlaude."
"Dasar bodoh! Bukan itu masalahku, Syaf!" jawab Josh disertai kata u*****n kasar. Bukannya tersinggung dikata bodoh oleh Josh, Syaf justru tergelak.
"Apalagi? Apa mengenai Joana?"
Dapat Josh lihat di layar ponselnya jika Syaf tengah menaik turunkan alisnya. Apalagi yang dilakukan Syaf selain menggodanya.
"Terus saja kau sebut namanya. Maka aku akan menolak saat ini juga semua permintaanmu," ancam Josh yang membuat gelak tawa Syaf terhenti seketika.
"Come on, bro. Kau harus move on. Sampai kapan harus terjebak nostalgia bersamanya."
Josh diam. Ini bukan masalah ia terjebak dalam nostalgia kisah cinta masa lalu. Bukan seperti itu. Tapi lebih pada hati yang tak akan pernah bisa berpaling pada siapa pun. Dan urusan hati juga cinta tak akan ada yang bisa mengaturnya seolah semua hadir begitu saja. Josh hanya manusia biasa. Dia pun selalu kalah jika hati telah berucap, "Aku tak bisa melupakannya karena sesungguhnya semua hal yang telah aku dan Joana lalui bersama begitu kuat terpatri dalam ingatan."
"Hei ... Josh ... Kau mendengarku, bukan? Tak ada kata penolakan yang bisa aku dengar. Minggu depan kau sudah harus datang dan mememuiku. Jika tidak, jangan salahkan aku yang akan memaksa serta menyeretmu untuk datang dan menginjakkan kaki di Indonesia."
"Kau ini memaksa sekali, ck."
"Karena jika tidak dipaksa, maka kau akan terus dilema."
Hening untuk sesaat. Josh menghirup napas dalam, lalu dengan perlahan ia embuskan. "Baiklah. Aku terima tawaranmu. Minggu depan aku akan datang ke Indonesia."