Malam yang tak Diinginkan

1651 Words
Tiga bulan sebelumnya Seorang gadis sedang mematut wajahnya di cermin. Dengan mahir ia menyapukan beberapa alat kosmetik ke wajahnya yang mulus. Rambut hitamnya yang panjang sepunggung sudah tak lagi lurus, tetapi dibentuk bergelombang. Setelah selesai berdandan, gadis itu mengambil sebuah gaun berwarna merah hati dan kemudian memakainya. Gaun itu berlengan sesiku dan panjangnya sampai selutut. Walaupun tidak bergaya terbuka, gaun itu tetap dapat memancarkan kecantikan dan karisma dari gadis itu. Ceklek Pintu kamar terbuka. Seorang wanita masuk dan mendekati meja rias. Ia tersenyum melihat anak gadisnya yang terlihat cantik dengan balutan gaun merah hati. “Udah cantik, Sayang,” ucap wanita itu sambil membelai rambut sang putri yang bergelombang. “Mama.” Gadis itu tersenyum sambil memegang tangan mamanya. “Kamu mau kemana, Rin?” “Itu, Ma. Hari ini ada pesta ulang tahun temen satu kampus.” “Ohh, yang kemarin kamu ceritain ke Mama?” “Iya, Ma.” Kedua wanita yang berwajah mirip itu berbincang-bincang sebentar. Tepat ketika jarum jam di dinding menunjukkan waktu pukul 5 sore, mereka keluar dari kamar sambil bergandengan tangan. “Ririn, kamu mau kemana? Kok udah cantik gini?” tanya seorang pria tampan yang sedang duduk di ruang tamu. “Kak Dimas, aku mau ke ulang tahunnya Manda, temen kampus aku,” jawab Ririn sambil duduk di sebelah Dimas. Mama Ririn juga ikut duduk di sofa, tepat di sebelah Ririn. “Kakak anterin, ya,” ucap Dimas. “Ngga usah, Kak, nanti Kak Bram jemput aku,” tolak Ririn. “Ohh, jadi kamu berangkat sama Bram?” tanya mama Ririn. “Iya, Ma,” jawab Ririn pendek. Mereka bertiga berbincang sambil menunggu kedatangan Bram. Airin Natasya Wicaksono terlahir sebagai putri bungsu dari seorang pengusaha yang bernama Darmawan Wicaksono dan seorang dosen yang bernama Elvina Dewi. Ia adalah salah satu mahasiswi terbaik di kampusnya. Kehidupannya hanya seputar kuliah, belajar, stay  di rumah, dan kadang-kadang hang out  dengan teman-temannya. Di mata para sahabatnya, ia dikenal sebagai seorang gadis baik-baik dan tidak neko-neko. Berasal dari keluarga berada tak lantas membuatnya hidup dengan mengabaikan norma-norma yang berlaku. Airin, yang biasa dipanggil Ririn, mempunyai seorang kakak yang bernama Dimas Arga Wicaksono. Usia Ririn dan Dimas terpaut enam tahun. Hal itu membuat Dimas menjadi kakak yang sangat protective terhadap Ririn. Ia sering mengantar jemput Ririn jika adiknya itu ada acara. Tak jarang keduanya dikira sepasang kekasih oleh orang-orang yang belum mengenal mereka. Tepat pukul enam sore ketika sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah Ririn. Seorang pria mengamati wajahnya di kaca spion sambil merapikan rambutnya yang sudah tersapukan gel. Ia kemudian turun dari mobil dan melangkah di jalan setapak yang diapit taman menuju teras rumah Ririn. “Bram,” panggil seorang wanita berseragam hitam putih. “Ehh, Mbak Naya,” jawab pria yang dipanggil Bram. Ia berhenti dan menunggu Naya yang sedang berjalan menghampirinya. “Mau ke mana, Bram? Tumben rapi banget,” ujar Naya sambil menatap Bram dari atas ke bawah. “Iya, Mbak. Ini mau ke pesta ulang tahun temennya Ririn,” jawab Bram. “Ohh, pantesan,” ucap Naya. Keduanya pun berjalan berdampingan. Naya membukakan pintu untuk Bram dan membiarkan pria itu masuk terlebih dahulu. Bram sudah tak asing lagi dengan kediaman Ririn. Rumah Ririn sudah seperti rumah kedua baginya. Ayahnya sudah mengabdi sebagai supir pribadi papa Ririn sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Bram segera menghampiri Ririn yang masih asyik berbincang dengan mama dan kakaknya. “Hai, Tante,” sapa Bram sambil mencium tangan mama Ririn. “Hai, Dim.” Bram menyapa Dimas. Dimas mengangguk sambil tersenyum. “Duduk, Bram,” ucap mama Ririn. Ririn langsung bangkit dari duduknya sambil merapikan bagian bawah gaunnya. “Ma, ini udah jam enam. Ririn sama Kak Bram langsung jalan aja, ya.” “Iya, Tante, takutnya jalanan macet juga,” timpal Bram. “Ohh … iya deh,” sahut mama Ririn. Mama Ririn dan Dimas ikut bangkit berdiri. Mereka mengantar Ririn dan Bram sampai ke depan rumah. “Nanti pulangnya jangan terlalu malam, ya, Rin,” ucap mama Ririn sambil memegang pundak Ririn. “Iya, Ma. Nanti Ririn langsung pulang kalau pestanya sudah selesai,” sahut Ririn. “Bram, bawa mobilnya hati-hati, ya. Tante titip Ririn.” “Iya, Tante. Bram pasti jagain Ririn.” Dimas juga mengatakan hal yang sama, meminta Bram untuk menjaga adik kesayangannya. Mama Ririn dan Dimas tak meninggalkan teras rumah sampai mobil hitam yang dikemudikan Bram keluar dari gerbang tinggi rumah kediaman keluarga Wicaksono. Mobil hitam yang dikendarai Bram tak langsung menuju hotel tempat acara pesta dilaksanakan. Ia mampir sebentar untuk menjemput Cindy, sang kekasih, yang juga adalah sahabat Ririn. Cindy sudah berada di teras rumah ketika Bram dan Ririn menjemputnya. Gadis itu segera duduk di sebelah Bram. Ririn hanya bisa tersenyum dan menyapa Cindy, sambil menyembunyikan rasa cemburu di hatinya. Ya, sebenarnya Ririn menyukai Bram. Namun, gadis itu tak pernah berani mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Ia tahu bahwa Bram menyayanginya sebagai adik dan juga anak majikan ayahnya. Sudah lewat 15 menit dari jam tujuh ketika Ririn, Cindy, dan Bram berjalan di lobby hotel Orchid. Mereka segera naik lift menuju lantai 10 tempat pesta ulang tahun Manda diadakan. Tangan Cindy tak pernah lepas dari genggaman Bram, membuat Ririn tak henti menyesali keputusannya untuk menolak ditemani Dimas, kakaknya. Pesta ulang tahun Manda yang ke dua puluh diadakan dengan mewah. Sama seperti Ririn, gadis itu juga adalah seorang anak dari pengusaha ternama di ibukota. Acara demi acara berlangsung dengan meriah. Untuk melengkapi kemeriahan, orang tua Manda mengundang artis ibukota sebagai bintang tamu yang bisa memberi hiburan terbaik bagi para tamu. Ririn dan para temannya duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang cukup besar. Manda, yang menjadi ratu malam itu mengajak mereka untuk bermain truth or dare. Permainan berjalan dengan mulus, diselingi tawa dan canda. Botol kosong pun kembali diputar. Semua peserta permainan harap-harap cemas menunggu botol itu berhenti. “Nah, sekarang giliran kamu, Rin,” ucap Manda setengah berteriak agar suaranya bisa terdengar di tengah hingar bingar musik yang mengalun. Ririn mengangkat kedua bahunya. Ia tak bisa mengelak dari pertanyaan yang akan diberikan kepadanya. Manda membuka sebuah kertas kecil. Sebuah senyuman mengembang di bibirnya yang indah. “Nih pertanyaan buat kamu, Rin. Siapa cowok yang lagi kamu taksir sekarang?” tanya Manda antusias. Ia memang sangat ingin tahu tentang pria seperti apa yang bisa membuat Ririn jatuh cinta. Ririn tercekat, ia tak bisa menjawab pertanyaan Manda. Bram dan Cindy duduk di hadapannya. Tak mungkin Ririn mengaku bahwa Bram adalah pria yang ia cintai. “Ayo, jawab dong, Rin.” Cindy berteriak dengan semangat. Ririn menelan ludahnya. Seketika ia menjadi gugup. Teman-temannya bersorak meminta agar Ririn mau menjawab pertanyaan Manda. “Aku pilih dare,” ucap Ririn dengan suara yang agak keras, diikuti teriakan ‘huuuu’ dari teman-temannya. “Hmmm … padahal aku pengen banget tau siapa yang disukai sama mahasiswi teladan kayak Ririn,” ucap Manda bernada kecewa. Sebagai hukumannya, Ririn harus menghabiskan segelas minuman keras yang sudah tersedia di hadapannya. “Jangan, Rin,” cegat Bram begitu tangan Ririn mengangkat gelas tinggi berisi air berwarna putih kekuningan. “Mendingan kamu jawab aja,” lanjut Bram. Ririn melihat Bram dan Cindy sambil memegang gelas dengan tangan kanannya. Teman-teman Ririn yang lain juga menyarankan Ririn untuk menjawab saja pertanyaan Manda. Ririn kembali menelan ludah. Ia tak bisa berkata jujur. “Maaf, aku ngga bisa jawab. Aku pilih dare aja.” Ririn langsung menenggak minuman dari gelasnya. Raut wajah Ririn seketika berubah ketika minuman mengalir di kerongkongannya. Itu adalah kali pertama bagi Ririn meminum minuman keras. Ririn meletakkan gelas kosongnya di meja. Ia menyeka ujung bibir dengan ibu jarinya. Suara musik dan sorakan teman-temannya masih terdengar ramai di telinga. Awalnya, Ririn masih merasa baik-baik saja. Beberapa waktu kemudian ia mulai merasa tidak nyaman. Ririn bangkit dari duduknya. “Aku ke toilet dulu, ya,” pamit Ririn. “Cin, temenin Ririn gih,” ucap Bram kepada Cindy. “Ngga pa-pa, aku sendiri aja,” tolak Ririn. Ririn melangkah meninggalkan meja bundar tempat ia berkumpul dengan teman-temannya. Tempat yang ingin ditujunya adalah toilet. Kepala Ririn terasa berat, tetapi ia tetap memaksakan diri untuk bisa sampai di toilet. Belum sempat Ririn masuk ke toilet ketika seorang wanita menarik lengannya secara paksa. Ririn yang mulai mabuk tak bisa melakukan apa pun. Tubuhnya sudah lemas dan hampir terjatuh. Efek minuman keras yang ditenggaknya begitu berat ia rasakan. Wanita itu terus menarik lengan Ririn. Tak lama kemudian, seorang pria berbadan kekar datang menghampiri. Ia mengambil sebuah sapu tangan dari saku celananya dan menggunakannya untuk menutup mulut dan hidung Ririn. Setelah beberapa saat menghirup aroma dari sapu tangan yang menempel di hidungnya, Ririn akhrinya tak kuasa lagi menopang berat tubuhnya. Pria misterius tadi segera menggendongnya, kemudian berjalan bersama wanita tadi. “Bawa dia ke kamar 359!” perintah wanita itu kepada pria yang bertubuh kekar. “Siap, Bu,” jawab pria misterius yang masih menggendong Ririn. Pria dan wanita misterius itu membawa Ririn ke sebuah kamar yang ada di hotel tersebut. Ririn sudah tak sadarkan diri. Perpaduan minuman keras dan aroma aneh yang menempel di hidungnya benar-benar membuat ia kehilangan kesadarannya. “Tidurkan saja dia di sini!” perintah sang wanita. Pria misterius pun menurut. Dengan sedikit kasar ia meletakkan tubuh Ririn di kasur yang berukuran 2x2 meter. Kedua orang misterius itu segera meninggalkan kamar. Tak berapa lama kemudian, pintu kamar kembali terbuka. Pria misterius tadi memasukkan secara paksa seorang pria muda ke dalam kamar. Ia lalu buru-buru meninggalkan mereka di sana. Malapetaka yang tak pernah terpikirkan sebelumnya pun terjadi pada Ririn. Pria yang baru saja masuk ke kamar Ririn rupanya sudah diberi obat untuk merangsang hawa nafsunya. Melihat sesosok gadis cantik di atas kasur membuat pria itu menelan ludah. Ditambah lagi, dress selutut yang dipakai Ririn sudah sedikit tersingkap ke atas, menampilkan kulit pahanya yang putih bersih. Pria tadi pun menggunakan kesempatan yang ada. Tubuh yang sudah meminta pelampiasan membuat dirinya tak bisa menahan diri. Ia melakukan penyatuan yang pertama bagi Ririn. Penyatuan yang kemudian akan menimbulkan masalah besar bagi Ririn.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD