Dari jam 14.00 wib, sampai jam 21.00 wib, aku betah di rumah Subandi. Entah sudah berapa gelas es teh, disuguhkan Ratna.
Padahal, tak ada pembahasan alot, layaknya rapat paripurna anggota dewan terhormat.
"Mas Bro, ini sudah jam sembilan nih. Mau mandi nggak? Kalau mau mandi, biar kita siapkan," kata Subandi sembari melirik jam tangannya.
"Ngusir aku?" jawabku sewot.
"Bukan begitu. Nanti Mas Bro gerah kalau nggak mandi," sahut Subandi mengklarifikasi soal tawaran mandi tadi.
"Hahahah!" Udah biasa, nggak mandi nggak apa. Kan belum punya bini," selorohku.
Subandi cuma garuk-garuk kepala. Dia tak berkomentar lebih lanjut. Selebihnya kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Niatku tadi siang untuk minta maaf sama Subandi, sepertinya batal. Nantilah lain waktu. Aku pasti minta maaf.
Tak lama, dia bahas soal Hira. Mas Bro. "Semalam, cewek itu nanyain nomor Mas Bro. Boleh nggak aku kasih ke dia, nomor ponsel Mas Bro?" tanya Subandi.
Aku nggak jawab apa-apa, atas pertanyaan dia. Pikirku, nggak penting banget. Sepertinya Subandi bingung, karena lama tak kunjung aku jawab pertanyaan dia tadi.
Untuk mengalihkan pembicaraan, aku bilang sama Subandi, kalau mau numpang mandi.
"Bro. Ternyata panas ya cuacanya. Kok aku gerah ya. Numpang mandi dong, boleh nggak," kataku dengan santainya.
"Eh...boleh boleh banget Mas Bro. Tunggu ya aku siapkan dulu sabunnya," kata Subandi, lalu dia ngeloyor ke dalam.
Tak sampai 5 menit, dia bilang, aku sudah boleh masuk kamar mandi.
Kulihat, di bibir bak kamar mandi, sudah ada sabun detol cair, didekatkan dengan sikat dan pasta gigi kecil, kemasan baru, belum dibuka bungkusnya.
Handuk juga sepertinya baru, meski ukurannya kecil. Tapi, setidaknya bisa mengelap tubuhku setelah mandi.
Kunyalakan kran air kamar mandi.
Suara gemericik air kran itu, mampu menyegarkan otakku yang seharian ini tak jelas aktifitasnya. Ya. Seharian ngobrol nggak tentu arah, sama Subandi.
Kuambil segayung air, kuguyurkan dari atas kepalaku.
"Brrrrr!
"Jebur! Jebur! Jebur!"
Busyet! Dingin banget. Maklum, jarang aku mandi jam sembilan malam seperti malam ini.
Tapi, meski dingin, setidaknya bisa menyegarkan tubuhku.
Seperti biasa. Aku nggak suka mandi lama-lama. Paling lama, cuma 15 menit. Itu pun rasanya aku mandi terlalu lama.
Apalagi, di rumah nggak ada orang lain, selain aku. Jadi, tak ada yang menyuruhku cepat-cepat keluar dari kamar mandi, kalau kelamaan.
Biasanya, kalau ada telepon panggilan masuk, aku buru-buru keluar dari kamar mandi.
Bukan dari siapa-siapa, panggilan itu kalau nggak dari Jumari, ya Subandi.
Dua manusia itu yang paling sering ngerecohin ketenanganku.
Terkadang, orang mau menyendiri di rumah, dipaksa keluar rumah. Alasannya, suruh nemani inilah itulah. Entahlah. Namanya kawan, suka buat kita nggak bisa menolak.
Tanpa suara, aku tiba-tiba muncul di ruang tamu.
"Brrrrrr. Dingin banget ya Bro, air di rumahmu!" kataku tiba-tiba mengejutkan Subandi yang kulihat sudah terbaring di sofa.
Dia langsung membuka matanya, lalu merubah posisinya. Dari rebahan, lalu duduk.
"Maaf Mas Bro. Ngantuk berat aku," sebut Subandi.
"Iya aku juga pamit nih. Sudah malam. Lanjut perjuangannya. Sampai ketemu besok," celetukku panjang lebar.
"Hm. Oke Mas Bro. Aku beneran ngantuk berat ini. Makasih ya sudah singgah di gubuk aku," katanya sambil mengucek-ucek matanya.
Entah sudah berapa kali, dia kulihat menguap, menahan rasa ngantuknya. Jadi, tanpa basa-basi, aku langsung minta undur diri saja dari rumah dia.
Kustater motor gedeku, lalu melaju kencang di jalanan, membelah malam. Jalanan masih ramai.
Beberapa pedagang pecel lele pinggir jalan, masih ramai pembelinya. Lihat beberapa orang beli pecel lele, di beberapa warung kali lima, jadinya aku lapar.
Terpaksa harus beli nasi, untuk mengganjal perutku, supaya cacing-cacing dalam perutku, nggak pada demo.
Entah mengapa, aku sedikit menyesal. sudah mengabaikan pertanyaan Subandi. Seharusnya tadi aku jawab saja. Eh ini malahan, aku sok-sok nggak mau jawab, alias jual mahal. Hahahahaha! Ternyata aku masih memelihara kesombonganku, dengan baik. Sok cuek sama urusan cewek, tapi aslinya butuh banget!
Mulai detik ini, aku janji akan berubah. Lebih membuka diri dengan hal-hal yang asing bagiku. Termasuk urusan soal cewek.
***
"Mas, gimana, aku boleh minta nomor telepon Mas Budiman itu nggak? Plisssss!" pinta Hira dengan membubuhkan emoticon dua telapak tangan yang ditangkupkan.
Subandi bingung, harus jawab apa, pertanyaan dari Hira.
Hira mengirimkan huruf P hingga berkali-kali ke w******p Subandi.
Karena bingung mau jawab apa, terpaksa Subandi menonaktifkan paket datanya.
"Duh gimana ya besok kalau di kantor, didesak suruh ngasih nomor ponsel Mas Bro Budiman, bisa bakal panjang lagi urusannya," pikir Subandi, cemas lantaran diberondong kiriman puluhan huruf P ke nomor ponselnya.
Subandi mulai mengatur strategi. Memutar otaknya, mencari cara untuk mempertemukan lagi Hira dan Mas Bro Budiman.
***
"Mas, ntar malam kita makan dimana. Ini kan hari ulang tahun pernikahan kita, memasuki tahun ke lima." tanya Ratna, istri Subandi yang tiba-tiba mendekatinya.
"Deg"
Subandi nyaris lupa bahwa dia, lima tahun yang silam, untuk kali pertama dan terakhir, meminang Ratna, sebagai pendamping sehidup semati.
Tak pakai pacaran lama-lama. Kenal hanya sebulan, Subandi langsung meminang Ratna dengan emas kawin, seperangkat alat salat.
Ia merasa, berjodoh dengan Ratna, tak lain adalah berkat Mas Bro Budiman. Maka dari itu, Subandi sangat berharap ia bisa balas budi, dengan cara mendekatkan Hira kepada Mas Bro Budiman.
Menyatukan dua insan yang tak sejalan itu, pekerjaan yang berat. Seperti menegakkan benang yang basah.
Spontan, Subandi punya ide, makan malam di salah satu restoran yang harga makanannya tak terlalu mahal.
"Bun, kalau begitu kita makan malam di restauran yuk, biar ayah yang traktir." ajak Subandi pada Ratna.
"Beneran nih?" tanya Ratna ragu.
"Iya, sayangku, cintaku, permata hatiku, yang menyebalkan!" sahut Subandi, sambil mengecup kening Ratna.
Bersamaan dengan itu, Ratna kegirangan setengah mati.
"Yesssssssss!" pekiknya sambil menghambur memeluk tubuh Subandi erat-erat.
"Tunggu ya sayang, aku siap-siap mandi dulu," kata Ratna, sembari kakinya mencoba berjinjit, untuk menjangkau pipi Subandi, lalu dikecupnya.
Subandi berusaha menetralkan kegelisahannya. Semua gara-gara Hira mendesaknya, agar memberitahu nomor Budiman.
Ia bingung karena respon Mas Bro Budiman kemarin, dingin dan cuek. Jadi, rasanya Subandi nggak mungkin memberitahukan begitu saja nomor Ms Bro Budiman, ke Hira.
Terbayang di otak Subandi, kalau bakal ada perang dunia ke tujuh, andai ia sembarangan menyerahkan nomor ponsel Mas Bro Budiman, ke Hira.
"Sayang, aku ajakin Hira sama Mas Bro Budiman, boleh ya?" kata Subandi minta izin sama Ratna.
Tanpa berpikir panjang, Ratna langsung mengiyakan permintaan suaminya itu.
"Boleh pakai banget. Kan dua orang itu sahabatmu, sayang. Jadi bagus kalau diundang. Lebih seru pastinya di acara makan malam kita," ujar Ratna tanpa beban.
Subandi merasa bersyukur karena telah dijodohkan dengan Ratna. Perempuan yang nggak banyak tingkah, dan menerima Subandi, apa adanya.
Begitu juga sang mertua, rasanya Subandi ingin sujud syukur tiap hari, karena takdir telah memberinya karunia terindah, seorang mertua yang baik hati dan sabar.
Tak hanya itu, saudara-saudara ipar Subandi, juga baik semuanya. Namun, di sisi lain, Subandi masih merasa sepi. Sebab, di usia lima tahun pernikahannya dengan Ratna, ia tak kunjung dikaruniai seorang anak. Meski penantiannya tak berujung, Subandi tak pernah berputus asa. Dia yakin, dan terus berdoa, agar suatu saat Tuhan mengabulkan permohonannya.(***)