Jumat jam delapan pagi. Aku buru-buru pergi ke toko emas. Di sana aku putuskan untuk membeli kalung emas putih dengan hiasan liontin berbentuk bulan.
Kufoto kalung berliontin bentuk bulan itu. Lalu, hasil foto aku itu aku kirim ke Subandi. Maksud aku, minta pendapat dia soal kalung itu.
Subandi langsung komentar, kalau kalung pilihan aku itu, cakep banget. Akhirnya aku mantap membayar kalung itu. Penjual kalung emas putih itu langsung membungkusnya dalam kotak kecil.
"Wah, beruntung banget istrinya dapat kado ultah kalung emas putih ini. Cakep banget ini Mas. Saya jamin, istri Mas bakal suka pemberian Mas ini," kata lelaki asli Padang Pariaman itu, memujiku.
Aku hanya cengar-cengir bercampur malu. Dia sok tahu. "Padahal, kalung emas ini bukan untuk istri. Tapi, calon istri. Xixixixixixi!" batinku.
"Semoga aku dan dia berjodoh. Karena aku mulai membuka diri buat Hira," pekikku lagi, dalam hati. Berkhayal kalau Hira bakal jadi istriku.
"Oalah. Ngayal kok yang aneh-aneh." pikirku dalam hati.
Sejauh ini, jujur aku memang merindukan sosok perempuan pengganti Sabrina.
Lagi-lagi, di otakku kembali masih mengingat perempuan j*****m itu. j*****m tapi sosoknya aku rindukan.
Sekarang, dua bayangan, sedang berusaha merebut perhatianku. Antara bayangan Sabrina dan Hira.
Bayangan Sabrina masih kuat, bermain-main di otakku. Harus dengan cara apa aku mengusir bayangan Sabrina, aku masih belum menemukan jawabannya.
Tapi, belakangan, senyum Hira lebih lekat diingatan kepalaku. Ah! Andai saja Sabrina tak mengkhianatiku, aku nggak akan pernah bisa berpaling dari dia.
***
Subandi, menepati janjinya. Ia datang ke rumah, untuk menjemputku. Ya kami berdua diundang orang tua Hira, untuk acara yasinan.
Orang tua Hira, mengundangku, lewat Subandi. Si Subandi gemblung itu, mau mau saja kalau diundang. Bahkan, tanpa minta persetujuan dulu sama aku, dia janji ke orang tua Hira, kalau dia dan aku, pasti hadir.
Dasar monyet dia itu.
"Mas Bro, Hira nanyain kamu nih. Katanya, dia nanyak, Mas Budiman ikutan, kan di acara Yasinannya?" kata Subandi sambil memperlihatkan chat di ponselnya.
"Bilang aja sama dia, kalau aku nggak bisa hadir. Apa coba jawaban dia?" kataku lagi, meminta pada Subandi untuk menguji responnya seperti apa, ketika dia tahu aku nggak bisa hadir di acara yasinannya itu.
"Tapi, Mas Bro, tolongin aku dong. Dia berharap Mas Bro hadir," pinta Subandi.
"Apa hubungannya sama kamu. Kok kamu yang resah, sampai memohon padaku, aku harus hadir. Curiga nih aku, sama kamu Bro!" sahutku penasaran.
"Kumohon.Mas Bro. Ini menyangkut hidup dan matiku," kata Subandi masih dengan nada memelas, berharap aku mengabulkan permohonannya.
Jujur, aku terkekeh melihat kegelisahan yang terpancar di raut wajah Subandi.
"Kamu ada MoU apa dengan Hira, segitunya kamu mau aja dijadiin kacung sama dia. Hahahahahah!" sergahku sambil tertawa lepas.
Tapi, lagi-lagi dia keluarkan jurus garuk-garuk kepalanya. Ciri khas Subandi kalau sudah nyerah dengan keadaan.
Dengan wajah polosnya, dia bertanya. "MoU itu apaan toh Mas Bro?" Nggak mudeng aku," tanya Subandi, pasang wajah lugu.
"MoU itu, sejenis tahu tempe bacem, buatan Mama aku," jelasku dengan serius.
"Ah si Mas Bro ini. Serius nih. Aku bener-bener bermohon. Ini menyangkut hidup dan mati aku," ulang Subandi serius banget.
"Coba kamu jujur, sebenarnya ada perjanjian apa kamu sama Hira. Sampai segitunya kamu rela berjuang demi dia," desakku.
Tapi, sekali lagi Subandi masih bungkam dan tetap pada pendiriannya, terus memohon padaku, untuk hadir di acara Yasinan di rumah Hira.
Bahkan, demi memintaku hadir, Subandi janji mentraktir aku, ikan bakar terenak.
"Mas Bro, tolonglah ya hadir di acara yasinannya. Nanti aku traktir makan ikan bakar yang paling enak di kota ini," kata Subandi lagi, mencoba membujuk aku.
"Ini ceritanya kamu mau nyuap aku?" tanyaku sembari pasang wajah cemberut.
"Ya nggak gitu kali, Mas Bro. Plisssss pokoknya. Apa Mas Bro nggak kasian kalau aku nanti disantet sama dukun!" jelasnya lagi, sekaligus buat aku lebih penasaran.
"Apa sih maksud kamu, pakai dukun-dukun segala," tanyaku.
"Nanti aku jelaskan Mas Bro. Kalau Mas Bro hadir. Yakkkkkk yakkkkkk okeeee bantu aku ya," katanya sembari mengatupkan kedua telapak tangannya dan mendekatkannya di d**a.
Kalau sudah seperti itu, aku pasti iba, nyerah dan akhirnya aku menuruti permintaannya.
"Okelah. Awas kalau ingkar janji. Kowe tak jadikan rujak cingur, baru tahu rasa," kataku mengancamnya tapi dengan nada bergurau.
Bak prajurit yang diperintah komandannya, Subandi langsung merapatkan kakinya, pasang badan tegap, memberiku hormat.
"Siap komandan. Laksanakan!" sahutnya dengan tegas.
"Awas ya!" ancamku lagi.
Dengan sikap yang sama. Subandi mengulangi gerakan seperti prajurit diperintah komandannya.
"Tunggu aku siap-siap," kataku.
"Siap Bos, ditunggu!" sahutnya lagi.
"Siap. Siap. Bos. Emang aku bosmu!" bentakku.
"Hahahaha. Siap tuan Budiman!" kali ini dia mengubah gaya bicaranya, antara bos dan anak buah.
Sumpah. Berteman dengan dia, rasanya tak bisa emosi. Kalau ada masalah. Mau marah gimana, nggak marah, gimana? Serba susah.
Subandi itu bukan tipe orang yang suka menaruh dendam sama orang, meski pernah disakiti. Dia itu, bagiku teman yang tulus. Tak pernah merepotkan orang. Dia juga orang yang suka tampil apa adanya.
Kalau ingat-ingat kejadian lucu tahun lalu, dia ke kantor pakai tas buruk. Kusam, kayak gembel.
Katanya, dia mau beli tas, nggak bisa. Soalnya, atm disita istrinya. Mau beli apa-apa, harus izin istrinya.
Kalau dia sudah curhat kayak gitu, aku hanya mentertawakannya sampai perutku sakit.
"Ih amit-amit, jabang bayi," kataku waktu itu pada Subandi.
Subandi hanya bisa pasrah. Dia bilang, bukannya ngasih solusi, malah dibully. Aku jadi tertawa lagi, sampai terpingkal-pingkal.
"Makanya, cek dulu, kalau mau cari bini, dia tukang sita atm suami nggak?" kataku sok-sok bijak.
Padahal, aku sendiri waktu itu kan belum nikah. Jadi aku belum merasakan adanya penyitaan atm.
"Amit-amit. Kalau aku punya bini kayak gitu, sudah aku lempar laut aja. Kan nggak sopan kayak gitu," celetukku.
Tapi, demi membela istrinya, Subandi punya kalimat pamungkas yang tak bisa aku bantah.
"Uang suami itu, uang istri. Nah kalau uang istri, ya uang istri. Mana bisa diganggu gugat," ujarnya.
"Wkwkwkkw!" aku mentertawakan dia. Kubilang lagi sama dia. Kok bisa sih atm suami disita bini. Itu namanya penjajahan dalam rumah tangga," celetukku lagi, sok yes.
Lagi lagi, Subandi hanya garuk-garuk kepala tak bisa berkata-kata lagi. Seharusnya aku nggak boleh mentertawakan dia seperti itu. Sebab, bagaimana pun, sesama lelaki, pasti merasakan betapa tersiksanya hidup dalam situasi seperti itu. Atm dikuasai istri.
Aku berharap kelak, Tuhan memberiku jodoh terbaik buat aku. Andai berjodoh dengan Hira. Semoga dia, nggak seperti istri Subandi.
Loh kok bisa sih, aku berharap berjodoh dengan Hira. Aku kan belum ada ikatan apa-apa sama dia?!(***)