Satu: Ara dan Buket Bunganya

2482 Words
Seperti pagi tiap pekerja kantoran, lantai Hello,Wedding! masih cukup sepi di jam 7. Bukan karena banyak pekerjanya yang mengulur waktu kedatangan, karena jam operasional mereka jam 8. Melainkan hampir semua pekerjanya berpencar untuk melahap sarapan di lingkungan perkantoran itu. Mengisi perut mereka, sebelum dibuat gila akan berbagai kesibukan nanti. Haidar menipiskan bibir, ketika menyadari tiap lantai kantornya masih belum dihuni siapapun. Maka ketika ia memasuki lantai 3, tempat dimana kantornya berada ia tak lagi heran melihat setiap bilik kosong tanpa penghuninya. Hanya ada beberapa kursi yang ditinggalkan tas, menandakan pemilik bilik sedang keluar entah melahap sarapan apa. “Lo bawa nasi uduknya kan?” Kalau bukan karena Haidar sudah menjadi karyawan selama hampir 4 tahun, dia pasti akan dibuat terkejut akan kemunculan Dany. Perempuan berambut pendek itu, tiba-tiba membuka selimut yang menutupi dirinya. Keluar dari bawah meja panjang di dekat jendela, tempat dimana tim mereka biasa mengadakan rapat. “Kenapa sih suka banget nginep di kantor? Lo gak diusir dari kosan kan?” sinis Haidar meletakkan sebungkus nasi uduk dan sebotol air putih ke atas meja Dany. Ia bisa melihat Dany melipat asal selimut dan meletakannya di bawah meja. Tak habis pikir akan tingkah rekan kerjanya satu itu. “Kalau bukan karena dikejar deadline gue juga gak bakal nginep,” seru Dany malas membuka lacinya dan meraih tas berisi peralatan mandi dan handuk kecil. Ia mengipaskan beberapa lembar desain pelaminan yang diselesaikannya dalam semalam dengan bangga. “Gue lebih baik lembur, daripada ngadepin klien yang ribet permintaannya.” Kata-kata Dany jelas menyindir Haidar, pekerjaan laki-laki itu sebagai juru foto pernikahan memang suka sekali dihadapkan pada klien yang rewel. Penuh permintaan akan gaya foto ataupun edit yang terkadang terlalu berlebihan. Jika tidak sesuai, Haidar akan mendapat omelan panjang setelahnya. Haidar mendengus, meraih gelasnya untuk membuat kopi namun urung ketika melihat sebuket bunga di meja Ara. Pemimpin timnya. “Wah emang udah tanggal 2 April?” tanya Haidar meraih ponsel dari dalam saku celana untuk memeriksa tanggal. “Keren juga Mbak Ara masih ngerayain.” “Bukannya aneh ya?” balas Dany ikut berdiri di samping Haidar, menatap penasaran buket bunga dengan kertas terselip di salah satu tangkai bunga. “Heran kenapa ada orang kayak mbak Ara, yang ngerayain tiap tahun hari perceraiannya.” “Pagi!” Seruan riang dari Kayla, tidak membuat Dany dan Haidar mengalihkan pandang dari meja Ara. Untuk pertama kalinya, dua orang yang biasa bertengkar seperti tom and jerry itu berdiri bersisian dengan pandangan fokus ke satu arah. “Kalian ngapain di meja Mbak Ara? Oh, Mbak Ara dikasih bunga?!” Kayla sontak menutup mulut tak percaya, ketika melihat sebuket bunga di meja atasannya itu. “Dikasih siapa?” tanyanya penasaran, menatap Haidar penuh harap agar sepupunya memberi tau. Walaupun baru beberapa bulan menjadi pekerja di Hello,Wedding! tidak menjadi penghalang Kayla untuk mengumpulkan gosip di lingkungan kerjanya. “Mantan suaminya,” jawab Haidar pendek mencoba mengintip kata-kata di kertas ucapan, berharap ada beberapa tulisan yang tercetak dibaliknya. Ia refleks menutup kuping ketika Kayla berseru nyaring tepat di telinganya. “Mantan suami?! Mbak Ara udah pernah nikah?!” seru Kayla tak percaya. Ia pikir selama ini atasannya itu belum menikah sama sekali, masih jomblo seperti dirinya. Siapa sangka kalau ia sudah bercerai, jika melihat seceria apa dia. “Sedih banget dong.” “Sedih apanya sih? Dia malah ngerayain tiap tahun sama mantan suaminya, senang banget lagi.” Dany jadi merinding sendiri mengingat ekspresi bahagia Ara yang berlebihan tiap tanggal 2 April, belum lagi rasa semangatnya yang seolah tak pernah putus pada tanggal itu. Kayla tidak tau saja akan sesibuk apa timnya karena kadar bahagia Ara yang meningkat drastis. “Memangnya mantan suami Mbak Ara siapa?” Pertanyaan Kayla seolah menyalakan sesuatu di dalam kepala Dany dan Haidar. Keduanya mengerjap lantas berpandangan. “Oh iya, siapa ya?” gumam keduanya bersamaan jadi penasaran akan sosok yang rutin mengirimkan buket bunga tiap tahunnya di meja Ara. “Di kantor kita gak bolehin siapapun masuk ke gedung, kecuali klien dan karyawan kan?” tanya Haidar mencoba menyusun dugaannya akan sosok mantan suami atasan mereka. “Kurir pun cuman bolehin mengantar barang sampai lobby, berarti kemungkinan besar karyawan disini juga.” Anggukan setuju diberikan Dany, kini memasang handuk kecilnya seperti syal yang membalut leher. “Gue tadi sempat bangun jam 5 pagi dan cuman ketemu Bu Iin yang lagi beres-beres. Berarti bunga ini diletakkin sebelum jam 5 atau dia orang kantor yang cukup tinggi kedudukannya sampai Bu Iin gak cerita kesiapa-siapa soal ini?” Sudah jadi rahasia umum kalau Bu Iin, petugas kebersihan kantor mereka merupakan pusat dari semua gosip. Ia selalu menceritakan gosip percintaan tiap karyawan tanpa diminta, Kayla termasuk pendengar setia setiap ucapan beliau. Tak heran dalam kurun waktu 4 bulan menjadi karyawan, Kayla sudah khatam akan kisah cinta tiap karyawan Hello,Wedding! Mendengar ucapan Dany, baik Haidar ataupun Kayla mengangguk setuju. Merasa masuk akal akan kemungkinan mantan suami Ara. Sosok yang berhasil membuat seisi kantor aneh, karena merayakan hari perceraian mereka. Siapa pun tau tentang bunga ‘2 April’ , tapi tak ada satupun yang dibuat penasaran akan sosok mantan suami Ara. Pemimpin tim 1, yang jadi panutan banyak tim lain. “Selamat pagi.” Ketiganya menoleh ke pintu kaca, menemukan Ara dan atasan mereka Bayu memasuki kantor dengan senyum lebar. Tak lupa bungkus plastik berisi sarapan di tangan keduanya. Meski salah satu pemilik Hello,Wedding! Bayu enggan dipanggil ‘Pak’ oleh semua karyawannya. Ia lebih suka dipanggil ‘Abang’ ataupun namanya sendiri. Alasannya sih biar akrab. “Loh kalian ngapain di depan meja aku?” tanya Ara dengan tenang, tidak merasa terganggu karena ketiga anggota timnya memusatkan pandangan pada meja kerjanya. “Liat kiriman bunga buat Mbak Ara,” jawab Kayla, karena Dany dan Haidar tak kunjung menjawab. Justru menatap penuh curiga akan Bayu yang ikut mendekat. “Wah udah tanggal 2 April ya,” gumam Bayu tersenyum meledek ke arah Ara yang terlihat salah tingkah ketika melihat buket bunganya. Perempuan itu tersenyum, tanpa sadar memeluk buket bunga itu penuh perasaan gembira. Menyadari tatapan penuh curiga dua karyawannya, Bayu mengalihkan pandang mendapati Dany dan Haidar menatapnya tajam. “Kenapa lagi nih? Ada apa?” tanya Bayu dengan nada jengkel yang cenderung dibuat-buat. “Bang, bukan lo kan mantan suaminya Mbak Ara?” tanya Dany penuh curiga, menunjuk Bayu dengan sikat gigi berwarna pinknya. Tawa Ara langsung pecah ketika mendengar pertanyaan Dany. Wajah ceria Bayu langsung padam, tergantikan tatapan malas. Sudah bosan dituduh menjadi mantan suami Ara selama bertahun-tahun. “Bukan, bukan gue,” sangkal Bayu menyingkirkan sikat gigi Dany dari depan wajahnya. “Seriusan Bang? Dulu kan sebelum gue dan Dany gabung, kalian udah kerja bareng. Termasuk perintis Hello,Wedding! Masa iya bukan,” sahut Haidar tak segampang itu percaya ucapan Bayu. “Seriusan bukan gue, bocah!” Bayu berdecak keras langsung membekap mulut Haidar, sebelum laki-laki itu mulai berbicara tidak jelas. “Bayu, ke ruangan gue sekarang dong.” Tiba-tiba pintu terbuka menampakkan sosok Wira, salah satu pendiri Hello, Wedding! pula. Ia dan Bayu tercatat sebagai pemilik perusahaan wedding organizer yang mereka kembangkan dengan cukup cepat dalam kurun waktu 4 tahun. Kalau Bayu lebih sering ikut mengatur acara, Wira lebih sering rapat dan melakukan kerja sama dengan pihak luar untuk mengembangkan perusahaan mereka. Istilahnya Wira lebih jarang muncul di kantor, ketimbang Bayu. “Kamu nginep di kantor lagi, Dan?” tanya Wira ketika menyadari perlengkapan mandi yang ditenteng salah satu karyawannya itu. Dany tersenyum lebar, mengangkat perlengkapan mandinya yang serba merah muda. “Lembur Mas, banyak yang mau lihat desain pelaminannya dulu sebelum ngurus yang lain.” “Jangan sering-sering lembur, sempatin pulang,” nasehat Wira teringat kebiasaan Dany yang suka menginap di kantor untuk menyelesaikan desain. Bagaimana pun Dany dan Haidar, termasuk dari beberapa orang yang pernah bekerja bersama kedua pemilik perusahaan sebelum mereka fokus pada pengembangan Hello,Wedding! “Loh dapat bunga lagi?” tanya Wira menyadari buket bunga yang sedang dipeluk Ara. Ia hanya geleng-geleng kepala tak habis pikir ketika Ara membalasnya dengan senyuman lebar. Laki-laki itu bergegas menuju ruangannya, diikuti Bayu. “Kalian juga siap-siap buat kerja, bentar lagi jam operasional loh.” Ara meletakkan buket bunganya di pinggir meja. Menyadarkan ketiga anak bawahnya yang masih menatap penuh penasaran buket bunganya. “Jangan lupa nanti sore kita ada rapat final, sebelum hari H.” “Oke, Mbak Ara!” seru ketiganya dengan nada berbeda. Hanya Dany yang menjawab dengan nada lesu andalannya. “Dany! Jangan lupa kamu ketemu klien hari ini!” Ara mengingatkan anggota timnya yang satu itu sebelum berlalu menuju kamar mandi. Jelas tak membiarkan Dany berhadapan dengan klien menggunakan celana training hijau andalannya. Ara menyalakan komputernya, dan mengamati kumpulan sticky notes yang ditempelnya di kalender. Melihat klien mana saja yang harus ia temui hari ini. Pandangannya kembali menatap buket bunga, baru menyadari ada kertas yang terselip di antara kelopaknya. Ia segera meraihnya. Tersenyum kecil, ketika mengenali tulisan yang ada di dalamnya. “Always be happy, my ex wife. Happy 3rd Year Divorce Day -Your Ex Husband" Isinya sederhana, dan mungkin saja akan terdengar aneh bagi siapapun yang membaca. Namun bagi Ara, surat itu cukup untuk membuat perasaannya berbunga-bunga. Ia hampir saja berteriak, kalau saja tidak menyadari Haidar menatapnya penuh curiga. Ara berdeham, mengontrol ekspresinya untuk tetap tenang. Ara melipat kembali kertas ucapan itu, lantas membuka laci. Mengambil toples kecil berisi kumpulan kertas lipat dengan ucapan yang selalu menjadi suntikan semangat untuknya. Ia memasukkannya ke sana, lantas menyimpannya baik-baik ke dalam laci. Setelahnya, 5 menit dihabiskan Ara untuk menatap deretan sukulennya dengan senyum lebar sebelum telpon pertama dari divisi keuangan memulai harinya. *** “Ini gimana sih, kemarin kan udah dibilang kalau hiasan bunga di sisi panggung bakal dikurangin. Kenapa masih ada?” Dany menunjuk kesal susunan bunga yang menghiasi sisi samping pelaminan. Ia melirik salah satu anggota divisi lapangan, yang kini menggaruk tengkuknya tak nyaman. “Emang kemarin dari tim gue nggak ngirim list perubahan dekorasi?” tanyanya dengan nada tak sabaran. “Gue juga gak tau Dan, tadi pas gue ngecek kesini belum ada itu hiasan. Eh pas balik, anak-anak udah masang hiasannya,” ujar rekan kerjanya sedikit kebingungan. Ia memeriksa kembali list dekorasi yang harus disusun timnya, mengakui tidak ada hiasan bunga disisi panggung dalam list itu. “Lo kemana emang, pas anak-anak lo lagi ngurusin panggung? Tidur?” sindir Dany sebal, ia memang cenderung mudah marah jika menghadapi kesalahan seperti ini. Sifat yang sudah diketahui hampir semua rekan kerjanya sehingga lebih berhati-hati, namun ada saja kesalahan yang membuat Dany kesal seperti ini. “Tadi gue juga ngurusin susunan meja di area tamu, Dan. Maaf lah, kita semua capek jadi wajar ada keteledoran kayak gini,” sahut rekan kerjanya mulai terlihat tak terima disalahkan. Ada satu peraturan tidak tertulis yang diketahui tiap anggota divisi lapangan, tentang sosok Dany. Jangan pernah menjadikan ‘capek’ sebagai alasan dari kesalahan yang dibuat. Dany yang sudah cukup lama tidak terlibat langsung dengan divisi lapangan, sepertinya membuat rekan kerjanya satu ini lupa akan sifatnya. “Menurut lo klien bakal nerima alasan kita capek?” balas Dany tajam mulai menggulung kertas ditangannya untuk menahan amarah. “Kita udah dibayar sama mereka, mau lo capek atau nangis darah pun mereka cuman mau tau acara sesuai sama keinginan dia.” Dany menunjuk hiasan bunga yang menjadi permasalahan mereka. “Lagian gue nggak bakal mempersalahkan lebih lanjut, kalau ini cuman sekedar miskomunikasi antara lo sama yang lain. Tuh bunga muncul di sini aja udah salah, karena artinya tim lo nggak liat pesan dari tim gue buat batalin hiasan itu.” Decakan diberikan rekan kerjanya itu, tak bisa lagi mengelak kesalahannya. Ia menghela napas, menggaruk kepalanya bingung. “Terus gimana?” “Menurut lo? Ya suruh anak-anak lu lepasin, biar gue yang ngehubungin pihak vendor buat ngambil lagi barangnya,” balas Dany ketus, segera beranjak kembali ke kantor karena jadwal temunya dengan klien sudah di depan mata. Sementara rekannya itu bergegas memberi perintah. “Halo, Mbak Dany.” Suara Kayla langsung terdengar setelah deringan pertama. Sedikit membuat Dany lega karena timnya itu cepat merespon. Ia meraih tasnya dan bergegas keluar dari hotel. “Kay, tolong dong hubungin vendor dekorasi. Dari tim lapangan lupa batalin hiasan sisi panggung, jadinya ikutan dipasang.” “Loh kok bisa?Aku udah ngirim dari jauh hari list perubahannya, terus udah kuingetin lagi kemarin.” “Biasa, teledor. Tolong hubungin ya, gue bentar lagi balik,” sahut Dany berjalan tergesa-gesa menuju jalan besar untuk menaiki angkutan umum. Dia hampir saja menutup panggilan, kalau saja suara Ara menghentikannya. “Dan, kamu naik taksi aja! Suruh lewat tol, soalnya jalan biasa lagi ada demo angkutan umum. Klien kamu minta pertemuannya dipercepat soalnya, uangnya nanti ku ganti.” Dany memijat dahinya pening, ia segera berbalik. Menghampiri area pick up penumpang yang disediakan pihak hotel, menemukan satu taksi sedang menunggu di sana. “Oke, Mbak. Kalau aku belum dateng, kasih tunjuk model umum pelaminannya di atas mejaku ya.” Sambungan telepon langsung dimatikan, Dany segera berlari menghampiri taksi. Sialnya, ketika ia meraih handle pintu penumpang, ada tangan lain yang juga mendarat di sana. Dany menoleh menemukan seorang pria tinggi menatapnya dengan kernyitan dalam. “Maaf Pak, saya duluan ya,” pinta Dany baik-baik, membuka pintu taksi lebih dulu. Namun di dorong pria itu lebih dulu untuk kembali tertutup. “Saya datang duluan, dan ini taksi pesanan saya.” Pria tinggi itu berucap tak setuju, ia memberi kode pada supir taksi yang nampak cemas. Memastikan tidak ada pertengkaran besar di antara mereka. “Pak saya buru-buru banget, tolong bantu saya sekali ini aja,” mohon Dany putus asa berharap pria yang memakai setelan kantor itu berbelas kasih padanya. “ Gaji saya bisa dipotong kalau telat nemuin klien.” Diam-diam Dany merutuki kliennya yang begitu rewel, penyebab kenapa ia rela untuk memohon seperti ini agar tidak terlambat. “Saya juga buru-buru, bukan kamu saja yang sibuk di dunia ini.” Pria itu bersikeras. “Cari taksi lain aja.” Dany mengigit bibir, merasa terdesak. Ia perlahan melepas genggaman kuatnya dari handle pintu. Melihat Dany mulai mengalah, pria itu mengambil langkah mundur untuk memberi ruang Dany menyingkir. Sayangnya, Dany malah melesat begitu cepat masuk ke dalam taksi dan mengunci pintunya dari dalam. “Pak saya buru-buru banget, tolong anterin ke daerah Senopati,” pinta Dany berucap cepat. Mengabaikan pria di luar sana yang mengetuk jendelanya beberapa kali. “Tolong Pak, saya bayar 2 kali lipat dari argo,” tawarnya ketika menyadari pandangan ragu dari sang supir. Bingung harus apa. “3 kali lipat pak, saya bayar 3 kali lipat.” Dany berseru lantang menunjukkan ekspresi putus asanya yang tidak dibuat-buat kepada sang supir. “Ayo pak! Tolong saya!” Setelah pertimbangan cukup lama, supir taksi itu menghela napas. Lantas menyalakan mesin mobil. Mulai menjalankan taksinya pergi dari daerah hotel. Dany menoleh dari kaca belakang, mendapati ekspresi kesal dari pria tinggi itu. Ia tersenyum meledek seraya melambaikan tangan. Berucap ‘terima kasih’ tanpa suara yang ia yakini dapat dimengerti pria itu karena ekspresinya semakin mengeruh. Sekarang Dany tinggal berdoa, agar ia tak bertemu laki-laki itu dalam waktu dekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD