bc

Exigent

book_age18+
127
FOLLOW
1K
READ
system
zombie
student
tragedy
twisted
straight
icy
male lead
high-tech world
dystopian
like
intro-logo
Blurb

Richard Achille Eunoia (Rae) adalah seorang pelajar yang tengah berputus asa dan merasa hampa dalam kehidupannya. Dia harus berjuang dengan keadaan serta lingkungan dunianya yang sedang mengalami fenomena aneh dan darurat bencana, sehingga memaksa dirinya untuk tetap hidup walaupun hatinya merasa hampa. Bersama sahabat-sahabatnya, dia harus berupaya untuk menemukan penyebab dari kekacauan dunianya. Semua kekacauan yang membuatnya harus memilih antara hidup dan mati. Dalam perjalanan panjang yang harus mereka lakukan untuk menyelesaikan permasalahan. Akankah mereka semua dapat menemukan jalan keluar dari semua permasalahan itu?

chap-preview
Free preview
Hari yang Aneh bukan?
Pagi ini. Udara terasa lebih hangat daripada biasanya. Aku terbangun di tengah hiruk-pikuk perkotaan yang tiada pernah mati silih berganti. Di dalam sebuah ruangan apartemen yang padat di pusat kota. Tiada hari yang spesial dalam hidup yang aku alami. Oh, iya. Hampir lupa aku mengenalkan diriku pada kalian. Rae! Begitulah orang-orang memanggilku, Rae adalah nama yang diucapkan oleh orang-orang kepadaku, terutama kerabatku. Aku, seorang pria yang hidup menyendiri di tengah keramaian pusat kota Larencia. Meskipun demikian, aku tak pernah merasakan kesepian. Menyendiri membuatku merasa bebas dari penatnya aktifitas bersama dengan orang-orang yang hanya menghabiskan semua energiku. Bersekolah di Sekolah Menengah Atas kenamaan di Kota Larencia tak lantas membuatku menjadi sosok yang dikenal dan terkenal di lingkunganku. Aku acapkali menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-temanku di sekolah. Hampir setiap hari aku dirundung dan diperlakukan seperti orang yang lemah dan bodoh oleh The Chaser. The Chaser. Mereka adalah sekelompok perundung di sekolahku yang beranggotakan 6 orang yaitu, Gregory alias Regy, William alias Willy, Aldo, Mickey, Yura alias The Queen, dan Casper. Gregory merupakan pemimpin dari para Chaser. Sebenarnya, mereka tidak menyebut diri mereka demikian. Aku-lah orang yang menamai mereka The Chaser, karena mereka sering menggangguku. Terutama Gregory. Dialah orang yang sering memprovokasi teman-temannya untuk merundung dan memalakku. Mereka sering melukai fisik dan melontarkan kata-kata tidak pantas kepadaku. Walau begitu, aku selalu menerima perlakuan mereka dengan sabar dan lapang d**a. Ya … aku memang bukan tipe orang yang bisa melawan mereka begitu saja. Aku bisa saja melawan dengan kemampuan yang aku miliki. Namun, aku enggan melakukannya karena aku lebih menjaga reputasi keluarga ku. Aku terlahir sebagai keluarga yang kaya dan berkecukupan, ayahku seorang ilmuwan di bidang penelitian biologis. Sedangkan ibuku, dia bekerja sebagai kepala dokter di sebuah rumah sakit ternama di pinggiran Kota Larencia. Aku memiliki seorang adik perempuan bernama Larissa Eunoia. Kesehariannya hanya di habiskan dengan menonton serial drama dari negara Korea. Untuk itu, aku biasa memanggil namanya dengan sebutan La Eun. Pada masa itu keluargaku terlihat harmonis. Aku menjalani kehidupanku dengan bahagia. Selain itu, keluargaku terkenal dermawan dan ramah terhadap para pegawai yang ada di rumah tempat tinggalku. Meskipun demikian, banyak orang yang cemburu dan tidak suka terhadap keluargaku. Hingga datang suatu waktu, ada segerombolan orang yang tidak diketahui entah siapa dan dari mana asalanya tiba-tiba saja menyerang dan menghabisi semua penghuni yang ada di rumahku. Aku ingat masa itu, masa ketika La Eun dan ibu menelponku untuk terakhir kalinya. Teriakan kesakitan yang mereka rasakan masih tersimpan di ingatanku. Hal yang membuatku begitu menyesal karena saat itu, aku tidak ada di sisi mereka. Entah apa yang aku pikirkan saat itu hingga aku begitu putus asa bagai hidup tanpa arah dan tujuan. Aku banyak menghabiskan keseharianku, mengurung diri di apartemen. Prestasiku menurun yang membuatku dirundung karena kebodohanku. Kejadian itu selalu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Semua itu terjadi begitu cepat, tatkala aku baru naik ke grade 11. Hingga sekarang, pada tanggal 25 Mei 2070 tepat 2 tahun setelah kepergian keluargaku. Begitu banyak penyesalan yang aku alami saat ini, hingga aku menjalani hari hariku dengan penuh kehampaan. Pagi ini, setelah 2 tahun masa kelam berlalu. Aku terbangun dari ranjang empukku. Aku bersiap untuk berangkat ke sekolah dan bertemu dengan orang-orang yang selalu menghabiskan sisa tenagaku. Segalanya telah aku siapkan untuk bertahan dari mereka. Namun pagi ini, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda saat aku keluar apartemen. Aku melihat koridor apartemen yang sepi dan tidak seperti biasanya. Aku berpikir bahwa hal ini mungkin wajar, karena sebelumnya, aku juga tidak peduli dengan keadaan sekitar tempat tinggalku. Setibanya di lift dan bersiap untuk turun, aku berjumpa dengan seorang pria yang berusia kira kira 30 tahunan. Saat aku melihatnya, pria itu tak seperti orang-orang pada umumnya. Perilakunya begitu aneh. Aku berusaha bersikap wajar untuk beberapa saat. Sampai beberapa saat berlalu, dia terus diam yang membuatku curiga. Tiba-tiba, dia melirik ke arahku dengan tatapan kosong. Aku mencoba untuk menyapa pria itu. "Permisi Tuan, apa ada yang salah dengan saya?" tanyaku padanya. Dia terus bergeming. Aku pun melambaikan tangan di depan wajah nya. Namun, reaksi yang dia tunjukan tetap sama. Dia bahkan tidak berkedip sekalipun. Lama-kelamaan aku pun merasa sedikit cemas. Pada saat yang bersamaan pintu lift pun terbuka. Aku bergegas masuk dengan berusaha tetap tenang. Setelah pintu mulai tertutup, aku berusaha menahan pintu dengan memencet tombol. Karena, pria di depanku masih belum masuk dan masih terdiam diposisinya. "Maaf Tuan, apakah Anda ingin ikut turun juga?" tanyaku. Aku hanya mendapati jawaban yang sama dengan tatapan kosong yang memandangiku. Aku bergegas memencet tombol menutup paksa pintu lift karena aku merasa ketakutan dengan sikap orang tersebut. "Orang yang aneh," ucapku saat di dalam lift. Setibanya di lantai utama (Lobi), aku bergegas keluar apartemen untuk berangkat ke sekolah. 'Gubrak' Seseorang menabrakku. "Maaf … aku tidak sengaja," ucapnya lirih. "Iya tidak apa-apa, apa kau baik-baik saja, kenapa kau terburu-buru?" celetukku padanya sembari membantu merapikan beberapa barangnya yang berserakan di lantai. Dia hanya menjawab dengan senyuman lalu bergegas pergi meninggalkanku. Saat aku memembantu merapikan barangnya, tanpa sengaja aku melihat sebuah buku dengan judul "Agenda Misi Utama" yang menarik rasa penasaranku. Aku mengetuk-ngetuk dagu dengan jariku, sembari memikirkan buku yang kulihat tadi. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dan merangkulku dari belakang. "Hey Rae, siapa tuh. Cantik juga dia." Aku pun menoleh. "Hm … lagi-lagi lu, Xyan." Ternyata orang itu adalah Xyla Andorra. Xyla Andorra atau biasa dipanggil Xyan, adalah sahabatku sejak lama. Kami sudah bertemu sejak kecil karena orangtua Xyan adalah kerabat dekat ayahku. Ayahnya adalah salah satu karyawan di perusahaan tempat ayahku bekerja. Kekerabatan kami semakin dekat ketika aku tinggal di apartemen yang mana, Xyan sudah tinggal di tempat itu sejak kecil. Persahabatan kami begitu dekat sehingga hanya Xyan sajalah satu-satunya keluargaku yang tersisa setelah kejadian naas beberapa tahun lalu. Aku dan Xyan bersekolah di SMA yang sama, hanya saja kita berbeda kelas. Meskipun demikian, kami sering berangkat ke sekolah bersama. Serta, ketika jam istirahat atau jam kosong tiba, kami sering bertemu. Aku sudah menganggap Xyan seperti kakakku sendiri mengingat usia Xyan yang 1 tahun lebih tua dariku. "Kau pernah bertemu dengan dia sebelumnya? Gue baru liat dia selama ini," tanya Xyan. Aku terus memandang dan menatap perempuan itu berjalan keluar apartemen. "Entahlah, gue juga baru melihatnya." Xyan pun melambaikan tangan ke arah wajahku. "Wah, lu suka, ya ...." Aku bergegas mengajaknya keluar untuk mengalihkan pertanyaan Xyan. Aku berdeham. "Udah deh c'mon lets go. Udah siang nih, buruan ke sekolah." Pagi ini kami keluar dari apartemen dan berangkat bersama menuju ke sekolah. Kami biasa berangkat ke sekolah menggunakan bus sekolah yang biasanya terparkir di halte pada pukul 08.00 pagi waktu setempat. "Udah jam delapan lewat lima belas menit dan kita udah nunggu tiga puluh menitan di halte. Tapi, Pak Tua Rensen belum datang juga," celotehku ke Xyan. "Iya juga nih. Apa kita jalan kaki aja?" Xyan mengangkat-angkat alisnya. Senyum khas tak tertinggal dari bibirnya. "Lagipula, udah lama kita nggak jalan kaki ke sekolah." Pak Tua Rensen adalah nama panggilan dari kami untuk Rensen McWill. Usianya yang begitu tua membuat kita terbiasa memanggilnya Pak Tua. Dia pun tak keberatan dengan itu. Pak Tua Rensen merupakan sopir bus sekolah yang sering melewati rute di depan apartemen tempat kami tinggal. Dia sudah lama menjadi sopir di sekolah kami. Hampir setiap hari dia selalu mengobrol dengan kami. Itulah yang membuat kami tampak akrab hingga dia menganggap kami seperti cucunya sendiri. Saat itu ada hal yang janggal sedang menimpa Pak Tua Rensen. Karena, pada hari itu dia tidak mengendarai bus sekolah untuk mengantar para siswa. Biasanya saat dirinya akan libur, dia selalu memberi tahu kami sehari sebelumnya. Itulah yang membuat kita penasaran hari ini. Akhirnya, aku dan Xyan pun memutuskan untuk berjalan kaki ke sekolah. Perjalanan yang cukup panjang. Mengingat, kami biasanya membutuhkan waktu 15 menit untuk tiba di sekolah dengan menaiki bus. Namun kali ini, kami harus meluangkan waktu 30 menitan untuk sampai ke sana. Selama perjalanan, banyak hal aneh tengah terjadi di Kota Larencia. Hiruk pikuk aktivitas penduduk seketika sirna sejauh mata memandang. Lalu-lalang bising kendaraan tak lagi menghiasi kota metropolitan ini. Tak ada kemacetan, tak ada keramaianm hanya ada beberapa orang saja yang kami jumpai di jalanan. Sama halnya dengan kami, mereka yang kami temui sibuk dengan kerabat-kerabatnya membicarakan keadaan yang tidak biasa ini. Aku dan Xyan sempat heran dengan keadaan di sini. Beberapa kali Xyan menjelaskan mengenai kejadian- kejadian aneh yang dia alami selama di apartemennya. Mulai dari melihat orang-orang yang dia temui terdiam dengan tatapan kosong seperti yang kutemui tadi pagi, sampai udara yang terasa begitu panas di malam hari. Bahkan, AC yang ada di kamarnya pun belum cukup untuk mendinginkan hawa panas. Di tengah perjalanan, kami melihat beberapa orang sedang mengantri di depan kios-kios yang menjual kebutuhan makanan pokok. Aku melihatnya, seolah kota ini sedang dilanda kekeringan dan bencana. Banyak pertokoan non-pangan yang kami temui terlihat sepi pengunjung meskipun hari ini bertepatan dengan hari jadi kota kami. Aku tidak tau situasi apa yang sedang terjadi saat ini. Mengingat, sejak aku bangun tidur, aku hanya merasakan pagi hari yang lebih hangat dari biasanya. Malam hari sebelumnya, aku juga merasakan hawa yang begitu panas lewat di sekitar kota ini. Sama seperti yang diceritakan dan dirasakan oleh Xyan. Aku mengencangkan kedua tali bahu tas yang ku gendong. "Xyan, apa lu pernah mendenger buku berjudul Agenda Misi Utama?" ucapku penuh rasa penasaran. Xyan mendongakkan wajahnya. "Um ... nggak pernah sih." Dia menoleh sembari terus melangkah. "Tapi, gue pernah baca dari salah satu artikel yang ada di internet. Entah benar atau enggak, di sana tertulis ada sebuah agenda dari kelompok rahasia yang menyebut diri mereka Behind The Shadow," jawabnya. Aku pun mengernyitkan dahi mendengar ucapan Xyan. Aku tak paham dengan pembahasannya mengenai kelompok rahasia yang dia sebutkan. "Emang ada apa Rae?" tanya Xyan penasaran. Tersadar akan pertanyaan Xyan membuatku mengalihkan topik pembicaraan. Aku menepuk pundaknya yang lebih tinggi dariku. "Oh, nggak apa-apa. Ayo, kita lanjut jalan aja!" Sepanjang perjalanan, kami kembali mengobrol mengenai hal-hal aneh yang sedang terjadi sampai tak terasa kami sudah tiba di kawasan sekolah. Waktu menunjukan pukul 08.50 saat aku menatap gadgetku. Hal yang aneh juga terjadi di sekolah. Dari kejauhan, aku melihat gerbang sekolah tampak tertutup seperti tidak ada kegiatan di sekolah. Tetapi, kami memutuskan untuk tetap masuk ke sekolah karena pikirku, mungkin security ketiduran, sehingga aku berniat membangunkannya. Tiba di depan gerbang sekolah, pintu gerbang hanya tertutup dan tidak dikunci. Tanpa pikir panjang kami pun membuka gerbang dan masuk ke lingkungan sekolah. Setibanya di gedung sekolah, gedung ini begitu sepi dan tidak ada kegiatan apapun. Aku semakin curiga dengan situasi saat ini. Hatiku bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi? "Rae, menurutlu, ada yang aneh nggak sih belakangan ini?" tanya Xyan padaku. "Mm … iya nih." Aku menggaruk dagu. "Harusnya hari ini kan hari jadi kota kita. Tapi, jalanan sepi banget. Biasanya, orang-orang tumpah ruah di jalanan," jawabku. "Oh ,iya. Bukannya hari ini juga ada gladi bersih untuk persiapan wisuda kita?" celetuk pria itu sembari mengendurkan tali bahu tasnya. "Iya, benar. Tapi, di sini sepi banget. Padahal, libur musim panas udah selesai," balasku. "Apa ... kita salah jadwal?" Giliranku menanyainya. Xyan mulai membuka gadgetnya. "Enggak kok." Dia melihat agenda di kalendernya. "Gue yakin seratus persen nggak salah jadwal." Gadget di masa itu sudah sangat modern. Yang mana, gadget itu berbentuk seperti gelang transparan. Layar yang ditampilkan berupa hologram yang ukurannya dapat diatur dan disesuaikan dengan cara menyentuh layar. Untuk menyalakannya, gadget hanya menerima perintah dari sensor suara, atau sesekali dapat diaktifkan dengan sidik jari dari pemiliknya. Terdengar suara notifikasi dari gadget kami bersamaan. "Pesan Peringatan : Kepada semua masyarakat, belakangan ini negara kita tengah merasakan gelombang panas yang ekstrim. Sehingga, mengakibatkan kekeringan di beberapa daerah. Tetap tinggal di rumah dan jangan sampai anda boros dalam penggunaan energi! Persiapkan segala sesuatunya sebelum hal-hal buruk terjadi." Bunyi pesan berantai pada gadget kami. 'Kling' "Pesan Peringatan : Semua orang dimohon untuk tetap tinggal di rumah, hindari keramaian dan tetap menjaga persediaan air. Dimohon untuk tetap tenang dan jangan panik, pemerintah tengah berupaya menyelidiki keadaan yang sedang terjadi." Bunyi pesan berantai berikutnya. Mendengar pesan peringatan sebelumnya membuat diriku semakin yakin jika saat ini, Larencia dalam keadaan yang tidak normal. "Xyan, gimana nih. Ada yang nggak beres di negara kita!" Perasaanku mulai tidak nyaman dan gusar. Xyan terdiam sejenak dan berusaha menenangkanku. "Tenang Rae, jangan panik." Dia menuntunku menarik nafas dalam-dalam untuk berusaha tetap tenang. Tapi pikiranku begitu kacau, sulit untuk mengendalikan kekhawatiran memikirkan hal-hal yang belum terjadi. "Jangan-jangan negeri kita bakalan tam-" Xyan menutup mulutku. "Wush jangan ngaco deh, kita harus tenang. Mendingan kita coba cari tahu penyebab semua kejadian ini." Dia berusaha membuatku tetap berfikiran positif. "Iya, tapi pemerintah ngasih kabar seperti itu." Nada bicaraku meninggi. "Kita harus bagimana?" Xyan menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Dia yang sedikit memahami karakterku mencoba untuk diam sejenak menungguku merasa tenang. Saat aku mulai kembali berfikir dengan baik. Xyan meminta ku untuk kembali ke apartemen. "Rae, udah mending gini aja. Kita pulang aja ke apartemen, sesuai instruksi dari pemerintah." Mendengar ucapannya, aku hanya menganggukkan kepala. Kami pun berbalik arah keluar gedung sekolah. "Eh, tapi tunggu dulu. Gue haus nih, kita ke kantin yuk. Siapa tau ada yang buka," ucap Xyan mengajakku. Aku menganggukan kepala meski rasa panik masih menghantui pikiranku. "Udah tenang, aja. Gue yang traktir." Perkataan yang dia ucapkan dengan senyum lebar di wajahnya mencoba membuat keadaan tampak baik-baik saja. Di tengah perjalanan menuju ke kantin, aku melihat The Chaser tengah mengobrol di bawah pohon. Seketika itu, aku mencoba memalingkan pandangan. "Hey. anak bawang! Ngapain kalian ke sini. Mau cari gara-gara!" teriak Gregory. "Sial ... mereka melihat ku. Aku harus buru-buru kabur,” gumamku dalam hati. Sontak, aku menepuk pundak Xyan dan mengajaknya lari menghindari The Chaser. "WOY JANGAN KABUR KALIAN!" pekik Gregory. The Chaser langsung berlari mengejar kami. Kami bergegas masuk kembali ke gedung sekolah untuk mencoba bersembunyi serta menghindari mereka. Tak berselang lama, The Chaser mengikuti kami masuk ke gedung untuk mengejar kami. Aksi kejar-kejaran pun tak terelakan di gedung sekolah. Di dalam gedung sekolah, aku berinsiatif mengajak Xyan untuk naik ke lantai atas dan berusaha mencari ruang kelas yang kosong untuk bersembunyi. The Chaser dengan brutal menghujani kami dengan kerikil. Kami terus berusaha menghindar hingga tak sadar aku telah terpisah dari Xyan. "Gawat. Xyan kemana ... lagi," ucapku dalam hati. "WOY! Mau kabur kemana kau." Terdengar suara lantang Gregory dari kejauhan. Perasaan panik kembali bergejolak. Aku mencoba membuka setiap pintu-pintu ruang kelas yang ada. Hingga akhirnya, aku menemukan ruang musik yang tidak terkunci. Tanpa berfikir panjang, aku bergegas masuk ke sana. Di ruangan ini, aku hanya melihat beberapa alat musik yang tersimpan di etalase kaca. Aku mencoba melirik ke berbagai sudut ruangan untuk mencari tempat berlindung. Mataku tertuju ke sebuah pintu kecil di samping drum. Aku mencoba bersembunyi di balik pintu kecil, yang mana tempat ini merupakan sebuah toilet khusus untuk siswa yang tengah menggunakan ruangan musik. "Celaka, aku terpojok," gumamku dalam hati. Gemuruh langkah kaki orang berlari terdengar mendekat ke ruang musik. Jantungku berdetak tak beraturan hingga aku harus menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba mengatur pernafasanku. The Chaser pun tiba di depan ruangan tempat persembunyianku. Suara seseorang terdengar tengah membuka pintu. "Halo ... anak bawang. Gue tau lu bersembunyi di mana," ucap Gregory. Aku mulai mengintip dari celah-celah pintu kecil ini. Di sana, para Chaser lalu-lalang mencariku. Sesekali mereka memukul alat-alat musik untuk membuatku merasa semakin cemas. Nafasku kian memburu. Aku masih tetap bersembunyi di balik pintu dan menunggu mereka pergi. Tak lama kemudian, mereka pergi meninggalkan ruang musik. Aku mulai membuka pintu perlahan, memastikan semua anggota The Chaser telah pergi. Saat aku mulai melangkahkan kaki keluar ruangan, tiba-tiba William melihatku. "Itu, dia di sana," teriak William Dia berlari bersama Chaser lain untuk mengejarku. Aku yang tak sempat melarikan diri lagi akhirnya terkepung oleh para Chaser. "Lu nggak bisa ke mana-mana. Sekarang, lu harus terima akibatnya." Gergory berjalan mendekatiku sembari mengepal-ngepal tangannya. Seketika itu, raut wajahku mulai memerah. Hati dan pikiran ku bergejolak seolah ingin mengakhiri semua tindakan The Chaser selama ini. "Ini nggak bisa dibiarkan. Mau nggak mau aku harus ngadepin mereka apapun resikonya," ucapku dalam hati. Gregory terus memberiku tekanan hingga tangan ini reflek melayangkan tinjuan ke wajahnya. Dia pun menolehkan wajah dan meludah. "Oh, sekarang lu udah berani ngelawan gue! Rasain nih kepa-*rat!" Gregory meninju perutku. Saat tangannya mendarat di perutku, rasanya bagaikan terlilit ikatan tali yang mencengkeram. Segera aku pun membalasnya dengan pukulan di pipinya. Perkelahian kita semakin memanas. Aku yang telah mengerahkan segala kemampuan dan amarahku berusaha menghabisi Gregory dan kawan-kawannya. Belum sempat sampai kesana, William menyerangku dari belakang. Dia menendang punggungku hingga aku tersungkur. Saat aku mencoba bangkit, para Chaser lantas menendang tubuhku. "Kenapa?" "Sakit?" "Mau nyerah?" "HAH!" teriak Gregory sembari menekan leherku dengan kakinya. Nafasnya yang memburu seakan-akan tengah memanaskan tubuhku. Aku tak akan tinggal diam. Aku terus mencoba membangunkan tubuh ini. Tetapi, semakin kulawan mereka semakin menyiksaku. Darah mengalir dari mulutku hingga membasahi pakaianku. Badanku terasa lemas tak berdaya. Dalam pandangan yang mulai kabur, sebagian organ tubuhku tidak bisa di gerakkan. Aku mendengar percakapan Gregory dan kawan-kawannya yang terdengar gusar. Mereka takut jika perbuatannya membuatku terbunuh. Gregory meminta Aldo dan Mickey untuk menyembunyikan tubuhku agar tidak dapat diketahui oleh orang lain. Meski aku sudah tak berdaya, aku masih sempat merasakan tubuhku diangkat oleh Aldo dan Mickey. Mereka melemparkanku dari lantai atas. Aku merasakan tubuh ini melayang di udara. Beruntung, tubuhku masih sempat tertahan semak-semak sebelum akhirnya menyentuh tanah. Aku hanya pasrah dengan perbuatan mereka. Aku siap menerima apapun resiko yang akan aku alami nanti. Seketika itu penglihatanku tak dapat berfungsi. Aku tak bisa merasakan semua anggota badanku. Pikiranku tak bisa membedakan mana mimpi dan kenyataan, mana masa lalu dan masa depan. Semua terlihat gelap gulita. ---

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.7K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
861.2K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.4K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.7K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K
bc

Aku Pewaris Harta Melimpah

read
153.7K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook