Setelah mendengar berita itu, Gaven segera melangkah menuju kamarnya tanpa menyapa ke dua orang tuanya terlebih dahulu. Gaven menutup pintu kamar dengan pelan, lalu menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas ranjang.
Ada getaran yang tidak biasa yang Gaven rasakan di dalam tubuhnya. Setiap berhasil membunuh seseorang, Gaven merasakan tubuhnya memanas dan kekuatannya semakin bertambah. Namun Gaven tidak dapat memastikan semua itu. Ia butuh jawaban untuk menjawab setiap pertanyaan yang ada di dalam hatinya.
Gaven kembali mengambil kertas yang sudah ia lipat sedemikian rupa dari dalam sakunya. Ia manatap gambar Aura yang sudah tewas karena ulahnya. Korban ke tiga semenjak Gaven memiliki kekuatan membunuh di dalam dirinya.
Setelah puas menatap gambar korbannya, Gaven kembali melipat gambar itu dan menyimpannya di sebuah kotak bekas kaleng biskuit yang sudah terkenal di Indonesia. Kaleng biskuit yang begitu fenomenal dengan beberapa keanehan dan keganjilan pada kemasannya.
Setelah meletakkan gambar itu dengan baik, Gaven kembali menyimpan kaleng itu di bawah lantai. Satu buah ubin keramik yang bisa dilepas pasang, sengaja disiapkan Gaven untuk menyimpan kaleng itu. Ia sengaja melakukannya sendiri agar Anna dan Matheo tidak mengetahui hal itu.
Setelah semua beres, Gaven kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Pertemuannya dengan Liliana yang tidak terduga, kembali mengusik jiwa Gaven. Gaven jatuh cinta kepada putri seorang pejabat, pebisnis besar sekaligus merupakan salah satu orang yang berbahaya di negeri ini.
Tidak lama, Gaven pun terlelap di atas ranjangnya. Gaven benar-benar sangat lelah setelah menghabiskan tenaganya untuk membunuh Aura—rival majikannya.
-
-
-
Sore menjelang, Gaven dikejutkan dengan deringan ponselnya yang begitu keras. Ya, Gaven sengaja mengatur volume ponselnya ke level paling tinggi. Ia tidak ingin majikannya menungu terlalu lama ketika membutuhkan dirinya.
“Ha—halo, Mbak.” Gaven mengangkat panggilan suara itu.
“Gaven ... kamu baru bangun tidur?” Terdengar suara lembut seorang wanita dari seberang telepon.
“Maaf, Mbak. Saya ketiduran, ada apa mbak? Apa anda membutuhkan saya?”
“Iya, suami saya menyuruhmu untuk datang ke sini. Ada yang ingin dibicarakan oleh suami saya.”
Gaven sedikit kebingungan, “Bapak Raymond butuh saya? Ada apa, Mbak?”
“Datang saja, temui beliau.”
“Baiklah, sepuluh menit lagi saya akan berangkat.”
“Saya tunggu, selamat sore, Gaven.”
“Selamat sore, Mbak.”
Gaven segera bangkit dari ranjangnya dan segera berlalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia masih tidak habis pikir, ada apa Raymond menyuruh Gaven untuk menemuinya.
“Gaven, mau kemana, Nak?”
“Barusan mbak Rose menghubungi Gaven, Bu. Ia menyuruh Gaven segera ke rumahnya. Mungkin mbak Rose mau diantar ke suatu tempat.”
“Owh, tidak makan dulu? Tadi siang ibu lihat kamu belum makan. Bahkan ibu tidak tahu kapan kamu pulang, tiba-tiba sudah tertidur saja di dalam kamar.”
“Nanti sajalah bu, makannya. Gaven terburu-buru. Oiya, tadi Gaven lihat ibu dan ayah sedang asyik menonton berita, jadi Gaven sengaja tidak ingin menganggu.”
“Ya sudah, pergilah cepat. Jangan biarkan majikanmu menunggu terlalu lama.”
Gaven mengangguk dan segera berlalu kembali ke dalam kamarnya. Dengan cepat, Gaven bersiap.
“Bu, Gaven berangkat dulu.”
“Iya, hati-hati, Nak.”
Gaven pun mulai mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai ke rumah Rose. ia benar-benar tidak ingin membuat Rose menunggu lebih lama.
Sesampai di rumah Rose, Gaven segera mengambil gawaynya dan menghubungi majikannya itu.
“Halo, Gaven.”
“Halo, Mbak. Saya sudah sampai di basement, sekarang saya harus ke mana?”
“Langsung saja naik ke lantai dua, suami saya sudah menunggu di ruang kerjanya.”
“Apakah ruangan kemarin? Waktu saya bertemu dengan bapak Raymond?”
“Iya, di sana.”
“Baiklah, saya akan segera ke sana.”
“Hhmm ....”
Panggilan itu pun akhirnya terputus. Gaven segera naik ke atas lift dan menekan tombol nomor dua. Dengan langkah cepat, pemuda itu pun menuju ruangan Raymond.
“Permisi, Pak.” Gaven membuka pintu ruangan itu sedikit. Pintu yang sebelumnya sudah ia ketuk sebanyak tiga kali.
“Hei, sudah sampai, Gaven? Silahkan masuk.”
“Iya, Pak. Terima kasih.”
“Silahkan duduk.” Raymond mempersilahkan Gaven duduk di kursi yang ada di hadapannya. Sementara Raymond duduk di kursi kebesarannya.
“Terima kasih, Pak.”
“Bagaimana kabarmu, Gaven. Apakah sehat?” Raymond menyapa ramah.
“Sehat, Pak.”
“Gaven, saya tidak ingin berbasa basi terlalu lama. Jadi begini, istri saya sudah menceritakan semuanya tentang dirimu. Bahkan kamu sudah membunuh rival istri saya dengan sangat mudah. Jadi, apakah kamu bersedia untuk bekerja sama juga dengan saya? Saya akan membayar tinggi untuk hal itu.”
“Ma—maksud anda bagaimana, Pak?”
Raymond bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Gaven, “Gaven, seperti yang kamu tahu, saya adalah seorang pejabat pemerintahan. Selain itu, saya juga pebisnis besar. Bisnis yang saya jalani tidak semuanya legal. Jadi begitu banyak pesaing bisnis dan juga rekan yang membutuhkan jasa bisnis saya. Untuk itu saya membutuhkan bantuanmu untuk memuluskan bisnis ini.” Raymond menjelaskan.
Gaven masih belum mengerti dengan apa yang disampaikan pria itu, “Maaf ... saya tidak mengerti dengan apa yang bapak sampaikan.”
“Gaven, saya ini pebisnis besar. Kamu tahu sendiri dunia bisnis dan dunia politik itu seperti apa. Saya ingin kamu membunuh satu demi satu rival bisnis mau pun rival politik saya. Sebagai balasannya, saya akan membayar mahal untuk hal itu. bagaimana, Gaven?”
“Maaf, saya bukan bekerja untuk jadi pembunuh, Pak.”
“Saya tahu, Gaven ... akan tetapi saya juga butuh bantuan kamu untuk melakukan hal-hal seperti tadi. Ini berguna untuk memuluskan bisnis saya dan istri saya. Saya pastikan, jika kamu mau bekerja sama dengan saya, hidupmu akan berubah dalam waktu singkat.” Raymond tersenyum kecut seraya menatap netra Gaven.
Raymond melihat keraguan dari mata Gaven.
“Sepuluh hingga lima puluh juta untuk satu nyawa, bagaimana?” Raymond kembali menawarkan bayaran yang sangat tinggi.
“Baiklah, saya terima tawaran anda.”
“Hahaha ... bagus, Gaven. Saya suka pemuda seperti kamu ini. kita akan mulai pekerjaan pertama untukmu.”
Raymond mengeluarkan foto seseorang dan memberikannya kepada Gaven, “Bunuh orang ini, sekarang!”
“Siapa dia?”
“Kamu tidak perlu tahu siapa dia, bunuh saja.” Raymond memberi perintah dengan tegas.
“Baiklah.”
Gaven menerima gambar itu, memperhatikan sejenak lalu mulai mengeluarkan pena dan pensil dari dalam saku celananya. Raymond terus memperhatikan apa yang dilakukan Gaven. Ia memperhatikan dengan saksama.
Tidak lama, Gaven menyelesaikan lukisannya. Lukisan yang semakin hari semakin bagus. Bahkan gambar yang dihasilkan oleh Gaven mengalahkan lukisan dari pelukis ternama.
Setelah menyelesaikan lukisannya, Gaven meletakkan lukisan itu di atas meja dan mulai berkonsentrasi. Gaven memusatkan pikirannya hanya pada gambar yang ada dihadapannya.
WUSH ...!!
Raymond tersentak melihat ruangan tiba-tiba berubah merah. Sinar merah yang keluar dari netra Gaven turut menyinari ruangan itu. Kali ini sinar itu keluar lebih lama dari biasanya. Biasanya sinar itu keluar selama satu hingga dua detik, namun kali ini sinar itu bertahan hingga tiga detik.
Setelah semua kembali normal, Gaven menyimpan kembali kertas miliknya ke dalam saku celana.
“Semua sudah selesai, Pak. Sebentar lagi akan tersiar kabar meninggalnya rival anda secara mendadak oleh serangan jantung atau karena terjangkit virus.”
“Oiya? Cepat sekali. Apa hanya seperti itu caramu membunuh korbanmu?”
“Iya ....”
“Hhmm ... menarik. Kamu melakukannya dengan sangat mudah.”
“Pak, saya lelah. Boleh izinkan saya untuk beristirahat sejenak?”
“Tentu, silahkan. Saya akan hubungi pelayan di rumah ini. Ia yang akan mengantarmu ke salah satu kamar untuk beristirahat.”
Gaven mengangguk. Ia benar-benar kelelahan. Tenaganya terkuras habis setelah menggunakan kekuatannya.
Tidak lama, seorang pelayan datang dan membawa Gaven menuju salah satu kamar untuk beristirahat. Pemuda itu langsung saja terlelap sesaat setelah tubuhnya rebah dan menyentuh ranjang super empuk yang ada di kamar itu.