bc

Janda Idaman Bujangan Pincang

book_age18+
1.5K
FOLLOW
25.7K
READ
HE
kickass heroine
confident
bxg
lighthearted
office/work place
assistant
like
intro-logo
Blurb

Bagaimana kalau dua orang yang terluka karena fisik yang tidak sempurna, bertemu tanpa sengaja dan saling menyembuhkan luka?

*

Kaira Sasmaya, perempuan yatim piatu berusia 26 tahun. Dicerai suaminya karena tiga kali keguguran, Kaira yang terluka hati akhirnya berniat menjanda selamanya, sampai dia bertemu seorang bujangan berkaki pincang.

*

Rayi Bimala, 25 tahun, atasan Kaira di kantor. Pria bujangan yang tampan, sayangnya berkaki pincang permanen. Rayi yang ditinggalkan oleh tunangannya karena kondisi kaki tak sempurna, mengira tidak akan pernah ada yang mau menerima kondisinya.

*

Sama-sama terluka karena masa lalu, Kaira dan Rayi awalnya tidak saling menyukai dan beranggapan buruk satu sama lain. Namun perasaan itu tumbuh tanpa bisa ditahan antara keduanya.

*

Akankah janda dan bujang ini bisa bersatu di balik segala keterbatasan dan ketidakcocokan mereka? Apakah Rayi sanggup menerima kondisi Kaira yang janda dan sulit punya anak?

Dan apakah Kaira mau menerima Rayi yang tak pernah bisa berjalan sempurna?

Lalu bagaimana kalau mantan suami Kaira kembali untuk mengajak rujuk saat identitas Kaira yang asli terbongkar? Sementara mantan tunangan Rayi juga kembali dan ingin dinikahkan.

Bisakah cinta dan harapan mengalahkan segala?

***

Visual bisa cek IG/TT Ashadiya.writes, sss Ashadiya Writes

chap-preview
Free preview
Chapter 1: Keguguran
-Kaira- "Maaf, Ibu. Detak jantung janinnya tidak terdengar." Ucapan dokter kandungan Kaira membuatnya terpaku. "Janin tidak bisa diselamatkan." Sesuatu yang amat sangat Kaira Sasmaya takuti ternyata benar-benar terjadi. "Jadi ... pendarahan itu yang kemarin itu ..."
 "Pertanda keguguran, benar Bu." Rasanya Kaira seperti dihantam halilintar. Keguguran. Satu kata yang menjadi momok bagi Kaira. Pendarahan yang dia rasakan sejak kemarin, ternyata memang tanda-tanda keguguran akan kandungan Kaira yang baru saja berusia 12 minggu. Tidak perlu ditanya hancurnya hati perempuan berusia 26 tahun itu. Harapannya yang tinggi untuk akhirnya memiliki anak pada kehamilannya yang ketiga ini, pupus dan hancur berantakan saat tahu ia keguguran lagi. "Apa nggak ada cara lain, Dokter?" tanya Kaira terbata. Ia melirik Ilman sang suami. Wajah lelaki yang sudah enam tahun menikahinya itu tertekuk, membuat Kaira gugup. 'Mas Ilman pasti marah banget,' batin Kaira resah. "Maaf, Ibu. Tapi memang kalau sudah pernah keguguran sebelumnya, resiko keguguran untuk kehamilan berikutnya akan lebih tinggi." "Tapi ... tapi .... Saya sudah berhati-hati, mengurangi kegiatan saya, minum vitamin dan obat penguat janin, tapi kenapa ... kenapa ...." Susah payah Kaira menahan isakan, sampai dia tidak kuat melanjutkan kata-katanya. Kenapa bisa dia keguguran sampai tiga kali? Di mana salah Kaira? Dia bersumpah sudah melakukan semua yang dia bisa, sudah mengusahakan segalanya. Tapi kenapa hasilnya selalu sama? "Memang pengalaman mengandung semua perempuan akan berbeda-beda, Bu Kaira. Ada perempuan yang memang kandungannya cenderung tidak mampu bertahan, ini yang membuat keguguran." "Tapi yang kali ini saya sudah benar-benar usaha, Bu. Supaya ini nggak terjadi lagi. Kenapa ...." "Ya karena memang kamu nggak akan pernah bisa hamil normal," sela Ilman. Pria itu berkata ketus, tidak melihat ke arah Kaira sama sekali. "Belum tentu begitu, Pak ...," bantah sang Dokter, meski ucapannya terpotong lagi oleh Ilman. "Dokter, ini berarti istri saya harus dikuret, kan?" "Benar, Pak." "Ya sudah, lakukan saja segera kuretnya." Pria itu bangkit, menatap Kaira dengan pandangan dingin. "Aku harus kembali ke kantor. Kamu selesaikan semua itu, nanti pulang sendiri." Tanpa basa-basi lebih lanjut, Ilman keluar dari ruangan dokter. Kaira meringis pada Ibu dokter kandungan dan suster yang ada di ruangan itu, buru-buru bangkit dari duduk. "Saya bicara dulu sama suami sebentar, Bu Dokter."
 "Silakan, Bu." Dokter Indri, dokter kandungan Kaira menatapnya iba. Kaira mengabaikan itu, berjalan cepat menyusul Ilman yang sudah cukup jauh menyusuri lorong rumah sakit tempat ia periksa ini. "Mas! Mas!" Kaira memanggil-manggil. Perutnya terasa linu, kepalanya pun berputar-putar. Kaira khawatir ia jatuh pingsan, tapi Ia harus bicara dengan suaminya. Lagipula kalau ia pingsan di lorong ini, belum tentu Ilman akan mau mengangkatnya. Yang ada pria itu mungkin akan secepat kilat meninggalkan Kaira. "Mas Ilman! Tunggu aku!" seru Kaira berulang kali. Syukurnya Ilman mau juga berhenti setelah Kaira tak henti memanggil. Berdiri di lorong itu menatapnya tajam, sementara Kaira akhirnya berhasil menghampiri sambil nafasnya terengah. "Kenapa kamu berisik banget? Bikin malu saja." Pria yang usianya tiga tahun di atas Kaira itu langsung mencecarnya. Kaira mengerjap mata, memegang kain lengan kemeja Ilman. "Mas, maaf ya?" ucap Kaira bersungguh-sungguh. Di lobi itu tidak begitu banyak orang, tapi Ilman tetap terlihat risih. Pria itu mengibas tangannya agar pegangan Kaira terlepas. Perilakunya kasar, sangat jauh dari Ilman Purwoto yang pernah Kaira kenal dulu. "Maaf? Memang kata maaf kamu bisa bikin kita punya anak?" "Nggak bisa." Kaira menunduk. Persis seperti dugaannya, Ilman marah besar karena dia keguguran lagi. "Ta-tapi ... kalau keguguran kan bukan salah aku, Mas ...."
 "Bukan salah kamu, jelas aja kamu nggak akan mau disalahkan soal itu." Ilman mendecih. "Jadi salah siapa kamu keguguran terus sampai kita udah enam tahun menikah nggak punya anak? Salah aku?" Kaira tidak berani menjawab. Apapun pembelaannya, tetap saja dia sudah dihakimi bersalah oleh hakim tunggal di dunia Kaira. Ilman-nya, suaminya yang tersayang. Suami yang dulu begitu penyayang, kini begitu dingin dan tak pernah absen mengeluarkan kata-kata menyayat hati. "Maaf, Mas. Aku ...." "Sudahlah, aku nggak mau dengar," potong Ilman tanpa belas kasih. "Kamu kuret dulu saja, nanti pulang ke rumah setelahnya sendiri. Aku mau bicara." Ilman baru akan berbalik lagi, tapi Kaira menahannya. "Aku ... sendiri? Mas nggak temani aku?"
 "Ngapain? Memang nggak cukup aku temani kamu dua kali keguguran dulu?" bentak Ilman yang jelas membuat Kaira mengkeret lagi. "Tapi ... Mas ..." "Kamu bukan anak-anak kan, Kaira? Bersikaplah dewasa sesuai umur kamu. Pakai kartu asuransi kesehatan dari kantorku buat bayar biaya operasi nanti. Harusnya nggak akan ada biaya lain kecuali kalau kamu jajan sembarangan.” "Tapi kan ...."
 "Kaira. Jangan merepotkan aku untuk hal remeh begini. Lebih baik aku balik ke kantor daripada ngurusin kamu." Hal remeh? Jadi keguguran ini remeh untuk Ilman? Kaira merasa hatinya kian tercabik. Namun tidak ada setetes air mata yang mampu ia keluarkan. Pria itu berbalik. "Aku pergi." Kaira menatap nanar, tiba-tiba teringat sesuatu. "Mas ...."
 "Apa lagi sih??" Ilman melotot. "Ini, Mas ada uang tunai? Aku ... nggak ada uang untuk naik taksi." Ia meminta dengan suara lirih, membuat Ilman mendecih untuk yang kesekian kali. Sesungguhnya Kaira ingin meraung menangis kencang, saat sedang berduka dan kesakitan begini ia harus mengemis uang untuk ongkos pulang dari suaminya yang selama ini hanya memberi jatah bulanan sejuta. Uang tidak seberapa yang harus ia hemat untuk kebutuhan sehari-hari itu jelas sudah ada plot pengeluaran sendiri. Sementara sekarang, ia tidak pegang uang tunai sama sekali. Namun sekarang dia tahan tangisan itu karena masih di rumah sakit. Jadi dia berusaha tegar. "Ck, kamu ini memang cuma bisa bikin aku repot, ya?" Ilman mengeluarkan dompet kulit hitam dari kantung belakang celananya, mulut tak berhenti mengomel. "Kerjanya cuma santai di rumah, minta-minta uang bisanya. Tapi hamil satu anak saja nggak bisa. Kamu selama ini memang hanya nyusahin aku, Kaira. Sial." Suaminya memaki, tangan mengulurkan selembar uang dua puluh ribu. "Pakai ini buat pulang nanti, pasti cukup." Kaira menelan harga dirinya bulat-bulat. Langsung menerima uang itu dari tangan Ilman, khawatir suaminya berubah pikiran. Uang nafkah yang selama ini Ilman beri tidak banyak, jadi Kaira harus memutar balik otak supaya mencukupi kehidupan dia dan Ilman di rumah. “Makasih, Mas.” Kaira berkata dengan sungguh-sungguh. Meski Ilman mengabaikannya.
 "Ingat jangan kemana-mana setelah pulang, aku mau bicara hal penting di rumah. Paham?" "Paham, Mas." Kaira mengangguk. Ilman berdecak sebelum pergi meninggalkannya. Langkah kaki sang suami yang menjauhi Kaira membuat perutnya serasa bergulung tak nyaman. Seperti pertanda akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan Kaira. "Ibu Kaira?" Panggilan suster membuat Kaira tersentak. "Eh, iya Sus?" "Mari Bu, saya antar ke ruang tindakan." Kaira mengangguk lemah. Memasukkan uang dua puluh ribu di kantung celana jeansnya, kemudian berjalan pelan mengikuti sang suster. Menerima nasibnya yang harus keguguran untuk ketiga kali. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.0K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.4K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook