Part 5

1539 Words
"Mau kemana pagi - pagi, Dek Anna?" Tanya seorang pria, berumur pertengahan empat puluhan kepada Anna. Anna yang sudah rapih; karena akan menjemput Risma menatap pria yang baru saja menanyainya. Nama pria itu; Damar, seorang duda dengan dua  orang anak yang sudah menaruh harapan pada Anna sudah sejak lama. "Ini mau jemput Ibu, Kang. Dari mana? Jogging?" "Aku sudah berkeringat begini. Masa iya habis nyiram bunga." Anna terkekeh kecil. Dia celingukan mencari keberadaan Hilya; putri Damar yang sepantaran dengan Hana. "Hilya ke mana, Kang? Biasanya ikut jogging." "Lagi PMS, taulah sama itu anak. Em, itu putramu Dek?" Anna mengikuti arah telunjuk Damar dan menatap putranya yang berdiri di ambang pintu. "Ah iya Kang. Mas, sini. Kenalan dulu sama Om Damar ," Abhi mendekat, remaja itu sebenarnya sejak tadi bertanya – tanya ketika di dalam rumah tentang orang yang tengah berbincang dengan Mamanya. "Hai, Om. Abhimanyu. Mama biasanya panggil Mas Abhi." Abhi menjabat tangan Damar dan mencium punggung tangannya. " Damar . Senang bertemu sama kamu, Mas Abhi. Mama kamu sering cerita tentang kamu," "Oh ya?" "Syukurlah kalau sekarang kamu tinggal sama Mama kamu. Om agak tenang karena sekarang ada yang jaga Mama kamu.." "Kang Damar .." Lirih Anna. Damar tersenyum, sedangkan Abhi mengernyit bingung. "Memangnya kenapa?" "Kan di rumah Bu Risma nggak ada lelakinya. Jadi ya gitu Om khawatir aja kalau seandainya ada apa - apa. Sudah sejak lama lho, Om naruh hati sama Mama kamu. Tapi dianya masih jual mahal." "Kang Damar .." "Oalah.. jadi Om itu cukup dekat sama Mama Abhi?" "Bisa dibilang begitu. Mama kamu itu malaikat di keluarga Om, kalau nggak ada Mama kamu. Om pasti bingung cara mengasuh anak Om." "Kok bisa gitu?" "Mama kamu ibu sepersusuan Hilya, anak Om. Waktu istri Om meninggal karena melahirkan Hilya, Mama kamu yang mengurus Hilya dan memberi Hilya ASI." "Jadi karena itu Om suka Mama saya?" "Salah satunya, karena Mama kamu itu berbeda. Dia punya daya tarik sendiri—" Di akhir kalimatnya, Damar mengerling pada Anna hingga membuat wanita itu memalingkan wajahnya. "Gombal terus." Guman Anna jengkel. "Sudah – sudah, keburu siang. Bubar barisan. Sekarang bukan waktunya rumpi." "Eh Mama, salah tingkah ciye.." Goda Abhi. "Mas Abhi.." Desis Anna membuat baik Abhi atau Damar ikut – ikutan tertawa. "Eh Om, besok kalau mau jogging Abhi sekalian ikut ya? Sejak tinggal sama Mama, Abhi nggak pernah jogging, sekarang badan Abhi agak melebar gara – gara Mama kalau masak enak – enak terus." "Haha, Oke. Memang masakan Mama kamu juara Bhi." "Eh tapi rumah Om di mana?" "Lima rumah ke kiri kalau dari rumah ini. Kalau mau main silahkan. Rumah Om terbuka buat kamu, Mama kamu, Hana dan Bu Risma." "Ah, siap Om." Lalu Damar memandang Anna, dia berpikir sejenak dan berkata, "Biar aku saja yang jemput Bu Risma. Kamu di rumah aja," "Nggak Kang. Aku sudah rapi begini, sudah siap, motor juga sudah ku panaskan." "Naik mobilku aja. Ayo, Dek. Nggak baik menolak kebaikan orang." Anna menghela napas dan pada akhirnya mengangguk. "Mas Abhi kalau ikut ayo aja." "Ah, nggak deh Om. Abhi jaga rumah aja." Damar mengangguk dan berkata, "Ya sudah. Aku pulang dulu dan mandi. Dua puluh menit cukup, Dek?" "Iya Mas. Cukup." Setelah Damar pamit dan meninggalkan Abhi berdua bersama Anna. Remaja tanggung itu menatap ibunya dengan sorot jenaka, "Om Damar sepertinya orang yang baik. Kenapa Mama nggak mau terima Om Damar ? Sekali lihat saja, Abhi yakin Om Darma bisa sayangi Mama dengan tulus." Dalam diam Anna memandang pada putranya dengan tatapan senduh. Sayangnya Mama nggak bisa. Pria sebaik Kang Damar nggak pantas dapat orang seperti Mama yang mau saja tidur sama lelaki yang bukan suaminya. ** "Ya ampun, Le. Kamu ganteng banget ternyata. Sini salim sama Mbah Uti dulu." Abhi mendekat, mencium punggung tangan wanita yang sudah berjasa menolong Mamanya itu, lalu memeluknya. "Terima kasih sudah jaga Mama sama adik Abhi, Mbah Uti." "Halah. Bukan Mbah Uti yang jaga Mama sama Adikmu. Tapi Mama dan Adikmu yang jaga Mbah Uti." Risma melepas pelukan Abhi dan menatap dengan seksama wajah Abhi untuk mencari permaannya dengan Anna. "Hidung sama bibir kamu mirip Mama kamu ya Le? Tapi sepertinya yang lain mewarisi Papa kamu." Abhi terkekeh kecil, dia merangkul Risma dan mereka duduk di sofa. "Perpaduan yang sempurna kan Mbah Uti?" Terbahak, Risma memukul lengan Abhi. "Sudah kenal Nak Damar belum?" Tanya Risma penuh semangat empat – lima. "Sudah dong Mbah. Tadi pagi kenalan, ternyata cocok ya Om Damar sama Mama?" "Cocoklah. Sayangnya Mama kamu masih jual mahal. Pengennya Mbah Uti itu cepat – cepat nikah mereka berdua. Umur Mama kamu beberapa tahun lagi menginjak usia empat puluh, apa nggak ingin dia gendong anak lagi kan ya, Le?" "Bu.. Anna dengar lho dari belakang." Ujar Anna yang baru muncul setelah berpamitan ke belakang. Kini dia sudah mengambil duduk dekat Risma dan Abhi setelah menyajikan teh untuk Risma. "Rumpi itu bisik - bisik. Mana ada rumpi keras – keras sampai Anna bisa dengar." "Ibu memang sengaja, biar kamu berpikir ulang buat terima lamaran Damar , sebelum Damar berbelok, milih perempuan lain." "Itu hak Kang Darma, Bu." "Ya deh. Ya deh. Gini lho kalau Mbah Uti lagi depan sama Ibumu, Le. Untungnya Mbah Uti sudah sayang sama ibu kamu." ** Anna baru sampai rumah setelah membeli sayur dan mendapati Abhi sudah siap lari pagi. "Ini masih pagi banget lho Mas." "Nggak apa – apa Ma. Sekalian Mas mau mengenal Om Damar lebih dekat." Anna terdiam dan mengangguk pasrah. "Ya sudah. Hati – hati Mas." "Iya, Mamaku." Abhi mendekatinya dan mengecup pipinya cukup lama. "Abhi mau berangkat dulu, Ma. Bye.." Anna hanya bisa menatap punggung putranya sebelum masuk dan berkutat dengan peralatan dapur. Ah omong – omong, hari ini adalah hari pertama Anna masuk kerja, dan karena tidak ingin terlambat. Anna pun memulai harinya setelah subuh untuk menyiapkan keperluan pagi orang – orang di rumah, salah satunya menyiapkan sarapan. "Ampun. Dari depan baunya sudah bikin aku ileran." Ujar Abhi seraya menarik kursi. Di meja makan, hanya ada Risma dan tidak Anna di sana. "Mama ke mana, Mbah?" "Lagi ganti baju. Hari ini kan hari pertama Mama kamu kerja." Jelas Risma. Tak seberapa lama, Hana ikut bergabung. Sudah berpakaian seragam lengkap. "Mau Mas anter sekolah?" "Yang benar aja Mas. Naik apa?" Sewot Hana. Dia mengambil nasi goreng buatan Anna yang terlihat masih panas dan juga mengambil telur dadar kesukaannya. "Sepertinya Mas harus beli motor." "Hilih! Pengangguran aja sok – sok an mau beli motor Mas. Mas." Abhi terkekeh saja mendengarnya dan selalu menganggap lucu sikap judes adiknya. "Obrolin apa aja sama Nak Damar ?" Tanya Risma. Abhi terlebih dulu mengisi air dalam gelas yang ada di tangannya dan berkata, "Banyak. Ternyata Om Damar orangnya asik juga ya, Mbah." Di tempatnya Hana mencibir dan menyendok nasi gorengnya asal. "Dia memang supel dan mudah bergaul." Abhi mengiyakan karena kenyataannya memang seperti itu. Beberapa menit kemudian, Anna bergabung dengan mereka, dengan penampilan yang lebih segar dan fresh. Sampai – sampai membuat Abhi terkesan dengan penampilan Mamanya dengan blouse berwarna hitam dan celana kain terlebih, rambut Anna yang biasanya tergerai, ia gulung dengan sangat rapi; mirip gaya rambut seorang pegawai bank. "Mama cantik." Anna tersipu mendengar pujian dari putranya. "Semua wanita itu cantik, Mas." "Tapi kali ini jauh lebih cantik." Anna terkekeh pelan dan mengambil duduk, lalu pandangan Anna tertuju pada Hana. "Kakak bareng Hilya kan?" "Heem." Masih mode merajuk, karena Anna tidak berbicara mengenai rencananya bekerja kepada Hana. Sehingga putrinya itu merajuk dan mogok bicara dengannya."Ya sudah hati – hati di jalan jangan ngebut naik sepedanya." "Heem." "Nduk, nggak boleh gitu sama Mamamu." Tegur Risma halus. "Habis Mama jengkelin, Mbah. Kerja nggak bilang - bilang. Mana kerjanya jauh lagi." "Kan Mama kamu kerja buat kamu buat Mas kamu." "Iya, tapi kok pilih gitu kerjanya yang jauh. Padahal deket sini juga banyak," "Rezeki Mama mungkin di sana, Dek. Sudah ya jangan ngambek? Nanti kita jalan deh ke Mall. Kamu boleh beli apa aja asal masuk akal harganya." "Beneran Mas? Memangnya ada uang?" "Ada. Mas ada tabungan kok." ** Sepulang Hana sekolah, remaja itu langsung menodong Abhi. Lebih tepatnya menodong ponsel Abhi. Entah apa yang dilakukan pada ponselnya. Hingga waktu bergulir, beberapa pria juga wanita berjaket hijau datang ke rumah dengan berbagai bungkusan plastik super besar. "Mas Abhi bayar." Abhi mengangguk pasrah, ketika harus merogoh beberapa lembar uang dari dalam dompetnya asal membuat adiknya bahagia; untung saja tadi dia sempat menarik uang di mesin ATM. Masalahnya, adiknya memesan begitu banyak makanan fastfood yang tentu tidak akan cukup di tampung Hana, Abhi dan juga Risma. "Dek ini banyak banget loh. Kamu bisa ngabisinnya?" Di ruang tamu sudah ada berbagai makanan dari beberapa restoran fastfood dalam jumlah besar. "Siapa yang mau ngabisin makanan sebanyak ini, Nduk?" "Ada kok, Mbah. Tenang saja." Tak lama, segerombolan anak datang, membuat senyum Hana mereka. "Jadi pesta Han?" Tanya salah seorang teman lelaki. "Jadi dong. Ayo masuk – masuk." "Hanjir! Banyak banget Han!" "Enak – enak lagi." "Sudah nggak sabar pengen makan." "Sudahlah, makan aja. Di traktir Mas aku. Dia baik kan?" Ada sekitar lima belas anak menatap Abhi yang berdiri kikuk tak jauh dari mereka. "Makan aja. Nggak apa – apa. Pokoknya harus habis." "Yaaa, siap!" Ujar remaja – remaja itu kompak, dan entah kenapa membuat senyum Abhi mengembang. Terlebih ketika dia melihat adiknya bisa tertawa bersama teman - temannya.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD