Daniel memalingkan wajah sesaat dan memijit pelipisnya. Yang ini murni acting, sih, supaya dapat lekas terbebas dari apapun yang hendak dilontarkan Gina.
“Apa Gin?” tanya Daniel malas-malasan.
“Nanti siang kita masuk yang misa kedua, ya, bareng Papa. Aku kangen, sudah lama banget, kan? Mumpung aku juga lagi di Jakarta,” pinta Gina.
“Koko sudah misa, Sabtu kemarin,” kata Daniel singkat. Diam-diam dia bersyukur, tidak perlu membohongi adiknya untuk meloloskan diri dari kemungkinan menghadiri misa bersama papanya. Di luar dugaan, Gina terperangah.
“Sudah misa? Sabtu sore?” di telinga Daniel, pertanyaan ini seperti berbunyi, “Tumben, misa lagi. Ya sudah, nggak apa, yang penting, sudah pergi misa, kan?”
Duh, Daniel tidak tahu pasti, harus bereaksi bagaimana.
Tinggal bersama tante Ann di Singapura memang tak seketat bila tinggal bersama papanya. Tante Ann yang berbeda gereja dengannya itu, tak pernah menggedor pintunya di pagi hari untuk memaksanya agar berdoa pagi atau bersaat teduh. Tante Ann juga tak pernah memaksanya harus mengikuti misa pada waktu yang sama setiap minggunya. Tante Ann hanya mengingatkannya, agar tetap menjaga relasi dengan Tuhan. Malah, saat dia merasakan mengikuti misa mingguan hanyalah rutinitas tetapi hatinya kosong melompong semenjak kepergian sang Mama, tante Ann yang dia yakin turut merasakannya, tak seketika mencecar atau memaksanya harus beribadah saat itu juga. Tante Ann terkesan memberinya waktu untuk memulihkan luka hatinya.
“Doa itu, adalah caranya kita untuk menjalin relasi dengan Tuhan, Dan. Kita yang memerlukan. Bukan karena dipaksa-paksa atau diharuskan. Tante tahu, jauh di lubuk hatimu, kamu kehilangan dan sangat menyesali kepergian Mamamu. Jangan halangi perjalanan Mamamu menghadapNya, Daniel sayang. Tante tahu kamu perlu waktu. Kamu tahu, Tante selalu punya telinga dan waktu buat mendengarkanmu. Kalau kamu perlu konselorpun, Tante akan kenalkan pada seseorang yang tante yakin, dapat mengarahkanmu. Dan, jangan siksa hati kamu. Kamu perlu waktu, Tante paham. Tapi kamu harus selalu ingat, Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu, untuk mendatangkan kebaikan. Jaga hati kamu, jangan terus-terusan menjauh, melarikan diri dari kasihNya,” ucap Tante Ann di hari kelulusan Daniel dari College.
Seumur-umur mengenal sang tante, bagi Daniel itulah ucapan paling panjang dan paling nggak kepikir olehnya, bahkan terdengar seperti orang asing dari planet antah berantah. Begitu dalam, jauh dari kemauannya, dan .. ah! Mirip wejangan papanya! Ingin benar dia berkata, “Dasar kakak adik!” tetapi tentu saja waktu serta kondisinya sangat tidak tepat.
Daniel berintrospeksi setelahnya. Nggak, dia nggak bisa membenci atau marah pada tante Ann. Dibujuknya dirinya, berkata bahwa sudah sewajarnya tante Ann seperti itu, setelah mendapati dirinya bukan hanya bolong-bolong mengikuti misa mingguan, tetapi tak pernah berdoa, satu setengah tahun setelah kepergian sang Mama. Ya, delapan belas bulan, telah cukup bagi Daniel untuk menyangkal, meratap dan paham, keadaan nggak akan berubah. Mamanya tetap takkan kembali ke dunia fana. Tidak akan pernah ada kesempatan baginya untuk meminta maaf atas semua torehan luka yang pernah digoresnya di hati Mamanya. Dan Daniel memilih lari sejauh mungkin. Bila berkomunikasi dengan manusia yang bisa kita lihat, sentuh dan dengar secara langsung saja tak berjawab bak patung, mana mungkin Daniel sanggup berkomunikasi lagi dengan Tuhan? Tuhan yang tak pernah dilihatnya secara fisik, tak pernah didengarnya secara langsung, Tuhan yang dianggapnya tak peduli seruan hati dan penyesalannya.
Daniel terheran, selain perihal perasaan bersalahnya kepada sang Mama, apa pun dapat dituturkannya kepada Tante Ann. Tapi tidak, untuk semua rasa sakit yang ditanggungnya lantaran kepergian Mamanya yang mendadak. Pun rasa kehilangan momen yang pasti takkan pernah kembali. Tidak. Daniel memilih menempatkannya di sebuah kotak gelap, menguncinya rapat dan membuang anak kuncinya ke dasar laut. Dia lupa penyertaaan Tuhan di setiap musim dalam hidupnya. Dia enggan mengakui, Tuhan pula yang mengijinkan dia lulus dengan prestasi baik dari Secondary School dan College, meski dia telah menjauh dari kasih Tuhan, setengah tahun sebelum menempuh pendidikan di College. Daniel juga tak mau peduli, atas ijin Tuhan pula, dia berhasil meraih beasiswanya untuk program sarjana IT.
“Apa sih, kita ini kalau tanpa kasih Tuhan? Kita semua hanya debu, debu di alas kakiNya,” begitu yang diucapkan Tante Ann suatu kali.
Tante Ann rupanya lelah melihat keponakannya enggan bangkit dari keterpurukannya. Dua setengah tahun membenamkan diri dalam luka, dan Tante Ann tentu merasa bertanggung jawab, atas keponakannya itu. Memikirkannya, yang terbayang oleh Daniel adalah sang papa memarahi Tante Ann habis-habisan, dianggap tak mampu membimbing dan menasehatinya.
“Aku minta maaf, sudah bikin Tante resah. Tapi aku nggak apa-apa. Buktinya, sekolahku baik-baik saja, kan? Cewek-cewek juga nggak ada yang ngacir, kok, kalau kudekati. Ah, mereka malah pada cari perhatian, kan, sampai hobby banget kirim makanan kemari padahal sikapku ke mereka biasa-biasa saja. Semuanya baik-baik saja, Tante. Percaya sama aku, ya. Aku cuma perlu sedikit waktu lagi,” Danielpun memeluk Tante Ann dan menjanjikan sesuatu yang di kemudian hari benar-benar dilakukannya.
Beberapa bulan seetelah masa perkuliahan dimulai, Daniel mulai rutin mengikuti misa mingguan kembali, meski hatinya tetap hampa dan perasaannya hambar. Dia juga berdoa secara pribadi setiap harinya, untuk semua keperluannya. Meski semua sepertinya berbeda. Semacam auto pilot saja. Bangun tidur berdoa, mau tidur berdoa, setiap pagi membaca kitab suci, sebelum dan sesudah makan berdoa, mau melakukan sesuatu berdoa, sesekali membaca renungan harian atau mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas di gereja.
Tetapi entah mengapa, Daniel merasa doa dan komunikasinya dengan Tuhan hanya sampai ke langit-langit kamarnya, bukan kepada Tuhan. Satu-satunya sikap yang dipegangnya teguh, adalah tidak membiarkan tante kesayangannya dilanda keresahan lagi gara-gara dia. Dalam keadaan seperti itu, apa yang dapat dilakukannya selain menunjukkan bahwa dia tetap gembira, bersemangat, tidak merusak diri dalam pergaulan kurang sehat, dan ya, mencapai ukuran dunia yang lainnya, dalam hal ini prestasi akademiknya yang mengagumkan?
“Iya, Gina, kemarin Koko sudah misa. Sekarang Koko mau tidur dulu ya, jangan dibangunin buat sarapan. Koko mau pasang alarm saja, mau bangun agak siang,” urai Daniel.
Gina terdiam.
“Ko, nggak kangen memangnya, doa pagi sama-sama lagi? Boleh ditahan nggak, ngantuknya? Paling cuma sebentar, kan? Doa saja deh, nggak perlu dilanjutin sharing. Nanti kalau Ko Daniel di Tucson, makin nggak mungkin lagi doa pagi bareng,” pinta Gina penuh harap.
Daniel terkesiap. Dia sampai gentar memandang ke bola mata Gina. Mendadak saja, dirasanya yang barusan bicara adalah mendiang Mamanya. Mata Gina memang duplikasi sempurna mata jeli mamanya.
“Eng.., lain kali saja, ya,” ucap Daniel, lalu cepat mendekati daun pintu kamarnya, memutar handel pintu dan bergegas masuk ke dalam. Dia takut hatinya luluh. Dia tak tahu, di balik punggungnya, Gina menatapnya dengan pandangan kecewa.
...
“Kuliah di Tucson? Jauh juga, ya,” gumaman pak Pedro sukses menghantarkan pikiran Daniel kembali ke ruang tamu kediaman Ferlita. Gumaman yang seperti mengukur dan menakar sejauh mana kedekatan Daniel dengan Ferlita. Dalam hal ini, sejauh mana perasaan telah bermain, di antara mereka.
“Diminum, Dan,” Ferlita meletakkan cangkir teh dan piring kue di atas meja tamu.
Perhatian pak Pedro beralih pada keponakannya.
“Fer, katanya, Daniel mau mengajak kamu makan di Dintaifung, terus nonton film, ya? Kalian pulang jam berapa nanti?” tanya Pak Pedro pada Ferlita.
Ferlita mengernyitkan dahi dan memandang Daniel dengan jenis tatapan yang menyiratkan tanya, “Serius elo berani bilang mau ngajak gue nonton tanpa bilang ke gue dulu?” * * LL * *