“Hai, Eli Sayang, lagi sibuk?” sapa Edward tanpa menyembunyikan kerinduan di matanya. Disebutnya panggilan sayang untuk Ferlita.
“Sedikit. Bang Edo sendiri gimana kerjaannya di sana? Lancar? Semua masih on schedule Bang?” Ferlita balik bertanya, sembari menahan nyeri yang sialnya, sekarang terasa lebih konstan, sampai-sampai menjalarkan rasa pusing ke kepalanya. Dahinya berkerut begitu saja, dan itu tak lepas dari perhatian Edward.
“So far so good. Eli, Sayang, kamu kesakitan lagi, ya? Sudah konsul lagi sama dokter yang direferensikan Romi? Kamu dikasih opsi apa? Aku usahakan percepat kepulanganku saja, ya. Sementara aku belum balik ke Jakarta, boleh nggak aku minta tolong ke kamu? Eli, kamu delegasikan dong, pekerjaan yang bisa kamu percayakan ke asisten-asistenmu. Jangan terlalu capek. Jangan terlalu stress. Please?” berondong Edward dalam cemas yang tak tersembunyikan.
Ferlita hanya mengangguk samar.
Ia mencoba untuk mengusir rasa gamangnya. Mana mungkin dia sanggup mengungkapkan ke Edward, bahwa dirinya masih saja menuda menemui sang Dokter? Dan mana mungkin dia sanggup mengatakan bahwa dia telah mencari begitu banyak informasi di dunia maya, mengenai penyakit yang diidapnya? Dan sungguh tak mungkin pula kalau dia harus mengatakan sudah sempat bertanya kepada beberapa penyintas kanker sejenis di komunitas online, hingga mengunjungi dan meninggalkan pertanyaan di situs kesehatan?
Hasil dari dia merangkum kisah para penyintas kanker, jawaban-jawaban yang diperolehnya dari pertanyaan di situs dokter daring dan berbagai situs kesehatan lainnya, Ferlita langsung mencocokkan sendiri gejala yang dialaminya dengan tindakan yang mungkin akan disarankan Dokter.
‘Aku tahu opsi yang bakal disodorkan ke aku nantinya. Yang pertama, pembedahan, dilanjutkan dengan kemoterapi ataupun radiasi,’ batinnya gundah.
Ah, baru membayangkannya saja dirinya sudah gentar luar biasa. Reaksi yang wajar. Cewek mana yang mau, bagian indah dari tubuhnya itu dibelek oleh pisau bedah lantas diangkat? Ya oke, akan ada pilihan untuk direkonstruksi setelahnya. Namun tetap saja, itu bukan pilihan mudah bagi Ferlita, yang segera memilih memperbaiki gaya hidup, pola makan serta mengkonsumsi obat herbal segala.
Jika diingat-ingat lagi, terang saja Ferlita menyesal, awalnya dia mengabaikan kemunculan benjolan itu ketika masih samar dan tidak sakit. Akibatnya, sewaktu dia merasa kesibukannya terganggu dan memeriksakannya, tahu-tahu dia divonis sudah mengidap kanker p******a stadium 2A! Semenjak itu pula dia dilanda resah, ingin mencari second opinion dari Dokter Onkologi lainnya, termasuk menelusuri berbagai informasi di dunia maya, termasuk melakukan konsultasi online lalu menyimpulkan sendiri. Kekalutan sudah membuatnya lupa, tidak mungkin seorang dokter dapat menentukan apa penyakitnya hanya dengan konsultasi secara online, tanpa melakukan pemeriksaaan.
Ferlita menggeleng samar, mengenang semua itu.
“Iya Bang. Aku cuma lagi fokus sama acara pertunangan klien yang kapan hari aku ceritain itu lho Bang. Aku mau memastikan semua berjalan sesuai kemauannya. Empat hari lagi pelaksanaannya. Setelah itu, aku langsung konsul sama dokter dan kayanya mau istirahat dulu, ngantor dari apartemen saja buat sementara waktu,” ungkap Ferlita.
Edward mengingat-ingat siapa yang dimaksud Ferlita, kekasihnya. Lantas dia manggut-manggut, mengenang sejumlah keunikan yang disebut Ferlita tentang si klien.
“Oh, yang itu? Iya, sebaiknya setelah itu, percayakan event lain ke asisten-asistenmu, Eli. Fokus sama kesehatanmu dulu,” saran Edward.
“He eh, Bang,” sahut Ferlita.
“Eli, sampai sekarang, kamu belum cerita soal sakitmu ke Ray?” tanya Edward kemudian.
Ferlita menggeleng lemah menyahutinya. Jangankan kepada Ray, Ke Edward juga dia nggak bakal mau cerita, kalau saja tidak terdesak. Pasalnya, ketika dirinya hendak menjalani pet scan di rumah sakit kanker di Jakarta Barat itu, dia malah ketemu Romeo, yang tengah menemui seniornya dulu. Siapa sangka, seniornya Romeo itu adalah dokter yang menanganinya? Memangnya Ferlita bisa menghindar dari pertanyaan Romeo? Dan mana mungkin, Romeo tak menyarankannya, s***h, mendesaknya agar berterus terang pada Edward? Sebagai seorang dokter, tentunya Romeo juga paham, yang diperlukan seseorang ketika mengetahui dirinya sakit bukan sekadar obat-obatan dan tindakan dokter, tetapi juga doa dan semangat untuk sembuh, serta dukungan orang-orang terdekat.
Ferlita terkenang kegamangannya sebelum memutuskan bercerita pada Edward perihal sakit yang diidapnya. Ketika akhirnya dia memutuskan untuk mengambil resiko bahwa kemungkinan besar Edward akan membiarkannya berjuang sendiri menghadapi penyakitnya, bahkan bisa jadi memutuskan hubungan mereka, dia sampai tidak bisa tidur semalaman.
Ternyata perkiraannya keliru. Edward sama sekali tidak pergi dari sisinya. Cowok tersayang itu langsung memeluknya dan mengapresiasi keterus terangannya. Semenjak itu pula, Edward justru lebih memerhatikan Ferlita. Edward menyuruh asisten pribadinya, agar secara rutin menanyakan Ferlita hendak makan apa lalu memesankan makanan sehat untuk Ferlita. Dia mengirimkan sejumlah supplemen yang pastinya telah dikonsultasikannya dengan Romeo terlebih dulu. Edward juga bertambah cerewet, kerap mengingatkan dirinya untuk mengurangi kesibukannya.
“Aku nggak mau dia cemas berlebihan terus ikut-ikutan mikirin yang di sini, Bang. Setahuku, dia lagi sibuk banget sekarang ini. Yang ada, nanti fokus perhatiannya terpecah,” terang Ferlita.
Edward memejamkan mata sesaat. Kalau saja bisa, ingin dia bertukar tempat, merasakan dan menanggung semua galau dan kegelisahan Ferlita saat ini.
Miris hati Ferlita menyaksikannya.
“Bang Edo, I’m ok. Jangan sampai hal ini mengganggu konsentrasi Bang Edo, ya?” pinta Ferlita tulus.
Edward berusaha menunjukkan ketenangannya. Ia tersenyum dengan matanya.
“Eli?” panggil Edward kemudian.
“Ya?” sahut Ferlita.
“I’ll always beside you, Eli. Kalau misalnya ada tindakan yang harus dilakukan, jangan ditunda-tunda ya Sayang. Sementara aku belum datang, minta tolong Tara atau siapa, buat menemani kamu, ya,” pinta Edward yang cepat-cepat diangguki Ferlita, meski dengan setengah hati.
“Oh, ya, ngomong-ngomong, klien-mu yang ajaib itu venue-nya di mana?” tanya Edward kemudian.
“Restaurant Small Paradise, Bang. Kenapa?” tanya Ferlita.
“Enggak apa. Kalau aku bisa pulang lebih awal, jadi bisa jemput kamu di sana. Pasti sampai malam, kan? Dan aku nggak mau kamu nyetir sendiri malam begitu,” tegas Edward.
Ferlita mencoba tersenyum demi menenteramkan perasaan Edward.
Katanya, “Jangan maksain diri, lah Bang. Yang penting pekerjaan bang Edo di sana lancar. Set up dan staffing proyek baru mana boleh buru-buru? Lagian, ada anak-anak, kok. Salah satu dari mereka pasti nganterin aku pulang. Aku pakai tim rada banyak, buat pesta ini, buat back up aja, buat mengurangi kemungkinan salah atau ada yang sakit di hari h. Nggak tahu kenapa, tumben kali ini aku jauh lebih deg-degan ketimbang biasanya.”
Di seberang sana, Edward manggut maklum.
“Ngerti. Aku ngerti sekali, Eli. Kamu pasti jadi orang yang paling deg-degan dalam setiap event yang kamu tangani, ketimbang yang bersangkutan. Tapi jangan terlalu stress, ya?” pinta Edward sungguh-sungguh.
“He eh, bang Edo juga. Aku lanjut kerja dulu, ya sekarang?” kata Ferlita.
“Oke, Sayang. Kalau ada apa-apa, langsung kasih tahu aku ya. Take care. Love you, Sayang,” ucap Edward kemudian.
**
* * Lucy Liestiyo * *