Hani tetap memasang wajah jemu. Dialihkannya pandangan ke langit biru, membidik sekumpulan burung yang terbang berkelompok. Semangatnya terbakar. Enggan melewatkan momen indah ini, jemarinya lincah mengeset kameranya ke ‘continuous shoot dengan shutter speed 1/400’. Meski tanpa tripod, dia cukup puas dengan hasilnya. Kawanan burung berbulu hitam itu seakan berhenti sesaat, melawan gravitasi bumi. Dan.., ouw! Cerahnya langit serta merahnya bangunan kampus yang tertangkap kamera menambah kaya paduan warna.
Hanipun terhibur. Seolah tak kenal rasa puas, Hani terus membidik kawanan burung yang terbang menjauh itu berkali-kali dengan kamera di tangannya. Pendar di matanya menyiratkan kegembiraannya. Saat jeda memotret, dicoleknya lengan Ferlita. Gadis itu menoleh.
“Ssst, sebentar kok. Siapa juga yang mau belajar? Aku mau googling, cari tahu mall terdekat yang searah sama apartemen kita. Siapa tahu ada barang unik yang bisa aku beli di sana,” ucap Ferlita kalem.
Hani tak bereaksi. Dia hanya melirik satu dua detik lantas membiarkan Ferlita melanjutkan kegiatannya. Demi mengundang kesabaran, diceknya semua hasil fotonya tadi demi mengundang kesabaran selagi menanti Ferlita selesai dengan pencariannya.
*
Baru kali ini Ferlita betah duduk di balkon sampai jauh malam. Hani yang sudah mulai jenuh, memilih beranjak ke kamar tidur. Gadis ekspresif itu meninggalkan Ferlita sendirian. Sementara Ferlita tetap bertahan di balkon, seakan tengah mengagumi indahnya pemandangan lampu taman di bawah sana. Padahal, sejatinya tidak. Dia sedang berjuang meredakan debar yang semakin kencang di dadanya. Dari balkon di lantai 11 ini, Ferlita berusaha membujuk hatinya agar tenang. Ferlita menikmati angin malam yang berhembus menerpa wajahnya. Hatinya mulai dilanda risau. Waktu rasanya sangatlah lamban bergerak. Dua cangkir kopi telah dia habiskan. Bukan semata untuk mengusir rasa kantuk, tetapi juga demi membunuh waktu.
Ditatapnya layar laptopnya lantas menarik napas dengan kecewa, melihat skype Daniel masih saja offline. Untuk mengaktifkan telepon genggamnya, dia enggan. Lantaran dia selalu menonaktifkan nomornya setiap kali usai menghubungi Ray dan mengabarkan keadaannya sekaligus mencari tahu kabar Ray serta Pak pedro. Semua itu dilakukan Ferlita demi memuluskan rencananya. Bola mata Ferlita berputar gelisah mendapati belum ada perubahan berarti. Padahal, jam pada komputer jinjingnya telah menunjukkan pukul 23.30 waktu setempat, sekarang ini.
Sekali lagi Ferlita menghela napas panjang. Kali ini dia mengembuskan napas dengan amat berat. Terbayang kejutan yang dipersiapkannya bakalan sia-sia. Takkan pernah tereksekusi dengan baik sesuai rencananya.
‘Niatnya si mau bikin kejutan, eh malahan terkejut sendiri. Iwww!’ pikir Ferlita, mencibir dirinya sendiri.
Daripada membiarkan gundah gulana kian menggelora, diapun mengendap masuk ke dalam unit flatnya, agar Hani tidak terjaga. Langsung dibukanya kulkas, mengambil kue tart dan lilin yang disimpannya sepulang dari mall tadi. Diam-diam, Ferlita bersyukur karena mendadak teman Hani mengajak kopi darat. Maka, mereka berpisah jalan sepulang dari kampus. Alhasil, Hani baru kembali ke flat satu jam lalu dan belum sempat melihat kue tart tersebut apalagi melontarkan banyak pertanyaan. Jelaslah, Hani yang ‘ramai’ itupun sebetulnya punya banyak cerita seputar kopi daratnya yang hendak dituturkan ke Ferlita, namun untuk sementara tertunda karena rasa letihnya setelah seharian 'beredar' di luar.
Duduk lagi di balkon dan menunggu waktu bergulir terasa lebih menyiksa bagi Ferlita. Kue tart sudah siap di meja. Lilinpun siap dinyalakan. Waktu telah menunjukkan pukul 23.49 sekarang. Fiuuuh... Ferlita tak tahan lagi. Sebentar lagi pergantian hari, sementara skype Daniel belum juga online. Perasaannya sudah campur aduk dan ngelantur kemana-mana. Sejumlah pertanyaan berbalut curiga menyesaki dadanya.
Apakah Daniel sengaja melewatkan kejap pergantian usianya dengan teman-temannya dengan hang out bersama? Atau jangan-jangan, dia malah sedang menghabiskan waktu bersama someone special? Jadi boro-boro ingat untuk mengaktifkan skype-nya. Mungkin saja dia tidak perduli sudah berapa lama Ferlita menghilang dengan sengaja? Lima minggu lebih di sini, Ferlita sudah melihat betapa cantik, menarik dan cukup agresifnya teman-teman cewek di kampus. Pasti perkara sulit buat Daniel untuk menjaga hati baginya. Apalagi, el-de-er-an mereka ini sejatinya juga banyak tantangannya. Mereka bahkan baru memikirkan mereka berdua, belum mempertimbangkan pendapat masing-masing keluarga mereka.
“Bisa jadi, kamu telah punya tambatan hati yang sepadan denganmu di sini. Dan, benar begitu?” desah Ferlita pelan.
Ferlita mendadak dilanda serangan panik. Dag dig dug, kecewa, kangen dan berharap-harap cemas. Ah, dia enggan membiarkan sebuah momen indah berlalu. Handphone, harapan terakhirnya!
Sekalipun barangkali dia akan sakit hati lantaran panggilan teleponnya nanti bakal di-reject atau diabaikan, dia berpikir memang sebaiknya mencoba saja dulu. Dalam bayangannya, Daniel mungkin sedang berduaan dengan seorang gadis, atau malahan Cewek bule itu yang menjawab teleponnya dengan galak. Ah, banyak kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Tapi setidaknya, rasa penasarannya bakal terjawab toh! Ketimbang dia berdiam diri tanpa melakukan sesuatu! Segenap pemikiran ini menyesaki kepala Ferlita.
Tangkas, dipencetnya angka 1 pada telepon genggamnya dan berdoa dalam hati agar Daniel belum tidur dan segera mengangkat teleponnya.
Tut... tut... tut... fiuuh... satu kali, dua kali, tiga kali terdengar nada tunggu dan jantung Ferlita berdegup kencang, memelototi jam digital yang telah bergerak ke angka 23.52.
Dengan gemas campur panik, ditekannya tombol redial. Kelihatannya, kali ini dia harus berdoa lebih serius agar Daniel segera menjawab panggilan teleponnya. Begitu seriusnya, Ferlita sampai memejamkan mata. Jadilah dia terkaget-kaget mendapati Hani ternyata sudah duduk di sampingnya sambil menatap bingung ulahnya. Entah sudah berapa lama Hani di situ.
“Hello...,” sebuah suara berat terdengar dari seberang sana. Nyaris jantung Ferlita mau lompat saking senangnya. Ini suara yang dirindukannya!
Antara girang dan iseng, ditulisnya kata ‘Daniel’ dan ‘online skype’ di secarik kertas yang lantas disodorkan bersama handphone-nya pada Hani. Hmmm..., dia juga perlu waktu untuk mengimbangi debaran di dadanya, toh?
“Hello, can i speak to Mr Daniel, please?” cepat tanggap, Hani bertanya. Suara mengantuknya terdengar berat di telinga Daniel.
Ferlita langsung menunjuk-nunjuk layar laptop, memberi kode agar Hani segera meminta Daniel online di skype. Hani mengangguk tanpa bertanya.
“Who is speaking?” tanya Daniel dengan suara mengantuk. Nyawanya terasa belum sepenuhnya terkumpul.
“It’s not important who is calling you. But an Indonesian girl ask you to turn on your skype right now. She is waiting for you. Bye. Thankyou,” berondong Hani cepat diakhiri menutup telepon membuahkan decak dan acungan jempol Ferlita.
“Astaga. Dia bisa kaget, Hani! Tapi kamu jempolan banget. Thanks,” kata Ferlita dengan terbata-bata.
Hani tersenyum simpul.
“Hm..., Cowoknya ultah, ya? Pantes ngotot bener nolak pergi bareng, tadi. So sweet..., romantisnya teman satu ini! He he he.... besok deh, ya, interogasinya, sekarang aku udah ngantuk berat! By the way, kira-kira Cowokmu di Jakarta sawan nggak ya, terima telepon hari gini, pakai bahasa Inggris, pula! Kamu sih, bikin gugup, akhirnya yang keluar bahasa Inggris yang belepotan begitu deh! Kayaknya dia bangun tidur tadi, suaranya serak. Selamat pacaran ya..., aku ogah ganggu,” goda Hani sambil berlari ke dalam. Hani siap ke alam mimpi tanpa menyadari, awal dari kejutan buat kekasih Ferlita telah dilakukannya dengan indah.
Sementara di kamarnya, Daniel yang baru pulas tidur sepuluh menit, bingung berbaur kesal. Sudah dua hari ini, migrain-nya memang sering kumat menjelang malam. Hal yang menghalanginya tidur larut, juga membuat kawan-kawannya kecewa karena ‘surprise party’ yang mereka siapkan menjadi sia-sia.
Hampir saja Daniel melanjutkan lagi tidurnya, kalau saja perkataan ‘Indonesian Girl’ tidak terngiang-ngiang di telinganya, membuat penasaran. Diceknya nomor pemanggil yang tertera di layar ponselnya dan menyadari itu adalah nomor lokal. Ya, karena mempertimbangkan bakal berada cukup lama disini, Ferlita sengaja menggunakan nomor lokal. Dicobanya mencerna kata-kata yang didengarnya melalui telepon barusan. Dengan malas campur cemas, disambarnya laptopnya dan segera menyalakan skype-nya.
Dalam kalut, Daniel berpikir, siapa tahu memang terjadi sesuatu pada Ferlita. Pasalnya, sudah satu setengah bulan cewek itu menghilang tanpa kabar. Terus tahu-tahu sekarang ada telepon misterius pula. * * Lucy Liestiyo * *