“Beres! Aku sudah sering lihat teman-teman Cowok dari kakak dan adikku juga musti melalui uji kelayakan dulu sih, dari Papaku, sebelum diperbolehkan mengajak mereka keluar rumah. Jadi, ya, pertanyaan dan bocoran jawabannya sudah ada di sini semua. Aku yakin, lulus dengan grade A, menghadapi Om kamu,” Daniel mengetuk dahinya dengan telunjuk dan tertawa lepas. Tawa yang sanggup menghadirkan rasa lega atas dua hal berbeda sekaligus, di benak Ferlita. Lega lantaran Daniel luput bertanya tentang Om Pedronya, lega mendapatkan kesan bahwa hubungan Daniel dengan Papanya tidak seburuk perkiraannya. Ya, intonasi suara Daniel saat menyebut Papanya barusan biasa banget, tuh.
“Jangan terlalu pede,” ucap Ferlita pelan, bermaksud mengintimidasi.
Daniel tersenyum lebar.
“Try me! Lihat saja besok. Kamu pasti terkagum, bagaimana seorang Daniel yang belum pernah mempraktekkan teori-teori yang didapatnya dari pengamatan atas usaha para calon pacar saudara-saudaranya, sukses menaklukkan hati Om kamu,” kata Daniel yakin.
Ferlita kontan mencibir menyadari dusta Daniel.
“Ngibul banget! Pasti sudah keseringan praktek! Bisa jadi sudah nulis buku ‘100 tips menaklukan orangtua gebetan pada kencan pertama’. Halah, Dan!” sambar Ferlita sembari menggeleng-gelengkan kepala dan berdecak.
Daniel langsung cengar-cengir.
“Asyiik! Jadi, kamu gebetanku, ya? Besok kita kencan pertama? Eh? Bukannya hari ini sudah boleh dibilang kencan, ya?” goda Daniel telak.
Jleb!
“Ya elah, salah, lagi!” Ferlita setengah bergumam. Beruntung, Daniel tidak mendengarnya.
Sontak, wajah Ferlita memerah, seolah aliran darah begitu deras dan menyemprot dalam tempo singkat, ke satu bagian, parasnya! Diam-diam Ferlita menyesali celetukannya barusan.
“Come on, Ferlita, belum genap 24 jam kamu mengenal Daniel, dan kamu sudah mengirim isyarat, bahwa kamu berminat padanya! Adakah yang lebih memalukan dari itu? Kelihatan banget lho, ngarep dot com! Ngomong-ngomong, yang kelamaan tinggal di negara yang serba terbuka itu, Daniel atau kamu, sebetulnya?” suara-suara di kepalanya bagai mengintimidasi Ferlita.
“Sori, Fei! Nggak usah tegang begitu, dong! Duh, rasanya aku sudah nggak sabar nunggu besok. Aku datang jam setengah sebelas, ya?” Daniel berusaha mencairkan suasana yang mendadak agak canggung.
“Nggak kepagian?” tanya Ferlita.
Daniel menggeleng.
“Kan, aku nggak tahu, sesi uji kelayakannya berapa lama. Ya, kalau sesi pertama gagal, kan masih sempat minta diulang, Fei,” ucap Daniel dengan wajah disetel sepolos bayi.
Ferlita tertawa mengejek, “Mulai nggak percaya diri, dia! Eh, Dan, itu, pak satpam minta tanda pengenal,” perkataan Ferlita membuat Daniel lemas seketika.
‘Ih, cepat benar sih, tahu-tahu sudah sampai di kompleks perumahan tempat tinggal Ferlita. Macet, kalian pada kemana semua? Bilang hadir, hadir, hadir, sama aku! Dukung kali, pejuang cinta yang satu ini!’ keluh Daniel dalam diam.
*
“Jadi, kuliahmu sudah selesai? Lalu sekarang, mau kerja di Singapura atau..?” tanya Pak Pedro dengan pandang menyelidik pada pemuda yang duduk di depannya. Tadi, Daniel sudah menceritakan bahwa dirinya adalah teman Romeo yang merupakan temannya Ray. Sudah pasti, tanpa menyebut-nyebut nama besar papanya. Dalam hal ini, alangkah naif dirinya yang tengah dibutakan oleh cinta pada pandangan pertama terhadap Ferlita. Tampaknya dia lupa, seorang Pedro Arisatya tentunya mempunyai intuisi dan bank data yang bisa dipanggilnya setiap saat.
Ferlita yang baru muncul dan sengaja membawakan sendiri minuman serta sepiring cookies buat Daniel, sontak berdebar tanpa dikehendakinya. Ah, mendadak dia merasa, jawaban Daniel penting.
‘Penting.. untuk.. aku? Eh?’
Baru memikirkannya saja Ferlita sudah tersapa rasa malu.
“Saya sedang menunggu kepastian untuk mendapatkan beasiswa program master di kampus lain, Om. Tapi, sekiranya melesetpun, memang saya sudah pasti akan kuliah di sana. Eng.., dibiayai sama Papa saya,” cetus Daniel dengan berat hati.
Betapa anehnya. Ini semestinya jawaban standar, yang biasanya dengan yakin diucapkannya, pada siapapun yang menanyakan rencananya setelah meraih gelar sarjananya. Sengaja kuliah lagi, memperlambat ‘keharusan’ dirinya kembali ke Jakarta. Sengaja memilih tempat yang lebih jauh, supaya ada alasan untuk tidak sesering mungkin pulang ke Jakarta. Dan juga, sengaja lagi, sudah ancang-ancang plan B, kalau tidak dapat beasiswa baik sebagian maupun penuh, yang mencakup biaya akomodasi segala, dia sudah berniat mau mematok angka setinggi-tingginya untuk disodorkan ke sang Papa. Terus, kalau perlu, belajarnya santai saja, tidak usah serius, biar bisa agak lama lulusnya. Kalau bisa, sekalian bikin papanya senewen dan memarahinya, kelihatannya bakal lebih nikmat, deh bagi Daniel.
Tapi itu dulu, walau nggak dulu-dulu amat. Tepatnya sewaktu datang ke rumah Romeo di hari Jumat malam, dua hari lalu. Ya, sebelum ketemu Ferlita yang mencuri hatinya di pesta kelulusan Edward.
Tapi sekarang? Kenapa rasanya begitu berat baginya? Jarak Jakarta-Singapura saja sudah terasa jauh, apalagi Jakarta-Tucson! Ah, andai masih ada opsi lain! Baru memikirkannya tadi malam saja, sudah sukses membuatnya sulit memejamkan mata hingga pagi menjelang.
...
Di puncak kegamangannya, dia nyaris mengetuk pintu kamar papanya, bermaksud mengatakan bahwa dia memutuskan mau membatalkan rencananya. Lalu mengambil program master di Singapura saja. Atau di Jakarta, sekalian. Atau menyatakan keinginannya untuk mencoba bekerja dulu di kantor papanya barang satu tahun, lantas tahun depannya baru mengambil program tersebut. Tetapi, langkahnya terhenti oleh sebuah sapaan.
“Ko Daniel? Ngapain, Ko? Ada perlu sama Papa?” tanya Gina, adiknya.
Daniel terkaget. Dibalikkannya badannya, didapatinya sang adik berdiri tak jauh darinya. Dia tak tahu harus bersyukur atau menyesal, sebab niatnya terhalang. Dua detik kemudian, usai menimbang, dia menetapkan untuk bersyukur, sebab, membayangkan papanya memeluknya erat, menepuk-nepuk bahunya dengan keras, seolah telah menang darinya. Segala opsi yang dikemukakannya, beroleh jawaban IYA dari papanya, malah lebih mirip ucapan, “Bagus, bagus! Papa sudah perkirakan. Papa senang mendengarnya.” Huh, membayangkan sorot bangga dan lega sang papa padanya saja, Daniel ingin secepatnya lari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi perutnya.
‘Untung ada kamu, Gina. Love you banget, deh! My best sister ever!’ batin Daniel, tadi pagi.
“Eh. Kamu pagi banget, bangunnya Gin,” katanya.
Gina menyipitkan mata.
“Enggak juga, sih. Ko Daniel lupa, ya? Dulu, mama sering membangunkan kita jam lima pagi buat berdoa bersama, ya, biarpun setelah itu Ko Daniel langsung ngacir buat tidur lagi. Malah kadang-kadang, doanya sambil senderan ke tembok. Ini kan, sudah jam setengah lima. Aku mau bangunkan Papa,” kata Gina.
“Oh,” ucap Daniel yang langsung menguap berkali-kali. Yang ini jelas bukan acting, dia memang belum tidur semalaman gara-gara memikirkan kelanjutan nasib proyek ‘F’ nya.
“Tidur dulu, ya, Koko ngantuk banget. Dari tadi malam nggak bisa tidur. Sakit banget, nih, kepalanya,” berkata begitu, Daniel buru-buru ngeloyor menuju kamarnya sendiri.
“Ko Daniel!” seruan Gina menghentikan langkah Daniel, sejarak beberapa kotak ubin dari daun pintu kamarnya. * * Lucy Liestiyo * *