‘Eh? Kok jadi kepengen tahu soal Bang Edo? Se-charming itu, ya, si Babang Edo?’ batin Ferlita geli.
“Udah, udah, mereka berdua mah nggak bakalan bisa nyambung. Karakternya bertolak belakang banget. Dan gue nggak setuju, soalnya kalau mereka jadian, terus putus, yang ada nanti ada yang keluar dari gank kita. Cari pacar di tempat lain aja,” entah mengapa perkataan salah satu teman Edward ini menghadirkan kelegaan di benak Ferlita yang diam-diam menyimak sembari mengunyah makanannya.
Edward dan Leny tertawa bersamaan. Keduanya bangkit berdiri dan melakukan hi-five. Teman-teman mereka geleng-geleng kepala.
“Cerdas, ya, si Ario. Nah, coba kasih alasan cerdas, kenapa Jumat kemarin nggak nongol di rumah? Padahal gue masih ngarep, senggaknya ada yang datang,” tanya Edward.
“Tuh, jawab!” Leny mengompori.
“Ya elah, baca dong status gue. Gue sama si Roni, sama-sama terperangkap kerjaan, persiapan tender sampai nginep-nginep di kantor. Sabtu sore, baru balik. Kita berdua kan kuli, ya, Ron, bukan seperti mereka, yang begitu lahir udah jadi anak orang berada. Beda kasta, namanya juga rakyat jelata,” ungkap Ario soksinis.
“Apa sih, ngomongin kasta segala? Reseh! Gue sama Vera juga masih nguli,” sela Ivan. Ario langsung cengar-cengir.
“Sekarang, kita sudah boleh ngomongin bagian seriusnya, nggak? Semacam pesan dan kesan, gitu?” tanya Desi yang sebelumnya diam dan jadi pendengar yang baik saja.
“Caelaaaa..., pesan dan kesan. Diksinya..., aduhai..!” cela Leny dengan centil.
“Len, denger dulu! Entar nggak jadi dikenalin ke sepupunya Ivan, lho!” ancam Vera.
“Iya, kita batal saudaraan!” tambah Ivan.
“Apaaaa? Tercium aroma perjodohan di meja ini! Gue juga mau Ver, dicariin pacar,” celetuk Roni.
“Hih! Apa sih! Memangnya gue buka biro jodoh apa? Ya, kali!” Vera merengut.
Roni tergelak.
“Ya udah, Des, Vera nggak bisa diajak kompak. Pilih kasih. Tadi mau ngomong apa?” tanya Roni.
Desi yang lebih kalem dari kawan-kawannya itu tersenyum lalu berkata, “Gini, gue pengen, grup kita tetap keep in touch ya, biarpun masing-masing ada kesibukan dan nggak selalu berada di kota yang sama. Terus buat Edo, nggak usah terbeban dan terintimidasi pemikiran : aduh, apa kepemimpinan gue sebaik bokap gue? Nggak, nggak usah khawatir bahwa elo mungkin nggak semampu dan sehebat papa elo. Jalani aja prosesnya, seperti selama ini, kan? Jadi diri elo aja.”
“Bijak benar teman kita satu ini. Tapi gue setuju, baik soal grup kita maupun Edo,” tukas Leny.
“Thanks ya Desi, Leny, ya, kalian semua deh,” ucap Edward serius.
Hatinya bersyukur, mempunyai teman-teman yang suportif begini di samping keluarganya sendiri. Sejauh ini, telah dijalaninya proses kehidupan yang terbentang baginya, berusaha menikmati setiap tahap dalam hidup. Dari hari pertama sekolah, melalui masa remaja sewajarnya biarpun ada sedikit kebandelan, menuntut ilmu di negeri yang jauh, menyesuaikan diri dengan kebudayaan dan gaya hidup yang berbeda, dan berkesempatan pekerjaan paruh waktu di sebuah cafe, tiga tahun terakhir ini. Lebih dari cukup, kan? Sudah sepatutnya dia mempersiapkan diri menjelang babak baru dalam perjalanan hidupnya, berkarya di salah satu perusahaan papanya.
“Sama-sama, Bro. Ya, sejujurnya sih, kita semua nggak pernah ngeraguin elo. Si Sulung yang karakternya buaguzz, bertanggung jawab dan jadi panutan adiknya,” timpal Kenzo dengan mulut dimonyong-monyongkan.
“Halah. Perez! Gue mengendus aroma mau minta proyek, ke depannya,” sambar Leny, yang disambut derai tawa teman mereka yang lain.
“Ha ha ha! Elo kalau nuduh suka bener! Ngomong-ngomong, habis ini kalian pada kemana? Gue sama Dhika mau langsung ke Bandung, nengok bakal lokasi buat gerai ayam pelecing,” kata Kenzo setelah tawa mereka sedikit mereda. Diliriknya arlojinya.
“Wah, kalian berdua jadi bermitra? Keren! Sukses, ya, dan semoga akur terus,” kata Desi, yang diiyakan juga oleh Edward.
“Gue sama Vera mau nengok saudara jauhnya dia, yang baru ngelahirin. Len, ikut aja!” kata Ivan.
“Nggak ah, mau tidur siang! Sudah seminggu gue kurang tidur gara-gara ngejar tenggat waktu laporan,” tolak Leny yang ikut-ikutan melihat ke arlojinya.
Edward paham bahwa teman-temannya sudah punya acara masing-masing. Dia menawari apakah mereka mau tambah orderan sebelum meminta bill. Semua mengatakan sudah kekenyangan. Alhasil, mereka pun meninggalkan Edward yang sekali lagi mengirimkan pesan teks ke grup, mengatakan masih ada yang perlu diluruskannya dengan Daniel. Teman-temannya mahfum.
Meja yang semula begitu ramai, kini telah sepi. Menyadari Daniel dan Ferlita masih berada di restaurant yang sama, Edward segera melangkahkan kaki menuju ke meja mereka.
“Hai, Dan, Eli, sori ganggu kalian. Dan, aku cuma mau jelasin soal bercandaan teman-temanku tadi. Mereka cuma bercanda, biasa, namanya lama nggak ketemu, suka ingat-ingat kejadian lucu aja. Jangan jadi ganjalan, ya. Terutama soal.., Brenda,” kata Edward langsung. Ya, dia tak ingin berlama-lama di depan Daniel dan Ferlita. Dia maklum, perasaan dua orang yang tengah saling jatuh cinta, dan dia pantang mengganggu, walau... walau hatinya terusik.
“Oh, nggak masalah, Bang. Selow aja. Empat atau lima tahun ke depan, barangkali model bercandaanku juga macam begitu,” ucap Daniel dengan satir. Apalagi kalau bukan hendak menyindir, Edward sudah tua, jauuuuh di atas dirinya serta Ferlita? Dan itu tersampaikan secara sempurna. Mujur, Edward yang beberapa saat lalu bisa ikut cekakak-cekikik dengan teman-teman seumurnya, segera tersadar, memosisikan dirinya sebagai yang lebih matang di depan Daniel. Pantang membalas kesinisan yang tersirat dari kalimat Daniel. Dia tahu penyebab kesinisan Daniel. Apa lagi kalau bukan lantaran insecure dan menunjukkan betapa posesifnya dia terhadap Ferlita? Dia pernah seumuran Daniel, kok!
“Hm..., mungkin. Ya sudah, kalau begitu. Aku duluan. Have fun, ya, kalian berdua,” Edward sudah akan berlalu, tetapi Daniel mencegahnya dengan berkata, “Eh, Bang..”
“Ya?” sahut Edward. Menanti dengan sabar, apa yang akan dikatakan Daniel.
“Honestly, aku mau ngucapin terima kasih, ya, aku baru tahu kalau Bang Edo dulu pernah segitu suportifnya ke Brenda. Tahu sendiri kan, Brenda di rumah paling ogah nunjukkin kelemahan? Nggak pernah kepikir dia bisa down begitu,” ucap Daniel tulus, membuat Ferlita yang mendengarnya, seperti merasakan pergerakan tanah di bawah kakinya. Tangannya refleks berpegangan pada tepian meja.
'Ya ampun! Sekaku iu hubunganmu sama kakakmu? Dan, kenapa aku menangkap, kamu sebenarnya menyimpan banyak kesedihan dan luka? Aku takut, kalau tanpa sengaja, kita akan saling menyakiti, nantinya. Bilang ke aku, Dan, aku musti bagaimana, sebelum terlalu jauh terbawa perasaan, yang sejujurnya saja, mulai sering membantahku, ogah dikendalikan?' bisik hati Ferlita.
“Eh? Nggak usah seserius itu. Itu bukan apa-apa, kok. Kamu sama Romi kan sudah seperti kakak adik, bukan sekadar sahabat. Artinya, aku juga sudah menganggap kamu dan Brenda saudaraku juga. Apalagi sebentar lagi, Romi bakal menjalani program Internship, lagi nunggu penempatan, dia. Santai saja, Dan,” timpal Edward ringan, tanpa memberi kesan, itu salah satu alasan kuatnya kembali ke Jakarta. Iyalah, sudah anak Sulung nggak pulang-pulang dan keenakan kerja di Cafe, anak bungsu cuma tinggal tunggu waktu, angkat koper minimal untuk setahun lamanya. Mau jadi sesepi apa, kediaman keluarga Laksana, coba?
Daniel tersenyum, tampak tak menyesali dirinya telah kelepasan bicara tentang Brenda di depan Ferlita. Apa boleh buat, kan? Demi mengesankan ke Ferlita, bahwa antara Edward dan Brenda itu ‘ada apa-apa’.
“Tapi aku juga aku nggak keberatan sih, kalau Bang Edo sama Brenda dekat satu sama lain,” kata Daniel terus terang.
‘Ya, aku lebih rela kamu jadi calon kakak iparku, ketimbang jadi rivalku!’ batin Daniel.
“Hah?!” ucapan ini terlontar oleh dua suara sekaligus, Edward dan Ferlita, dalam waktu bersamaan, tanpa aba-aba. Seolah ada frekuensi yang menghubungkan keduanya.
Lantas, gantian Daniel dan Edward yang tak kalah kompak, serempak mengerutkan kening sebagai kelanjutannya. Hanya mereka berdua yang paham, apa maknanya. Sedangkan Ferlita, cepat-cepat membebaskan dirinya dari perasaan tak karuan yang menyerang secara mendadak. Diisyaratkanny bahwa dirinya akan ke toilet.
“Aku sekalian pamit, kalau begitu. Yuk, Eli, Daniel,” sebelum Ferlita beranjak, Edward segera mohon diri.
“Iya, Bang Edo, hati-hati di jalan,” ucap Ferlita lalu bergegas menuju toilet. Dia tak ingin mendengar sahutan apa pun dari Edward. Dia takut pikirannya semakin ruwet, takut hatinya yang makin kurang ajar padanya itu, merengek dan merongrongnya dengan permintaan yang saling bertentangan.
Tatapan mata Ferlita yang beradu dengan tatapan matanya meski sepintas lalu, seakan menyampaikan selaksa kilasan peristiwa yang menimpa gadis itu, juga kondisinya kini. Sekonyong-konyong, pikiran serta perasaan Edward disergap rasa penat yang sangat. Matanya terpejam begitu saja, tatkala gerakan spontan jemarinya mengurut keningnya, menimbulkan tanya di hati Daniel.
‘Andai aku bisa membebaskan orang yang aku kasihi, tanpa harus menyakiti hati sahabatnya Romi,’ keluh Edward dalam hati.
** * * Lucy Liestiyo * *