Tiga setelah bulan setelah acara pertunangan Daniel dan Inge yang gagal
Jakarta, Akhir Mei 2018
Bangunan gereja yang teramat luas ini mampu menampung ratusan, bahkan mungkin ribuan umat yang datang bukan hanya dari wilayah di sekitarnya saja. Banyak di antara mereka, ternyata berasal dari Jakarta, Bandung, Semarang, serta sejumlah kota lain di luar pulau Jawa. Wajar saja, pasalnya hari ini merupakan hari terakhir dari retret PLB - Penyembuhan Luka Batin, yang ditutup dengan misa penyembuhan.
Daniel sendiri, sempat mendengar informasi tentang jadwal retret yang umumnya dilaksanakan setiap dua bulan ini. Sayangnya, dia terlambat mendaftarkan diri. Namun di sinilah dia berada sekarang, mengikuti misa yang baru saja berakhir. Dia sengaja menyempatkan mengikuti misa di sini karena letak gereja yang dapat ditempuh sekitar 30 menit saja dari salah satu villa milik sang Papa. Tepatnya, villa favorit mendiang Mamanya tatkala masih ada di tengah-tengah mereka sekeluarga.
Sudah delapan hari Daniel menemani Papanya yang memaksa keluar dari rumah sakit tempatnya dirawat, dan memilih beristirahat di salah satu villa keluarga mereka di kawasan Puncak. Kesehatan Papanya memang memburuk semenjak peristiwa pertunangan Daniel yang hanya berumur sekian jam. Kemudian atas pertimbangan mendalam, persetujuan dokter yang merawat dan dengan dikirimnya serta perawat yang mendampingi di villa, akhirnya keluarga Daniel mengikuti kemauan Papa Daniel, biarpun dengan berat hati. Tante Ann juga sengaja mengambil cuti dan menemani Kakak sulungnya itu di villa.
Siapa sangka, delapan hari berada di tempat yang sarat kenangan masa kecilnya dengan mendiang sang Mama, menjadi titik balik bagi seorang Daniel? Seringkali ketika mengawasi diam-diam sang Papa yang sedang diperiksa tensinya, mengobrol dengan tante Ann, diberikan obat atau sedang duduk termenung menatap ke arah taman yang asri dari jendela kamar, hati Daniel bagai dibetot dengan keras. Selalu saja terbayang wajah sang Mama dalam diri Papanya. Segala sesal yang menumpuk menyesakkan dadanya, bak pukulan bertubi-tubi di kepalanya.
Daniel sadar, semua gara-gara dia. Dia telah membuat Papanya malu. Dia pula yang telah merusak hubungan Papanya dengan keluarga Victor Harison Wijaya, Papanya Inge. Betul, kedua orang tua Inge berusaha memahami apa yang terjadi, tetapi hubungan mereka dengan Papanya, tidak secepat itu membaik kembali. Tetap saja terasa ada ganjalan yang menghalangi keakraban, meski tidak terlalu kentara.
Sembari meninggalkan gedung Gereja, dibacanya kembali kronologi percakapan tertulisnya melalui w******p, yang dikirimnya ke Romeo beberapa hari setelah putusnya pertunangannya dengan Inge, yang masih tersimpan di handset-nya.
Mulai dari pesan pertamanya yang terkesan emosional.
To : Romeo Hendardi Laksana
Rom, Ferlita sama Bang Edo? Sejak kapan? Apa ini alasannya, kenapa waktu gue balik dari Tucson dulu dan tanya akses buat kontak Ferlita, elo ogah jawab? No offense, tapi jujur, gue rada kecewa aja, kenapa elo enggak terus terang soal ini.
Dan beroleh jawaban dari sahabatnya itu tidak lama setelahnya.
From : Romeo Hendardi Laksana
Dan, kalau mau ngomong jujur, gue sendiri juga nggak tahu sejak kapan. Bukan hak gue buat mengorek urusan pribadi orang, biarpun itu Abang gue sendiri. Tapi satu hal yang bisa gue pastiin, jangankan ngerebut pacar orang, sekadar Cewek single aja, walaupun sudah diincar Abang gue dan Cewek itu pun punya perasaan yang sama dengan Abang gue, belum tentu dipacarin Abang gue, kalau belum move on dari mantan pacarnya. Itu prinsip dia yang gue salut banget. I guarantee what i said. Soal dulu gue nggak jawab, memang gue belum tahu pasti kabarnya Ferlita waktu itu. Ferlita dan Ray itu cukup tertutup, kalau menyangkut urusan pribadi, and I really appriciate it. Gue bisa terima kalau elo kecewa. That’s ok.
Betapa jawaban yang cukup menohok perasaan Daniel, membuatnya tersadar dan segera mengirimkan balasan pesan kepada sang Sahabat.
To : Romeo Hendardi Laksana I’m sorry, Rom. Gue yang salah, kok. Gue ngerti. Lagian, apa hak gue ngatur-ngatur perasaan orang? Sori, ya Rom, anggap saja gue enggak pernah tanya soal ini. Elo juga kerjanya di Manado, kan, dan baik elo maupun Bang Edo sama-sama sibuk, rasanya ya aneh aja, kalau komunikasi kalian isinya ngobrolin Cewek melulu. Hei, forget what i asked about Ferlita and bang Edo. Pokoknya, we’re still best friend forever. Thanks.
Pesan Daniel itu segera dijawab oleh Romeo dengan sepatah kata, “Sip,” disertai ikon orang tersenyum yang super banyak, membuat hati Daniel lega dan tak pernah lagi berniat untuk menyinggung tentang Ferlita lagi dalam percakapan selanjutnya.
Toh di luar sepengetahuan Daniel, ternyata Romeo masih sedikit terusik, walau disimpannya sendiri rasa tak enak hatinya, menanti momen yang tepat untuk menceritakan mengenai hal itu kepada Edward.
Daniel memasukkan ponselnya ke saku celana, menjauh dari bangunan Gereja.
...
Tadi malam, Daniel sulit memejamkan mata. Perasaannya gundah gulana. Maka dia keluar dari kamar, menyusuri selasar di antara kamarnya dengan kamar Papanya. Hati-hati, dibukanya daun pintu kamar Papanya. Lampu kamar disetel temaram, tetapi dia dapat melihat dengan jelas, Papanya tidak sedang tidur, di atas pembaringan sana. Papanya itu sedang melamun, entah apa yang dilamunkan.
Daniel melangkah mendekati pembaringan sehati-hati mungkin, agar tidak mengusik Papanya. Ia mengangkat sebuah kursi, lalu diletakknya tepat di sisi pembaringan. Dia duduk di sana, menatap Papanya.
Menyadari kehadirannya, Sang Papa balas menatapnya, dan tersenyum samar. Tak ada satu kata pun yang terucap di antara mereka berdua. Memandang kedua bola mata Papanya, Daniel menemukan sorot kasih yang dalam. Oh, betapa Daniel terkejut mendapati bahwa itu merupakan sorot rindu, bukannya sorot minta dikasihani atau lemah. Tepatnya, ada penyesalan yang berenang di sana. Daniel yakin benar akan hal ini. Perasaannya cukup peka. Daniel terguncang dan sekuat hati menahan tangis, di depan papanya.
‘Kamu ini seorang Daniel Marcello Sanjaya. Kalau benar menyesal, kalau benar mau menebus kesalahanmu pada Papamu, jangan berani-berani menitikkkan air mata di depan Papamu dan kembali menghancurkan perasaannya. Beliau akan sangat kecewa. Kamu ini laki-laki! Tunjukkan tanggung jawabmu!’ suara hati Daniel bagai menegurnya dengan keras.
Daniel menelan ludah yang terasa pahit. Seolah-olah, tenggorokannya tersekat dan sulit untuk mengeluarkan kata-kata.
‘Aku nggak boleh begini. Aku harus menunjukkan kepedulianku ke Papa. Papa harus tahu, aku menyesal dan sungguh tidak bermaksud membuat hatinya susah,’ tekad Daniel dalam diam. Sesaat, matanya memejam, menata kata untuk diucapkan.
“Pa, aku minta maaf. Semua ini gara-gara aku,” kata Daniel dengan suara bergetar.
Bibir yang kering itu bergerak, tersenyum padanya ditingkahi tatapan sayang. Wajahnya begitu tulus, ikhlas. Tangan papanya terulur, namun lantaran terlalu lemah, hampir jatuh lagi ke pembaringan. Daniel menangkap tangan itu sebelum beradu dengan pembaringan. Diselusupkannya jemarinya di antara jari-jari sang ayah yang gendut dan empuk itu. Dengan berat hati, dibiarkannya saja saat Papanya berusaha mengurai pegangan tangannya. Dia tertegun, saat tangan lemah itu seolah menemukan kekuatan, membelai wajahnya sepenuh hati dan mengangguk. Hati Daniel serasa disiram air es yang dingin.
* * Lucy Liestiyo * *