Ray membuang pandangan matanya ke samping.
Edward merasa tak enak hati jadinya.
“Sori, nggak ada maksud buat menyalahkan, Ray. Cuma aku susah memaafkan diriku sendiri. Rasanya..” .. “Do, sudahlah,” potong Ray sembari mengisyaratkan agar Edward duduk di sofa ruang tamu mereka.
Bu Edna memenuhi permintaan Ray agar malam ini dapat menginap dan menemani Ferlita. Sejatinya, Ray sudah akan membacakan surat yang ditemukannya di laci meja kerja Pak Pedro, pesan terakhir dari Papanya, jika saja ponsel Ferlita tidak berbunyi berkali-kali. Padahal, baru sesaat Ferlita merubah mode dari senyap ke mode berdering.
Dia hampir mengeluh mendapati begitu banyak panggilan tidak terjawab. Daniel. Tante Ann. Beberapa teman kuliahnya yang belum sempat datang untuk menyampaikan bela sungkawa kepadanya. Orang tua dari murid les privatnya. Daniel. Daniel. Daniel. Daniel, dan Daniel.
Rasanya Ferlita ingin berteriak keras, “Ya ampun! Daniel! Mau apa sih!”
Beberapa pesan teks yang serupa masuk ke telepon seluler Ferlita. Otak dan hatinya sama lelahnya, tatkala membacanya.
From : Daniel
Fei sayang, kamu kemana saja, kok susah dihubungi dua minggu terakhir ini? Sengaja menghilang lagi seperti waktu itu, ya? Tega, deh! Sayang, aku punya rencana buat kita. Bagaimana kalau kita merayakan Valentine’s Day di Singapura? Setuju, ya? Kita langsung ketemu di sana. Tante Ann akan menjemputmu dari airport. Candle light dinner-nya sudah disiapkan se-spesial mungkin sama Tante Ann. Aku sudah pesankan tiket buatmu. Tenang, Sayang, kamu nggak perlu bolos kuliah kok. Kamu tinggal datang hari Jumat tanggal 13 malam dan kembali tanggal 15 malam, hari Minggunya. Sori, ya, aku nggak bisa ke Jakarta, nggak bisa kelamaan bolos kuliah. Hari Minggunya juga aku harus balik kemari. See you in Singapore, Sayang ;). I love you.
Andai saja Daniel ada di depannya saat ini, ingin dicekiknya kuat-kuat.
‘Aku sangat hafal sama gayamu yang suka memaksa itu. Tapi kamu salah timing, sekarang. Nggak ngerti situasi amat, sih!’ batin Ferlita dengan perasaan penat.
Dia tidak sadar, bagaimana Daniel bisa mengerti situasi, sedangkan diceritakan tentang apa yang menimpa dirinya juga tidak.
Lalu ponsel Ferlita berbunyi lagi. Panggilan video dari Daniel. Ferlita menggigit bibir. Dia tahu bukan hanya Bu Edna yang mencermatinya, tetapi juga Ray dan Edward yang duduk di ruangan yang sama dengannya.
“Daniel, ya? Diangkat saja Fer, tidak apa-apa,” suruh Bu Edna pelan.
Ferlita mendesah dengan hati berat.
“Bu, aku capek menjalani ini. Aku sudah capek, sama dia. Barangkali ini memang waktu yang tepat buat mengakhiri semua,” gumaman Ferlita yang mirip keluhan yang sekian lama terpendam, membuat Bu Edna tercengang.
Sementara di depan mereka, Edward dan Ray yang mendengar samar-samar, mengangkat alis serempak.
Sebuah pesan teks masuk ke ponselnya. Ferlita bagai tercekik saat membacanya.
From : Daniel
Sayang, kamu sesibuk itu? Ya sudah, deh, nggak apa. Aku cuma mau lihat wajahmu sebentar, boleh, ya, please? Kangen banget, Sayang. Please, diterima dong, panggilan videonya.
Sungguh, membacanya membuat Ferlita bukan hanya sedih, tapi sekaligus marah campur putus asa.
‘Astaga Daniel! Kamu mau lihat apa? Mataku yang bengkak, karena berhari-hari menangis? Terus apa? Kamu bertanya-tanya dan mendesakku buat bercerita, ada masalah apa? Setelah itu, kamu cemas berlebihan dan seperti biasa, melakukan perbuatan nekad, melupakan skala prioritas dan cepat-cepat terbang kemari buat menunjukkan lagak sok heroikmu? Terus, kamu memutuskan nggak balik ke Tucson lagi? Kamu mau bilang apa saat ditanya Bapak Agustin Reynand Sanjaya? Kamu mau terus terang dan membiarkan aku yang jadi tokoh jahatnya? Enough, Dan, aku sudah nggak sanggup lagi,’ jerit hati Ferlita.
Syukurlah, setidaknya panggilan video itu hanya berlangsung dua kali. Ferlita menyangka, kali ini Daniel mau mengerti.
Sayangnya tidak. Ferlita terlampau cepat merasa lega. Dua panggilan suara terdengar setelahnya. Dan melihat tatapan Bu Edna yang seperti mengisyaratkannya untuk merespons, Ferlita pun meneguhkan hatinya. Dia menarik napas, berjalan menjauh dari ruang tamu menuju ruang keluarga yang berada tepat di baliknya.
“Hai, Dan. Ada apa?” sapa Ferlita setelah mengatur agar suaranya senormal mungkin. Sekian lama menjadi seorang pengajar, meski hanya mengajar les, cukup membuat dirinya terkondisi mengatur emosinya agar tidak mencuat di kala dia tidak menginginkannya.
Ferlita tidak memperkirakan, keadaan yang terlampau senyap di rumah, membuat suaranya terdengar hingga ke ruang tamu, sepelan apa pun dia mengucap kata-katanya. Entahkah karena tiga orang yang berada di ruang tamu sedang tak memiliki bahan untuk dipercakapkan, ataukah sengaja ingin tahu isi percakapannya dengan Daniel.
“Sayang, kangen banget sama kamu, tahu nggak! Kamu apa kabarnya Sayang? Baik, kan? Boleh lihat wajah kamu nggak, sebentar? Please.., boleh ya?” tanya Daniel dengan rindu yang menggebu. Nadanya sedikit merajuk seperti biasa.
Ferlita tak mengacuhkan permintaan Daniel.
“Dan, kuliah kamu bagaimana?” tanya Ferlita dengan hati berat, sesaat kemudian. Mati-matian Ferlita menahan perasaannya sendiri.
“Oke, dong, Sayang. Semuanya oke. Dan aku pastikan bakal selesai tepat waktu. Sabar ya, Sayang, sekitar akhir September juga aku sudah balik lagi ke Jakarta. Cuma delapan bulan dari sekarang, Sayang. Kita hebat, dong ya, bisa melalui semuanya ini,” sahut Daniel antusias.
Ferlita memejamkan matanya yang mendadak memanas.
“Dan, mau janji ke aku, kamu pasti akan menyelesaikan semuanya, apa pun yang terjadi?” tanya Ferlita.
“Iya dong Sayang, kenapa enggak?” sahut Daniel riang.
Ferlita menangkap kemantapan dalam nada suara Daniel.
“Kamu juga mau janji, setelah balik, kamu jadi Daniel Marcello Sanjaya yang seharusnya? Yang enggak lari dari kewajiban buat meneruskan usahanya Papamu?” tanya Ferlita. Dia tak tahu, Bu Edna, Ray dan Edward yang berada di ruang tamu, saling bertukar pandang tanpa mengucapkan kata-kata.
“Iya, dong, Sayang. Aku kan harus secepatnya lulus, terus bekerja keras supanya bisa mencetak uang, supaya bisa cepat menjadikanmu nyonya Daniel Marcello Sanjaya. Menikahi kamu pakai uangku, bukan uangnya Mister Sanjaya. But anyway, kamu ngomong begitu, karena memang sudah kepengen aku nikahin, atau .... sudah jadi corongnya Mister Sanjaya senior?” terdengar tawa Daniel di ujung kalimatnya.
Oh, betapa hati Ferlita perih, mendengarnya. Betapa harap yang terucap mulut Daniel itu melambungkannya sedetik, lalu mengempaskannya dengan kejam ke tanah. Enggak, itu nggak akan pernah terjadi. Dulu saja sudah termasuk halu, apalagi sekarang? Beda mereka sudah bagaikan langit dan bumi, saat ini. Dan teringat selintas percakapan Pak Pedro dengan Ray pada hari kepulangannya dari Tucson, kian meyakinkannya, dia tak dapat berbagi apa pun dengan Daniel, contohnya saja saat ini. Hubungan macam apa, coba?
Ferlita seperti mendapat peneguhan. Ini saatnya, ini waktu baginya untuk dapat membebaskan diri. Dia tidak sanggup menahan semua ini sendiri. Perasaannya, persoalan yang silih berganti menghantamnya, kenyataan hidup yang menyakitkannya, kehilangan yang ingin ditutupinya dari Daniel, cukuplah sudah. Bukan saatnya lagi untuk menambah beban itu dengan memikirkan dan menanggung perasaan Daniel, perasaan keluarga Daniel, serta selaksa perbedaan di antara mereka. Perpisahan itu pasti tiba, pada saatnya. Kalau bukan Daniel yang memutuskannya, kenapa bukan dia saja? Mendengar ucapan Daniel barusan, dia pesimis Daniel yang akan mengakhiri hubungan mereka.
Ferlita kembali tak mengacuhkan pertanyaan yang diajukan oleh Daniel.
“Dan, ingat, ya, kamu sudah janji barusan. Jangan pernah mengingkarinya,” ucap Ferlita.
* * Lucy Liestiyo * *
sss. Lucy Liestiyo