"Jangan mimpi!" Ziel melangkahkan kakinya dngan segera, meninggalkan Evelyn yang terbengong dengan satu koper yang berdiri tegak di samping kakinya.
"Ya ampun, mimpi apa gua punya tunangan macam cowok begitu!" Evelyn berkata kesal. "Tapi dia baik juga mau bawain tas gua yang berat."
Saat sampai ke dalam rumah, keadaan nampak sangat sepi. Lampu rumah sudah seluruhnya dipadamkan.
"Ziel, apa orang rumah lo kalo jam segini udah pada tidur?" tanya Evelyn saat sudah berhasil menyejajarkan langkahnya dengan lelaki itu.
"Biasanya belum!" jawab Ziel, yang sama herannya dengan sang tunangan.
Keduanya berjalan menuju pintu keluar ruangan keluarga yang terhubung dengan area taman bagian samping. Mereka berjalan ke arah sana karena melihat pintu itu terbuka dan seperti melihat seberkas cahaya dari luar.
Ketika tiba di taman yang menyatu dengan area kolam renang, sebuah kejutan tiba-tiba menyambut kedatangan Ziel dan Evelyn. Beberapa lampu yang dihubungkan dengan seutas tali, memanjang mengelilingi area taman dan kolam renang. Berwarna warni dengan sebuah tulisan di atas kolam,
"SELAMAT DATANG DI RUMAH KELUARGA KUSUMA, EVE!"
Evelyn nampak terpesona dengan sambutan yang dilakukan oleh keluarga Ziel. Ia tak menyangka bahwa akan disambut sebegitu hangat oleh orang tua dan Kakek Nenek si lelaki yang berstatus tunangannya itu.
"Terima kasih!" Hanya itu kata yang bisa diucapkan oleh mulutnya.
Kakek dan Nenek Ziel berjalan lebih dulu menghampiri keduanya. Pelukan hangat diberikan oleh Tuan Rifki dan Nyonya Lingga pada tunangan sang cucu.
"Terima kasih, Kek, Nek. Kalian menyambut aku terlalu berlebihan." Evelyn berkata dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Tadinya aku akan merasa tidak betah tinggal di sini, tapi belum apa-apa kalian sudah menyambutku dengan cara yang menurutku luar biasa. Aku merasa kalian menganggapku spesial."
"Kamu memang spesial, Sayang!" ucap Nyonya Lingga membelai pipi Evelyn.
"Terima kasih, Nek!"
"Apakah kalian sudah makan?" tanya Sita —ibu Ziel.
"Sudah, Tante. Tadi kami sudah makan di rumah."
"Oh begitu. Ya sudah tidak apa-apa," ujar Sita. "Oh iya, tapi mulai hari ini kamu jangan lagi panggil Tante yah, sama seperti Ziel, panggil Ibu dan juga Papa."
Evelyn mengangguk. Hatinya tersentuh. Meski ia belum menyukai Ziel, tapi dengan perlakuan yang keluarga tunangannya itu berikan, bukan tidak mungkin ia akan jatuh hati pada keluarga itu.
"Ya sudah, berhubung ini sudah malam kalian bisa langsung beristirahat. Ziel akan mengantar kamu ke kamar." Azka berkata sembari menyentuh kepala Evlyn.
"Terimakasih, Om, eh, Pah! M-maaf, aku belum terbiasa," kekeh Evelyn.
"Ya tidak apa, nanti juga kamu akan terbiasa," ujar Azka. "Ziel antarkan Evelyn ke kamarnya."
"Iya, Pah. Kalau gitu, aku naik dulu yah!"
"Aku permisi dulu, Kakek, Nenek!"
"Iya, Sayang. Istirahatlah!"
Evelyn mengikuti langkah Ziel yang mendahuluinya. Ia sedikit kesulitan saat menaikkan kopernya di tangga. Tanpa gadis itu sadari, Ziel naik dengan segera ke atas menurunkan tas Evelyn, kemudian turun kembali menghampiri gadis itu dan mengambil alih koper yang masih sedikit kesusahan diangkat oleh sang tunangan.
"E-eh, terima kasih!"
Tanpa menjawab ucapan Evelyn, Ziel mengangkat koper dan berjalan lebih dulu ke lantai atas. Evelyn belum menyusul Ziel, ia masih menatap punggung lelaki itu hingga ke atas.
"Kalau dia bersikap begini, aku bisa jatuh cinta beneran, kacau!"
"Padahal tadi dia nolak agar kita berbaikan. Tapi, nyatanya dia bersikap baik begini," lirih Evelyn berkata.
"Woy! Buruan! Kok malah ngelamun!" teriak Ziel dari atas.
"E-eh, iya, tunggu." Evelyn segera menaiki tangga dengan cepat.
"Ini kamar yang akan lo tempati selama tinggal di sini!" Ziel membuka pintu sebuah kamar dengan pintu berwarna coklat tua.
Ketika pintu dibuka, tampaklah sebuah kamar yang cukup luas dan terlihat rapi. Tidak ada yang khas dengan kamar itu, karena memang tidak ada pemilik sebelumnya. Kamar itu kosong sengaja untuk saudara atau tamu yang datang berkunjung. Sebetulnya ada dua kamar khusus tamu, satu lagi ada dekat ruang tamu di bawah. Namun, ibu Ziel --Sita-- sengaja menyiapkan kamar tamu di atas untuk Evelyn dengan tujuan agar lebih dekat dan banyak berinteraksi dengan sang putra selama gadis itu tinggal di kediamannya.
"Ayo, masuk!" ajak Ziel sambil membawa tas besar dan koper milik Evelyn.
Gadis itu mengikuti di belakangnya. "Kamarnya luas banget, apa enggak ada yang lebih kecil dari ini? Gua ngerasa gimana gitu tinggal sendirian di kamar segede gini."
"Emang kamar lo sekecil apa?" tanya Ziel balik, yang menyangsikan jika ukuran kamar milik gadis di depannya ini tidak seperti ukuran kamar yang ada sekarang. Secara keluarga Narendra juga bukanlah keluarga biasa saja.
"Sama sih kaya gini. Tapi 'kan itu rumah gua sendiri, dari kecil gua udah tinggal di sana sampai gua segede gini."
"Ya udah sih, sama aja 'kan. Enggak usah dibikin ribet deh!" sahut Ziel dengan sedikit ketus. "Apa jangan-jangan lo takut yah sendirian tidur di kamar?" tanya Ziel menggoda.
"Sorry yah, siapa yang takut. Gua cuma enggak terbiasa aja tinggal di rumah orang lain."
"Alasan!" seru Ziel. "Ya udah, lo istirahat aja. Kalo ada perlu apa-apa lo bisa minta tolong Bi Sumi. Kamar gua persis di sebelah kamar lo."
"Kalo kamar yang lain di mana?" tanya Evelyn saat melihat Ziel hendak melangkahkan kakinya keluar.
"Besok deh gua kasih tahu. Ini udah malam, gua ngantuk," ucap Ziel kembali berjalan dan meninggalkan Evelyn sendirian di dalam kamar.
"Ziel!" teriak Evelyn pelan, sesaat sebelum Ziel menutup pintu. "Makasih!" ucapnya dengan senyum terbaiknya.
"Hem!" Itu saja respon yang diberikan oleh Ziel. Kemudian pintu pun ia tutup.
"Ish, pelit banget jawabannya," gerutu Evelyn. Gadis itu tidak tahu, betapa Ziel tengah menahan rasa gugup yang tiba-tiba melandanya saat ia berada di dalam kamar hanya berdua saja dengan Evelyn.
Segera lelaki itu memasuki kamarnya sendiri yang berada di samping kamar Evelyn.
"Ada apa denganku? Kenapa perasaan aku enggak karuan kaya gini!" Ziel menyentuh dadanya yang tiba-tiba bergemuruh.
"Sial! Apa ada yang salah sama gara-gara cewek itu? Perasaan penampilan cewek itu terlihat biasa aja malam ini." Ziel terus berkata pada dirinya sendiri sembari merebahkan tubuh di atas kasur besarnya.
"Kayanya aku emang mesti bersikap jaga jarak sama cewek itu, biar aku enggak larut dengan perasaan aku sendiri."
"Bahaya kalau sampai aku jatuh cinta sama tuh cewek. Mau ditaro di mana muka aku di depan Kakek. Masa aku harus kalah berperang?"
Terus saja ia berbicara sendiri hingga mata serta pikirannya lelah, dan akhirnya tertidur.
***
"Selamat pagi semua!" sapa Evelyn yang menghampiri seluruh anggota keluarga Kusuma di area taman.
"Pagi, Nak!" jawab Kakek Ziel. "Tidurmu nyenyak, Eve?"
"Alhamdulillah, aku tidur dengan nyenyak. Tempat tidurnya bikin aku betah berlama-lama sampai malas untuk bangun," ujarnya terkekeh.
"Kamu boleh berlama-lama di dalam kamar tapi kalau sudah selesai dengan sarapannya." Sita menimpali gurauan sang calon menantu.
"Iya, Bu," jawab Evelyn. "Apakah kalian selalu sarapan pagi di sini?" tanya Evelyn.
"Tidak setiap hari, Eve. Kalau Kakek Ziel lagi mau saja." Sita menjawab.
"Oh!" seru Evelyn sambil mendudukkan tubuhnya di bangku dekat kolam.
"Bu, apa Ziel belum dibangunkan?" tanya Azka yang tengah fokus menatap layar tablet-nya.
"Tadi sudah, Pak. Tapi enggak tahu kenapa masih belum turun juga," ucap sang istri yang tengah menuangkan air teh di cangkir. "Nanti biar Ibu minta tolong Bi Sumi bangunkan Ziel!"
"Jangan, biar Eve saja yang bangunkan anak pemalas itu," sahut Tuan Rifki.
"E-eh, aku, Kek!" ucap Evelyn tergagap.
***