Seorang pelayan wanita tengah memilah-milih beberapa tangkai bunga mawar merah yang ada di hadapannya. Setelah membuang duri dan juga daun yang mulai kering, ia dengan tangkasnya membuat bunga-bunga tersebut menjadi tampak lebih cantik ke dalam beberapa helai kertas cellophane. Selesai dibungkus, tak lupa ia sematkan pita dengan warna senada sebagai pemanis. Bunga telah siap dihias, ia pun menyerahkannya kepada penjaga kasir yang tengah sibuk melayani pelanggan.
"Kak, pemuda itu datang lagi membeli bunga," bisiknya sambil tersenyum malu-malu.
"Sudah kuduga kalau dia pasti naksir sama kakak!"
"Imajinasimu terlalu tinggi, Jinny."
"Aku tidak sedang berimajinasi, Kak. Aku bisa merasakannya setiap pemuda itu memandangi mu, Kak."
Wanita itu turut memperhatikan apa yang dikatakan Jinny barusan. Dan benar saja, seorang pemuda memang tampak dengan terang-terangan memandanginya dari kursi tempatnya menunggu pesanannya selesai. Sesekali pemuda itu menyunggingkan senyum dengan tingkah malu-malunya itu. Sontak hal itu menjadi bahan olok-olokan Jinny karena merasa tebakannya benar seratus persen.
"Memang apa yang ia harapkan dari wanita sepertiku?"
"Apa yang diharapkan? Tentu saja banyak! Kakak itu cantik! Baik hati. Penyayang. Body goals. Awet muda. Bahkan banyak yang menyangka kalau aku lebih tua dari kakak!" tukas Jinny kesal bercampur geli.
"Kamu juga cantik, Jinny. Kamu imut dan lucu. Kepribadianmu yang seperti itu, membuat orang di sekitarmu sangat menyukaimu."
"Benarkah? Kak Rie tidak sedang menghiburku, kan?"
Wanita yang dipanggil Rie itu tersenyum sambil lanjut merangkai bunga untuk pelanggan selanjutnya. Kali ini pesanan bunga dari pemuda yang tengah memandanginya itu.
"Kalau memang benar seperti itu, aku harus memberitahunya lebih awal --" ucap Rie sambil memperhatikan pemuda itu kembali.
Merasa mendapatkan lampu hijau, pemuda itu dengan percaya diri melangkah mendekati meja kasir, dimana kedua wanita itu masih sibuk berbincang.
"Apa? Kakak benar-benar tak mau menjalin hubungan dengan siapapun? Kakak juga sering mendapatkan tawaran untuk kencan buta kan? Apa kakak punya trauma dengan seorang laki-laki?"
Mendengar hal itu, Rie menghentikan aktifitasnya yang tengah merangkai bunga. Ia merenung sejenak hingga sebuah ketukan jari di atas meja, menyadarkannya dari lamunan.
"Ya. Bisa dibilang seperti itu," ungkapnya lirih.
"Eummm maaf. Saya ingin --"
Belum selesai pemuda itu bicara, Rie dengan cepat memotongnya. Pandangan mereka akhirnya saling bertemu meskipun dengan arti yang berbeda jauh.
Sang pemuda memiliki tatapan penuh harap dan berbunga-bunga, sedangkan Rie dengan tatapan tegas dan teguh akan pendiriannya.
"-- maaf. Saya sudah memiliki anak."
Pemuda tersebut terdiam sambil mengerutkan kening. Wajahnya yang sejak tadi bersinar cerah, kini berubah menjadi mendung yang kebetulan benar-benar terjadi di luar toko. Jinny menutup mulutnya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Sedangkan Rie masih terlihat tenang dengan wajah datar khasnya.
"Em...baik. Saya mengerti," ucap pemuda itu yang kini memilih untuk kembali ke tempat duduknya lalu memalingkan muka, tanda malu.
"Kak? Kamu benar-benar buat aku speechless!"
**
Hujan benar-benar turun seperti yang diungkapkan reporter ramalan cuaca pagi tadi. Rie yang telah bersiap untuk meninggalkan toko tersebut, terlihat mencari sesuatu di lemari penyimpanan. Setelah menemukan apa yang ia cari, wanita berusia dua puluh delapan tahun tersebut dikejutkan oleh pelukan ringan seseorang dari balik pinggangnya. Rie tersenyum kecil sambil berbalik untuk memastikan bahwa Jinny lah yang memeluknya itu.
"Maaf ya kak, aku tidak tahu kalau kakak sudah memiliki anak dan suami."
Rie menggelengkan kepala sembari tersenyum tipis melihat raut wajah penyesalan karyawan mudanya itu, "Tidak apa-apa. Kamu kan masih baru di sini."
"Ta--pi aku pernah dengar dari kakek owner, kalau beliau tengah menjadwalkan kencan buta mu?"
"Maksudmu pak Yoon? Yah..beliau memang selalu begitu."
"Iya. Tapi katanya kakak selalu menolaknya dengan berbagai macam alasan.
Tapi....kenapa beliau melakukan itu pada wanita yang sudah punya anak dan suami? Atau kakak --"
Jinny menatap Rie dengan penuh selidik. Melihat Rie kembali tersenyum penuh makna kepadanya, Jinny kembali membuat raut wajah penuh penyesalan.
"Jadi kakak sudah menjanda?"
Rie tertawa terbahak-bahak, "Kamu ini lucu, Jinny."
"A...apa? Kenapa membicarakan hal itu?" ucapnya malu-malu.
Pada akhirnya, Jinny hanya tahu bahwa atasannya itu telah menjanda. Mengurus buah hatinya sejak dulu dari hasil pendapatan toko bunga yang sudah ia jalani selama lima tahun tersebut.
Tak ingin Jinny menginterogasinya terlalu banyak, Rie pun meninggalkan toko lebih awal di bawah turunnya hujan sore ini. Dengan buru-buru, Rie menuju sebuah halte yang letaknya tak terlalu jauh dari tokonya. Meski sudah mengenakan payung, piasan air hujan tetap menempel di cardigan merah muda yang ia kenakan. Mungkin...angin yang membawanya. Rie pun memiliki pekerjaan baru untuk dilakukan. Yaitu mengeratkan cardigan-nya agar cuaca yang dingin ini, tidak menyerang tubuhnya yang mudah terserang flu.
Setelah menunggu beberapa saat, bus yang Rie tunggu pun tiba. Mendapatkan tempat duduk favoritnya, Rie pun duduk dengan tenang di sana sambil mengedarkan pandangannya ke arah jendela bus yang basah. Pikirannya kembali ke ucapan Jinny siang ini. Menanyakan tentang dirinya, apakah pernah terluka oleh pria?
Dalam hati Rie langsung menjawabnya.
Tentu saja, Ya.
Dia pernah terluka oleh seorang pria yang ia cintai sepenuh hati. Lukanya masih ada, meskipun telah melalui banyak musim. Lukanya masih membekas, meskipun telah berulang kali diobati. Luka itu juga membuat Rie tak mudah membuka hati dan menaruh harapan pada seorang pria.
Rie telah memaafkan. Namun ia tak pernah bisa melupakan.
Sementara itu di halaman gereja, tampak pria dewasa tengah asik bergumul dengan lumpur dan anak-anak dalam permainan sepak bola. Meski pakaiannya semakin kotor, Isaac sama sekali tak terganggu dengan hal itu. Ia malah semakin asik dengan dunianya bersama sepasang anak kembar yang sempat membuatnya linglung.
Yang khawatir justru adalah asistennya. Pria berjas hitam dengan mengenakan kacamata senada dengan warna pakaiannya itupun bingung bagaimana menasehati majikannya yang sudah terlalu lama berada di bawah guyuran hujan dan lumpur.
Dengan hati-hati dan terpaksa, James mendekat untuk bicara dengan tuannya.
"Tuan! Anda sudah terlalu lama bermain hujan. Bagaimana kalau kesehatan anda menurun nantinya?" James mencoba memberi nasehat sekaligus peringatan. Isaac yang tengah menetralkan pernapasannya karena habis berlari mengejar bola itupun, menatap risih ke asistennya yang terlihat kaku.
"Maaf tuan. Saya bukan --"
"Baiklah. Iya oke. Kita pulang."
"Apa paman akan pergi?" tanya Noah yang tak sengaja mendengar pembicaraan keduanya. Noah terlihat murung ketika tahu Isaac akan segera meninggalkan mereka.
"Ya. Ada yang harus paman lakukan. Tapi paman janji akan mengunjungi panti asuhan kalian besok."
"Benarkah? Paman akan bawa banyak mainan dan makanan, kan?"
Nia -- sang kakak, dengan cepat menyikut adiknya setelah mendengar permintaan tersebut. Gadis itu terlihat kesal dan malu secara bersamaan di hadapan Isaac yang justru tertawa melihat interaksi adik dan kakak tersebut.
"Jangan minta-minta! Ibu kan selalu mengajarkan kita untuk tidak meminta-minta!"
"Oh? Kalian masih punya ibu?" tanya James bingung. Pasalnya beberapa saat yang lalu, mereka bercerita bahwa semua anak-anak yang ada di sini adalah anak-anak panti asuhan.
"Kami masih punya ibu, tapi tak punya ayah. Dari kecil kami sudah tinggal di panti, mengurus diri sendiri dan juga bayi-bayi."
"Kemana ayah kalian?"
Noah dan Nia saling beradu pandang, "Ibu bilang, ayah sudah lama meninggal."
Isaac terlihat kagum dan juga sedih secara bersamaan. Dengan lekat ia menatap kakak beradik itu sambil meletakkan kedua tangannya di atas kepala si kembar.
"Paman akan bawa makanan dan mainan yang banyak besok. Sekarang kalian juga harus pulang dan bersihkan diri. Nanti...ibu kalian akan marah melihat pakaian kalian yang kotor seperti ini," pesan Isaac lembut yang tentu saja membuat alis James mengerut.
Tentu ini adalah pemandangan yang langka. Sebelum tuannya tahu jika ia mengidap penyakit, tuannya adalah sosok yang angkuh dan tak peduli pada siapapun. Tapi siapa yang bisa menyangka, bahwa penyakit bisa mengubah sifat seseorang?
Apakah ini adalah pertanda bahwa kematian semakin dekat?
"Kenapa paman menangis?" tanya Noah kepada James. Isaac penasaran dan berbalik untuk memastikan. Dan dirinya pun ikut bingung, melihat asistennya tersebut mengusap air matanya sendiri di hadapannya.
"Ada apa denganmu?"
"Tidak ada tuan. Saya terkejut. Mereka sangat mirip dengan anda?"
Isaac mengerutkan alis bingung, "Mirip denganku? Mana mungkin."
"Apa anda tidak pernah melihat foto anda sendiri saat masih kecil?"
Isaac berpikir sejenak lalu lupa dengan keberadaan si kembar. Saat ia berbalik, Noah dan Nia sudah ikut dengan teman-temannya untuk kembali ke panti. Noah yang sadar belum berpamitan itupun berteriak sambil melambaikan tangannya ke udara.
"Dadah paman! Jangan lupa besok!"
Lagi-lagi Nia mengingatkan adiknya dengan cara menyikutnya. Isaac membalas lambaian tangan tersebut dengan senyum yang merekah.
Lima belas menit adalah waktu yang Rie tempuh untuk pulang ke rumah.
Turun dari bus, wanita itu langsung membuka payungnya kembali dan
berjalan di jalan setapak untuk bisa sampai ke rumah. Melihat sebuah mobil keluar dari sebuah gang, Rie segera menepi karena jalanan tersebut memang tak cukup lebar untuk mobil dan juga pejalan kaki. Rie sempat menunduk dengan payungnya agar tak terkena cipratan air, namun ia memilih untuk lebih penasaran dengan mobil mewah yang baru saja keluar dari gang tersebut. Pasalnya ia tahu, gang itu menuju ke mana. Disitu adalah satu-satunya akses menuju rumah panti dan juga gereja.
Rie menutup payung setelah menyadari hujan telah perlahan pergi. Di sinar senja yang mulai kemerahan, Rie melihat seseorang yang ia kenali. Ia ingin memastikan, tapi mobil mewah itu telah pun menjauh dari pandangannya.
Rie sempat terdiam sesaat. Tapi kemudian, ia buru-buru untuk tak mengindahkannya karena tak ingin membuka luka lama.
"Isaac --"