Bab 6 : Sebuah Alasan

1086 Words
Jane Thunder terlihat turun dari mobilnya dengan riasan mewah seperti yang biasa ia lakukan. Setelah melewati karpet merah dengan percaya diri, wanita yang kini berusia lebih dari enam puluh tahun itu tampak tengah memantau lobi hotel yang tengah dikerumuni cukup banyak tamu dan wartawan yang hadir. Lobi tersebut telah berubah menjadi sebuah galeri foto dari seorang anak pengusaha sukses di negeri ini. Jane tanpa basa-basi pun mendekati sang gadis berbakat itu sembari memberikan sebuah hadiah yang telah ia persiapkan sebelumnya. "Christine! Selamat atas pameran pertamamu!" "Oh tante Jane! Terima kasih telah datang! Tante datang sendirian?" Jane mengerutkan kening di depan para tamu yang juga tengah menyapa, "Apa Isaac belum ke sini?" Christine memasang wajah sedihnya sambil menunjuk bucket bunga matahari yang terlihat mencolok di galerinya, "Dia terlihat sibuk sekali jadi hanya memberiku selamat sambil memberi bunga itu. Tapi tak apa-apa, berkat tante aku bisa bertemu dengannya dan membuat janji untuk makan malam." "Apa?" Jane terlihat kikuk. Pasalnya, bukan begini rencana yang ia siapkan. Sementara itu, Isaac masih bertahan dengan posisinya yang tengah menahan pergerakan Rie untuk tidak pergi ke manapun. Rie mulai cemas di tempatnya. Pasalnya, ia tak menyangka Isaac akan datang sedekat ini lalu memojokkannya seperti tak takut siapapun akan menyadarinya. "Apa maumu? Kita tak punya urusan apapun lagi," ucap Rie lirih. Isaac terdiam dengan tatapan penuh kekecewaan. Ia juga ingin melakukan hal yang sama, abaikan perasaan di masa lalu dan lanjutkan hidup. Tapi akhirnya ia kembali ke situ untuk memastikan satu hal yang telah mengganjal hatinya sejak tadi. "Aku ingin, tapi ada yang mengganjal dari kata-katamu." "Apa kau pernah berusaha untuk mencari ku?" Kata-kata itu terus terlintas dipikiran Isaac sejak ia meninggalkan toko. Delapan tahun berlalu tanpa kabar. Mencari keberadaan Ariadne tentu ia lakukan meski hanya bertahan setahun hingga Isaac memutuskan untuk pergi kuliah di luar negeri. Kesalahan berpikir itu membuatnya semakin tergerus akan kemungkinan-kemungkinan mengapa Ari meninggalkannya ketika cinta mereka tengah bertumbuh hebat. "Semua sudah berlalu," ucap Rie lirih. Bahkan wanita itupun tak menatap Isaac dengan benar. Isaac mengeratkan cengkeramannya di lengan Rie yang kecil. Perbuatan itu membuat Rie sedikit meringis. Ia lantas sebisa mungkin mendorong tubuh Isaac di depannya untuk melepaskan diri. "Sadarlah! Ini panti asuhan! Ada banyak anak-anak yang akan melihatnya!" "Baik." Isaac akhirnya melepaskan Rie yang terlihat kesal itu, "Kita bicara di luar." Dengan cepat Rie menjauh dari jangkauan Isaac. Wanita itu memilih kabur mendekati anak-anak yang tengah asik bermain di ruangan sebelah sambil bercucuran keringat. Isaac hanya bisa mengumpat dalam hati lalu menghela napas panjang. Pasalnya ia tak bisa berbuat apapun untuk memaksa Rie kembali berhadapan dengannya. "Paman! Kenapa diam saja di sana? Kami baru saja selesai menyiapkan makan malam. Ayo makan malam dulu!" ungkap Noah penuh semangat. Karena masih dalam keadaan kalut, Isaac tak berpikir panjang dan memilih mengikuti langkah kecil Noah yang tengah membawanya ke ruang makan yang cukup luas. Anak-anak secara teratur duduk di kursi yang telah dipersiapkan. Menunggu makanan mereka tersaji di atas piring dengan rapi dan tertata. Dalam pantauannya, Rie berada satu baris lebih jauh dari posisinya. Meski tak terjangkau, Isaac masih tetap bisa menatap Rie dari kejauhan dengan tatapan penuh kekesalan. "Apa yang kuharapkan?" ucap Isaac dalam hati. Isaac mengusap wajahnya beberapa kali lalu merasa pandangannya mulai sedikit memburam."Dia benar. Urusan kami sudah selesai." Rie yang sejak tadi sengaja menghindari kontak mata, malah tak sengaja mengalihkan perhatiannya pada Isaac yang ada di seberang mejanya itu. Rie tertegun melihat Isaac tampak lesu dan seperti tampak kurang sehat. Dan tebakannya itu terbukti. Ruang makan menjadi heboh ketika Noah memberitahu Isaac bahwa ia tengah mimisan di sana. "Paman! Hidungmu mengeluarkan darah!" Isaac yang memang merasa pusing tersebut berdiri dari kursi sambil menutup tetesan darah yang mengalir dari hidungnya itu. Ketika ia menyadari situasinya telah membuat anak-anak heboh, Rie datang dengan sapu tangannya untuk membantu menutup aliran darah. Isaac kembali didorong ke kursi lalu dipaksa mendongak menghadap Rie yang terlihat cemas. Pandangannya yang sempat kabur, tiba-tiba menghilang. Ia kini malah dibuat terkejut ketika bisa melihat mantan kekasihnya itu tepat di depannya setelah sebelumnya Rie menghindarinya sedemikian rupa. "Kau sakit. Kau juga berkeringat dingin." Isaac terdiam sambil terus mendongak menatap wanita itu. Ia gugup karena telah sekian lama tak menatap wajah mungil yang dulu selalu ia belai manja. Rie pun tersadar dengan apa yang ia lakukan saat ini. Rie pun ikut gugup karena akhirnya membuat kontak mata sedekat itu setelah tadi berusaha mati-matian untuk menghindarinya. Keduanya menjadi salah tingkah, namun syukurnya tak ada anak-anak yang menyadarinya kecuali Nia. "Di mana asisten mu? Pergilah ke rumah sakit." "Paman James sepertinya ada di belakang. Kami akan memanggilnya —" "Tidak usah. Paman baik-baik saja," tukas Isaac sambil menepiskan tangan Rie yang sejak tadi sibuk membersihkan dan menyumpal darah dari hidungnya tersebut. Tapi...yang dilakukan Isaac bukan hanya sekedar itu saja. Ia menepis dan beralih menggenggamnya hingga Rie tersadar bahwa mereka kini tengah bergandengan tangan. "Ini sudah tak menetes lagi. Berkat —" Isaac menoleh dengan hati-hati ke arah Rie. "Ibuku memang perawat terbaik! Kalau kami sakit, pasti ibu yang selalu sigap merawat," ucap Noah dengan bangga. Kepolosan Noah itu membuat Isaac tersadar. Bahwa ibu yang dimaksud si kembar itu adalah Ariadne yang sudah lebih dulu menepis tangannya yang sempat ia genggam tadi. Isaac kembali tercengang. "Mereka anak-anakmu?" Rie sempat membuang muka untuk menghindari tatapan Isaac yang terkejut. Namun ia kemudian menemukan cara bagaimana menyelesaikan semua ini dengan cepat. "Ya." Rie sengaja merangkul kedua buah hatinya tersebut sambil tersenyum bahagia. "Mereka anak-anakku." Noah dan Nia yang mendengar pembicaraan serius itu, hanya bisa menyaksikan tanpa mengerti apapun. Rie menyadari bahwa kedua anaknya tak patut berada diantara mereka. Ia pun meminta keduanya untuk pergi meninggalkan ruangan tersebut sambil menatap tajam ke arah Isaac. Isaac terdiam. Ia melupakan fakta bahwa hidup harus terus berjalan dan Ariadne tentunya akan menemukan kebahagiaannya sendiri. Isaac tertawa kecil sambil menyindir dalam. "Kau benar-benar memanfaatkan uang itu dengan baik." Rie terlihat kecewa setelah mendengar ocehan kecil itu. Wajahnya mengeras, menahan emosi yang hendak meluap. "Uang?" "Kau tak perlu terkejut seperti itu kan? Karena memang itulah alasanmu meninggalkanku. " Gantian Rie yang tertawa miris. "Jadi itu yang dia katakan padamu?" "Kenapa? Apa itu melukai harga dirimu?" Isaac mendekat. Langkah pria itu berhenti ketika ia hendak berbisik di samping telinga Rie yang telah pun memerah, panas. "Tidak perlu menyembunyikannya lagi. Dengan uang segitu, kau bisa mendapatkan apapun serta menikah dengan pria manapun," hujam Isaac lagi yang sengaja memprovokasi emosi Rie yang hendak meledak. Akan tetapi, dalam gertakan itu...Isaac juga bergumam di dalam hati. "Tapi kenapa...alasan itu terus mengganjal hati dan pikiranku sejak dulu? Aku masih berharap kalau kau tak melakukan itu, Ari."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD