"Itu...benar-benar mobil yang sama saat samar-samar aku melihat Isaac," gumam Rie dalam hati.
Rie berdiri dengan gugup.
Tak lama James turun dari mobil dengan beberapa kotak di tangannya. Sontak Rie datang membantu karena melihat James yang tengah kesulitan tersebut. Dalam sesaat, Rie menghela napas panjang.
"Bukan. Ternyata bukan dia --"
"Maaf, biar saya bantu bawakan," tawar Rie yang disambut dengan semringah oleh James.
"Ah terima kasih."
James juga membuka pintu mobil penumpang untuk mengeluarkan hadiah-hadiah yang lain. Noah yang ikut membantu, celingak-celinguk mencari seseorang yang ia pikir berada di dalam mobil tersebut. Namun ternyata, orang yang ia cari itu tak ada di sana. Noah sedikit cemberut meskipun ia telah memeluk mainan incarannya sejak tadi.
"Paman datang sendiri?"
"Oh iya. Kau mencari paman yang lain yah?"
Noah mengangguk dengan antusias, "Iya. Apa paman itu tidak akan datang?"
"Aku akan segera menyusulnya setelah mengirimkan semua barang-barang ini. Di tengah perjalanan tadi ada pekerjaan mendesak."
"Paman itu pasti orang yang sangat sibuk. Lain kali dia pasti datang. Yang penting kan, paman itu sudah menepati janjinya padamu," nasehat Nia agar adiknya tak lagi cemberut.
Sementara itu di tempat lain, Isaac tengah menyesap minumannya yang sudah tersaji bahkan sebelum ia sampai ke kursinya. Isaac mau tak mau harus berhadapan dengan wanita yang telah melahirkannya itu, atas panggilan yang katanya darurat. Namun setelah berhadapan selama sepuluh menit, Isaac sama sekali tak menemukan, berita apa yang darurat hingga ia harus berada di sana.
"Ibu dengar kalau kau berbicara lantang dengan Can dan juga Sally."
"Apa ibu akan menghukumku karena itu?"
Jane Thunder, terkekeh sambil menyesap minumannya pula.
"Kau punya kendali untuk itu. Ibu senang jika kau memanfaatkan kekuasaan dengan baik."
"Sebenarnya ada urusan mendesak apa hingga ibu memanggilku ke sini?" tanya Isaac buru-buru. Pria itu bahkan sudah memberi kode dengan mengancingkan setelan jasnya sebagai tanda bahwa ia bersiap untuk pergi.
"Ada urusan apa di panti asuhan? Kau tidak pernah begini —"
"Ibu menguntitku?"
"Semua melakukan itu, Isaac. Kau harus berhati-hati dengan setiap langkah yang kau perbuat."
Isaac sampai memijit keningnya sendiri mendengar peringatan dari ibunya tersebut.
"Ini cuma kunjungan sosial, Bu. Berhentilah untuk melakukan itu."
Jane tersenyum menang, "Baik. Kalau begitu lakukan hal ini untuk ibu."
Jane menyerahkan sebuah memo yang berisikan alamat. Isaac mengamatinya dengan seksama, apalagi setelah ia menyadari tempat apa itu.
"Hotel?"
"Humm. Temui anak Presdir Lee, aku dengar dia sangat mengagumimu."
"Malam ini aku punya jadwal perjalanan bisnis —"
"Bawakan dia bunga karena di sana ia sedang membuat galeri foto."
"Apa ibu tak mendengar ucapan ku?" tanya Isaac dengan nada sedikit mengancam. Namun Jane tetap tak peduli. Ia malah tersenyum kepada putra semata wayangnya itu lalu memainkan ponselnya.
"Ini tidak akan memakan waktu lama. Kecuali jika kau punya waktu untuk berkencan."
Isaac lagi-lagi menggeram sambil beranjak dari tempatnya. Meninggalkan sang ibu yang bahkan belum sempat memberikan salam. Di dalam lift, Isaac segera menghubungi James untuk menjemputnya segera. Mendengar percakapan James tersebut, Noah mendekati James untuk mendengarkan. James yang menyadari tindak tanduk Noah tersebut, lantas memberikan ponselnya kepada Noah.
"Mau bicara dengan paman tampan?"
Noah mengangguk antusias. Isaac yang bingung, mendengarkan percakapan keduanya, "Halo paman! Terima kasih sudah menepati janji."
Isaac yang mengetahui suara siapa itupun langsung sumringah sendiri, "Ini kau Noah? apa semuanya suka dengan mainan-mainan itu?"
Noah mengangguk meskipun ia tahu bahwa Isaac tak akan mungkin mengetahuinya, "Huum! Ini banyak sekali! Setiap anak bahkan mengambil dua mainan di tangan mereka."
"Baguslah. Jadi kalian tidak perlu rebutan."
"Tapi paman tidak ada di sini. Kenapa paman lama sekali?" tukas Noah dengan nada merajuk yang menggemaskan.
Isaac terkekeh, "Maaf. Lain kali paman akan datang ke sana. Hari ini tidak bisa karena paman harus ke suatu tempat."
"Baiklah. Hari ini ku maafkan."
"Terima kasih," balas Isaac yang baru saja turun dari lantai atas. Ia kini tengah berdiri menunggu jemputan. Namun ia juga tak ingin memutus panggilan itu dengan cepat.
"Oh iya paman! Ibuku ingin bicara. Ia ingin menyampaikan sesuatu, apa boleh?"
Isaac ingin menolaknya, karena baginya itu hal yang berlebihan. Namun ponsel James pun telah berpindah tangan. Yang mana Rie kini tengah bersiap untuk bicara.
Samar-samar di ujung telepon, Isaac mendengar suara Rie yang lembut.
"Apa boleh saya menelepon seperti ini?"
"Tentu saja," balas James.
"Selamat siang, Pak. Saya Rie asisten panti ini. Saya ingin berterimakasih atas hadiah-hadiah yang begitu berarti ini."
Isaac terdiam sesaat. Suara lembut yang ia dengar saat ini, membuat hati Isaac berdebar kencang dengan mendadak. Serasa dejavu, Isaac kembali mengingat senja dan suara yang telah lama pergi darinya. Namun ingatan itu bercampur dengan perpisahan yang menyakitkan. Membuat Isaac membuang jauh nama tersebut dan bicara santai dengan Rie di ujung telepon.
"Ah iya. Ini bukan apa-apa. Maaf saya tidak bisa hadir ke sana. Karena ada pekerjaan mendadak yang harus dilakukan."
Tak berbeda jauh dengan Rie. Wanita itu juga merasakan hal yang sama ketika mereka saling berbicara. Ada perasaan dejavu ketika mendengar suara di telepon itu. Ada rasa penasaran yang menggebu namun tak sanggup untuk diutarakan oleh keduanya.
"Saya mengerti. Jika ada waktu luang,silahkan saja mampir ke sini lagi. Kami pasti akan menyambut anda dengan senang hati."
"Ya. Terima kasih nona Rie," balas Isaac yang tak sadar jika ia tengah menyunggingkan senyumnya.
"Sama-sama."
Selesai bicara, Rie lantas menyerahkan ponsel tersebut kepada pemiliknya. Sebenarnya Rie tak ingin menguping pembicaraan keduanya, namun karena ada hal yang mendesak yang tengah mereka bicarakan itu, membuat Rie berinisiatif untuk ikut membantu.
"Toko bunga? Anda ingin memesan bunga?"
"Ya. Kalau bisa secepat mungkin dan yang sejalan dengan tempatmu sekarang."
"Uhmm maaf menyela pembicaraan. Apa tuan membutuhkan paket bunga? Kebetulan saya punya toko bunga pribadi di dekat sini. Bagaimana kalau --"
"Tuan...nona Rie akan menyiapkan bunganya. Jadi saya akan menjemput anda sembari menunggu bucket bunganya selesai."
"Itu ide yang bagus. Baiklah. Terima kasih nona Rie."
"Ya. Sama-sama."
Sesuai rencana, Rie pun diantar ke toko bunga untuk menyiapkan bucket yang diinginkan oleh Isaac. Setelahnya, James menjemput Isaac yang masih berada di lobby tempat ia dan ibunya bertemu.
Jinny ikut membantu merangkai bucket bunga yang telah ditentukan itu. Dengan cekatan, mereka menyelesaikannya bahkan tak sampai lima belas menit. Diberikan sentuhan akhir, dan bucket pun siap untuk dibawa. Mereka merapikan meja sambil menunggu pelanggan untuk mengambilnya.
"Ini bucket bunga yang terindah yang pernah aku lihat, Kak."
Rie memicingkan matanya, "Kau terlalu berlebihan JInny."
"Sungguh. Aku selalu ingat kata-kata kakak saat hari pertama aku bekerja di sini. Kakak bilang, rangkailah bunga-bunga ini seperti kau sedang jatuh cinta. Maka hasilnya pun akan terlihat sempurna dan penuh kasih. Apa kakak sedang jatuh cinta? Karena ini sungguh indah."
"Jinny! Berhentilah bicara yang manis-manis," ujar Rie malu. Tapi Jinny terus saja menggodanya hingga mereka tak sadar ada pelanggan yang datang untuk membeli bunga.
"Oh iya. Aku lupa menanyakan, untuk siapa dan dari siapa bunga ini dibuat."
"Kakak kan bisa menanyakannya nanti saat mereka tiba --"
Baru saja dibicarakan, pintu masuk yang di atasnya tergantung sebuah lonceng itupun berdenting tanda pelanggan memasuki toko. Langkah sepatu kulit yang menyentuh lantai kayu, tentu saja menarik perhatian orang-orang yang ada di dalam toko.
Waktu terasa melambat ketika James muncul pertama kali dan disusul orang penting yang ada di belakangnya. Rie yang lebih dulu menyambut James di meja kasir dengan sumringah, lantas menjadi terpaku ketika ia melihat seseorang yang beberapa menit yang lalu ia ajak bicara lewat telepon. Seseorang yang sama sekali tak ia sangka akan bertemu lagi setelah sekian lama.
"Isaac --" ucap Rie, lirih.
Isaac yang masuk setelah merapikan mantelnya yang sedikit terkena tetesan hujan itupun ikut terpaku melihat Rie di sana. Tatapan yang sama seperti yang dirasakan Rie ketika mereka bisa saling bertemu lagi.
"Ari?"