"Ibu tak apa-apa, kak?" tanya Noah khawatir. Anak laki-laki itu sejak tadi berdiri di depan kamar ibunya sambil menunggu Nia saudara kembarnya keluar dari kamar tersebut.
Pagi ini suasana rumah memang sedikit berbeda. Hanya tersaji masakan di atas meja makan, namun keduanya tak menemukan sang ibu yang sentiasa menemani sarapan pagi. Hal itu tentu saja membuat si kembar khawatir. Setelah sarapan, keduanya beranjak ke kamar ibu mereka untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Ibu kurang enak badan. Kata ibu pulang sekolah nanti kita langsung ke panti saja. Ibu akan menyusul ke sana sore nanti."
Noah tampak murung sambil tertunduk lesu. Ia terus menerus memainkan kuku jarinya di saat Nia tengah berbicara dengannya.
"Aku khawatir pada ibu. Aku mau di rumah saja menemani ibu."
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Ibu sedang tidur setelah minum obat. Dan ibu meminta kita untuk tetap berangkat ke sekolah." Nia mulai geram melihat adik kembarnya itu bertingkah manja. Ia segera menarik lengan Noah untuk beranjak, tapi Noah menepisnya dengan cepat karena tak ingin.
"Aku nggak mau sekolah," ucapnya lirih bercampur takut.
Nia melirik dengan tajam ucapan adik kembarnya itu, "Kenapa? Apa ada masalah di sekolah?"
"Ti--tidak! Bukan begi--tu. Aku mau temani ibu di rumah --"
Nia memegang kedua pundak Noah, lalu menatap anak laki-laki itu dengan serius, "Katakan padaku. Siapa yang mengganggumu?"
"Lepasin kak! Ini bukan seperti yang kau pikirkan --"
"Mana mungkin tak ada apa-apa!"
"Kalau kau terus membantuku, mereka akan terus meledekku!" balas Noah, keceplosan. Ia langsung menutup rapat-rapat mulutnya dengan kedua tangan kecilnya itu.
Nia yang mendengar hal tersebut, tentu saja menjadi kesal sekaligus marah. Dengan langkah lebar, Nia lekas kembali ke meja makan lalu mengambil semua perlengkapan sekolahnya. Noah menyusul dari belakang sambil khawatir melihat saudari kembarnya itu tersulut emosi yang begitu besar.
Di sisi lain, mobil Isaac tampak terparkir di sebuah jalanan padat yang berlalu lalang para murid dari segala umur memasuki sekolah mereka. Seperti tengah menunggu seseorang, Isaac dan asistennya konsisten berada di dalam mobil memantau sekitar. Sesekali Isaac menguap karena pagi-pagi sekali ia sudah harus mengintai tempat tersebut. Hasilnya...setelah menunggu hampir sejam, sosok yang mereka tunggu masih juga belum muncul. Membuat raut wajah Isaac agak mengerut sambil memandangi asistennya tersebut dari cermin tengah mobil.
"Kau yakin mereka sekolah di sini?"
"Sangat ya--kin, tuan."
"Kau menjawabnya dengan ragu-ragu," selidik Isaac. Ia yang sudah membaca seluruh laporan yang diberikan itupun, mulai merasa bosan menunggu. Baru saja hendak keluar menghirup udara segar, Isaac dikejutkan oleh James yang tiba-tiba mencegahnya untuk pergi keluar.
"Tuan! Itu mereka."
Isaac langsung mencari keberadaan orang yang James tunjuk, dan menemukannya. Tanpa sadar Isaac menyunggingkan senyumnya lalu bergerak untuk memberikan kejutan. Namun, Isaac justru mendapat kejutan dari asistennya ketika pria yang terpaut usia lima tahun lebih tua darinya itu kembali mencegahnya keluar.
"Tunggu tuan. Sepertinya ada yang aneh. Kenapa Noah dan Nia berbelok ke gang?"
Isaac ikut menyelidiki, "Sepertinya mereka mengikuti ketiga bocah di depannya. Apa ini? Apa mereka berniat untuk bolos?"
Pertanyaan tersebut jelas membuat alis James mengerut. Mana mungkin anak kembar yang baik budi itu melakukan tindakan melanggar etika?
Tanpa pikir panjang, James memindahkan mobil ke arah yang lebih dekat ke anak-anak tersebut. Sesampainya di sebuah gang, mereka dikejutkan dengan suara teriakan dari salah satu anak laki-laki tadi.
"Hei! Apa yang kau lakukan!"
"Kenapa kalian mengganggu adikku!" teriak Nia tak mau kalah. Melihat keberanian kakak kembarnya itu, Noah hanya mampu berpegangan pada tas hello kitty milik Nia yang sifatnya bertolak belakang sekali dengan aksesoris serba merah muda yang ia miliki di kamarnya.
"Apa adikmu mengadu padamu?"
"Tidak! Dia berusaha menutupinya, tapi akhirnya aku tahu siapa dalangnya! Miko! Kau tidak akan ku lepaskan kali ini!"
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Huh? Dasar anak haram!"
Mendengar hal itu, bukan hanya emosi Nia yang semakin membuncah, namun juga emosi Isaac yang mendengar semua itu. Ia ingin sekali menghentikan perkelahian tersebut, namun James memberikan nasehat yang membuatnya berpikir dua kali.
"Tuan harus menjadi superhero di saat yang tepat."
"Apa katamu! Yyyaa! Kau benar-benar si mulut besar!"
"Apa aku salah? Kalian itu mengenaskan! Tidak punya ayah! Tapi berani-beraninya mengaku sebagai anak yatim!"
Tanpa sadar, Nia mulai terbawa suasana. Ia juga selama ini bertanya-tanya tentang hal itu. Mengapa hanya mereka yang tak memiliki ayah? Jika ayah mereka benar-benar telah tiada, mengapa mereka tak pernah pergi ke pemakamannya?
Nia terus berpikir bahwa ibunya memang menyimpan banyak rahasia. Tapi sebagai anak yang bahkan masih terlalu kecil, bagaimana ia bisa bertanya dan mencari tahu?
Nia mulai menangis. Ia tak bisa mencegahnya mengalir hingga Miko dan yang lainnya mulai menertawakannya. Suasana jadi semakin tak kondusif, ketika Nia berniat melemparkan batu yang ia temukan tak jauh dari tempatnya berdiri. Untungnya di saat yang tepat, Isaac muncul dan langsung menggenggam tangan mungil Nia yang berisikan batu tersebut.
"Kau bisa membuat masalah jika melemparkannya."
Nia mendongak untuk melihat siapa yang telah menangkap tangannya tersebut. Setelah mengetahuinya, tangisan Nia dan Noah menjadi tangisan yang melegakan hingga keduanya memeluk Isaac dengan eratnya.
"Aku akan tetap melaporkan ini pada ibu guru! Kalian berdua akan di hukum!"
"Mereka berdua akan di hukum jika kau juga ikut di hukum. Karena perundungan sama sekali tidak bisa dimaafkan," ucap Isaac yang langsung membuat anak-anak itu terdiam ketakutan.
Dan benar saja, Miko melaporkan kejadian pagi ini dan membuatnya harus memanggil orang tuanya. Di sisi lain, Nia dan Noah merasa lega karena Isaac bersedia untuk menggantikan Ariadne dengan dalih sebagai paman mereka. Hal itu tentu saja menjadi perhatian para guru yang sama sekali tak mengenali Isaac. Ditambah lagi, penampilan Isaac yang mirip eksekutif muda tersebut, tentu saja membuat siapapun penasaran. Hubungan apa yang dimiliki anak-anak kembar tersebut dengan Isaac.
"Paman? Yang aku tahu mereka tak punya keluarga! Kau pasti berbohong!" ucap ayah Miko yang ketika datang telah menampakkan taringnya.
"Bahkan silsilah anak ini saja, kalian bisa mengetahuinya. Apa mereka menarik untuk diperbincangkan?"
Wajah ayah Miko langsung memerah. Ia segera mengalihkan topik dengan kembali duduk di kursinya.
"Anak-anak itu yang harusnya di hukum. Mereka menyerang anakku terlebih dahulu. Bapak kepala sekolah! seharusnya anda harus bisa melihat dengan bijak apa yang tengah terjadi."
"Karena itulah kita semua ada di sini, pak. Untuk menyelesaikan masalah yang sudah berlarut-larut ini."
Ayah Miko mengerutkan keningnya dalam, "Maksud bapak? mereka sudah terlalu sering melakukan hal ini pada anakku?"
Emosi ayah Miko semakin membuncah. Hal itu membuat Isaac semakin tak sabar untuk menyelesaikan semua ini. Ia lantas meminta James untuk mengeluarkan sebuah barang lalu menunjukkannya kepada ayah Miko tersebut.
"Memangnya apa yang bisa kau lakukan? Huh? Dasar anak haram!"
"Apa katamu! Yyyaa! Kau benar-benar si mulut besar!"
"Apa aku salah? Kalian itu mengenaskan! Tidak punya ayah! Tapi berani-beraninya mengaku sebagai anak yatim!"
"Apa ucapan seperti itu pantas keluar dari mulut anak kelas satu? Hal ini sudah terjadi berulang kali dan anda sebagai orang tua akan memakluminya?"
"Tidak ada asap kalau tidak ada api! Mereka berdua pasti yang membuat anakku geram dan mengatakan hal yang tak mengenakkan!"
"Baik. Kami akan selidiki ini lebih lanjut. Aku ingin masalah ini dilaporkan ke polisian saja. Biar mereka yang menemukan bukti siapa yang lebih dulu mencari masalah," gertak Isaac yang malah ditantang balik oleh ayah Miko.
"Silahkan! Huh..anda pikir aku akan gentar melawan kalian yang sok berkuasa? Dari perusahaan apa kalian? penampilan kalian malah tidak berbeda jauh dengan para mafia."
Isaac tersenyum tipis sambil menyeringai, "Ya. Kami memang seperti mafia. Kami bisa memutus rantai kehidupan siapa saja, termasuk anda yang saat ini bekerja di konstruksi Y and G, kan?"
Ayah Miko terbelalak. Ia tak menyangka orang yang ada di hadapannya itu tahu dimana ia bekerja saat ini.
"Apa maksudmu? Mana mungkin kau bisa melakukan hal seperti itu, dasar pembuat —"
James maju ke depan untuk memotong ucapan ayah Miko tersebut, "Baik. Ada yang ingin bicara dengan anda. Beliau pak Tom. Ketua dari perencanaan kontruksi Y and G. Anda pasti kenal beliau, kan?"
"A...apa?"
Dengan cepat, ayah Miko mengambil ponsel yang tengah tersambung dengan orang bernama Tom tersebut. Setelah mendengar suaranya dan ayah Miko dimarahi habis-habisan di ujung telepon, pria itu langsung berdiri lemas sambil menatap lesu James serta Isaac yang kini tengah menemui Nia dan Noah yang sejak tadi berdiri di pojok ruang kepala sekolah.
Nia tanpa malu menatap Isaac dengan penuh kekaguman. Begitu pula dengan Noah yang segera memeluk Isaac begitu ia menyadari situasinya telah terkendali.
"Anda benar-benar orang keren."
"Begitu kah? Jika sudah besar nanti, kau juga bisa menjadi lebih keren daripada aku, Noah."
Noah mengangguk dengan antusias sembari menjulurkan lidahnya kepada Miko yang kebingungan melihat ayahnya menangis tersedu-sedu di hadapan James. Tak ingin berada di situasi seperti itu, Isaac segera membawa Noah dan Nia keluar dari ruangan dan membiarkan James mengurusi sisanya. Untungnya ia bisa mengontrol emosinya kali ini. Kalau tak, ia mungkin tak akan mendapat pujian-pujian manis itu dari kedua anak kembar yang masih ia cari tahu kebenarannya.
"Tadi paman dengar, kalian tidak ingin ibu kalian dipanggil ke sekolah. Memangnya...ini panggilan yang ke sekian kalinya?"
"Tidak. Bukan seperti itu. Ibu sedang sakit, jadi kami tak ingin —"
Raut wajah Isaac berubah khawatir, "Sakit? Lalu dimana ibu kalian sekarang?"