1. Bertemu Kembali

1929 Words
Tiga bulan kemudian … “Wah! Aku lolos!” Saking bahagianya, aku sampai melompat-lompat kegirangan. Padahal aku sudah hopeless diterima kerja mengingat umurku dua puluh enam tahun, tetapi ternyata aku masih diberi kesempatan. “Waaah, waaah, waaah … beneran diterima, kan, ini?” aku membaca sekali lagi pengumuman yang tertera di email, dan memang benar, aku diterima. Saat aku masih kegirangan, tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Aku buru-buru melompat turun dan membuka pintu. Akmal, adikku, kini sudah berdiri menjulang di depanku. Dia empat tahun di bawahku, tetapi seringkali orang mengira dia adalah kakakku. Tidak, adikku tidak muka tua. Aku saja yang sepertinya agak baby face. Ditambah tinggiku hanya sertus enam puluh tiga, sedangkan Akmal seratus delapan puluh. Itu menambah kesan kalau kami jadi terlihat seperti seumuran. “Kenapa, Mal?” “Hari ini pengumuman. Apa keterima, Mbak? Udah cek atau belum?” Mendengar pertanyaan itu, aku langsung menarik Akmal masuk ke kamarku. Aku tersenyum lebar, lalu menunjukkan pengumuman yang baru saja k****a. “Taraaa! Aku diterima dan mulai kerja awal bulan depan.” “Jadi merantau, berarti?” Akmal tampak sedih. Sejujurnya, anak ini memang kurang setuju kalau aku merantau ke Jakarta. Ya, perusahaan yang kulamar memang ada di Ibu Kota. Aku menjalani serentetan rekruitment-nya sejak bulan lalu. “Mau berapa tahun aku ngelunasin utang ke Ayah sama Ibu kalau tetap kerja di Jogja, Mal? Aku pun enggak mau merantau aslinya. Tapi, ya, gimana? Utangku banyak.” “Ayah sama Ibu bercanda aja, kali, Mbak. Jangan diambil hati.” “Bercanda apanya? Udah berbulan-bulan juga Mbakmu ini masih didiemin.” Aku menunduk, menahan air mata yang tiba-tiba ingin keluar. “Jujur, aku juga enggak betah di rumah. Capek, Mal, dianggap enggak ada terus sama orang tua sendiri.” Akmal terdiam sejenak. “Aku ada tabungan—” “Enggak, aku enggak akan mau. Kamu itu baru kerja berapa bulan, sih? Sok-sokan nawarin tabungan!” “Aku kan ada freelance juga. Lumayan, kok, bayarannya. Soalnya kurs-nya dollar.” “Kamu itu cowok. Nabung sebanyak-banyaknya. Bikin dirimu mapan, jadi besok kalau pilih istri tinggal milih. Terlepas warisan dari Ayah dan Ibu, kalau mahar dari keringatmu sendiri kan lebih puas. Udah, jangan nawarin uang ke aku lagi. Aku akan usaha sendiri.” Akmal mengangguk. “Ya udah. Mbak kapan berangkat ke Jakarta?” “Minggu depan, kali, ya? Aku cari kos dulu. Enggak mungkin, kan, mepet? Soalnya masuk kerja tinggal dua minggu lagi. Sekarang, kan, udah tanggal pertengahan.” “Aku antar sampai stasiun. Naik kereta aja, Mbak. Jangan bus.” “Iya, niatnya emang mau naik kereta. Mau pesawat, kok, aku lagi mode irit.” “Mbak tabunganya masih berapa?” Aku tersenyum. “Adalah, Mal. Enggak banyak, sih, tapi lumayanlah. Cukup buat bayar kos dan makan dua bulan.” “Hanya segitu? Mepet, itu, Mbak.” “Kan bulan pertama langsung gajian. Posisiku bagus, lho. Gajinya juga lumayan meski belum yang tinggi-tinggi banget. Pengalaman kerjaku kemarin kayaknya jadi alasan aku diterima.” “Okelah, kalau gitu. Nanti kalau ada kurang, bilang aku aja, Mbak.” Aku tersenyum lagi, lalu kutepuk pundak Akmal dua kali. “Kebalik, Mal. Aturan aku yang ngasih duit ke kamu.” “Kasus Mbak Mila, kan, beda. Jangan paksain sama dengan orang lain.” Tiba-tiba saja, air mataku keluar. Aku segera meraih tisu dan mengusapnya. “Memang jalanku gini, Mal. Dua puluh enam tahun aja baru genap, tapi udah jadi janda.” “Janda enggak buruk, kok, Mbak, daripada punya suami penyuka batangan dan suka KDRT.” “Iya, Mal. Emang salah fatal aku kemarin. Besok kalau aku masih diberi kesempatan menikah lagi, aku bakal hati-hati banget milihnya.” “Harus aku tes dulu, kayaknya, Mbak. Minimal jangan dapat yang penyuka batangan lagi.” Aku tertawa miris. “Baiklah.” Akhirnya, Akmal pamit keluar. Aku sendiri kini sudah merebahkan badan di ranjang. Aku tidur telentang dengan mata memejam. Ngomong-ngomong, adikku adalah satu-satunya anggota keluarga yang bisa kujadikan tempat berkeluh kesah. Ayah dan Ibu tidak, para sepupu pun sama saja. Mereka sering sekali membicarakanku terang-terangan. Memang buruk sekali nasibku akhir-akhir ini. Pernikahan yang kugadang-gadang akan bahagia, malah jadi petaka. Tidak cukup menjadi janda dalam waktu singkat, aku masih harus perang dingin dengan orang tua sendiri. Mereka yang harusnya selalu berada di pihakku, malah menyudutkanku paling kuat. Sebenarnya, Ayah dan Ibu bukan orang tua yang buruk. Sebelum masalah ini, mereka selalu menjadi support system terbaik. Hanya saja, memang tindakanku kali ini membuat mereka kecewa luar biasa. Selain membuat malu bukan kepalang, juga sudah terlanjur habis biaya banyak untuk resepsi. Orang tua Mas Andra pejabat kaya raya, jadi biasalah, Ayah dan Ibu gengsi. Makanya resepsiku digelar besar-besaran. Tak tahunya, resepsi megah itu sudah tak ada harga dirinya lagi. Benar-benar rugi besar! *** Satu minggu kemudian … “Bu, Yah, aku pamit dulu,” ujarku pagi itu ketika hendak berangkat menuju Stasiun Lempuyangan. Akmal sudah siap, kini dia sedang menungguku di luar. “Ya,” jawab Ayah dan Ibu kompak. “Hati-hati.” Mereka mau kuajak bersalaman, tetapi hanya itu. Hanya menjawab ‘iya’ dan ‘hati-hati’. Tidak lebih. Jujur, pada titik ini aku merasa sedih luar biasa. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya, orang tuaku masih saja kecewa padaku. Memang, mereka tidak tahu kalau Mas Andra itu gay. Aku tidak bilang karena dia mengancam akan mencelakai Ayah dan Ibu kalau aku menyebarkan tentang ketidaknormalannya. Orang tuaku adalah kelemahanku. Aku tidak bisa melihat mereka terluka. Sejauh ini hanya dua orang yang tahu, yakni Syifa dan Akmal. Dua-duanya sudah kuminta tutup mulut. Akmal jelas marah, hanya dia belum punya cukup power untuk melawan Mas Andra. Jadi, untuk sementara, dia memilih diam. Kalau soal KDRT, Ayah dan Ibu tahu. Namun, yang mereka tahu tidak seluruhnya. Makanya mereka masih berharap Mas Andra berubah. Mereka menyuruhku memberi kesempatan kedua dengan mengajukan beberapa syarat. Ya, andai hanya KDRT, meski itu juga sudah sangat red flag, mungkin aku masih mau memberi kesempatan kedua. Seperti halnya selingkuh dengan perempuan, aku masih mau pikir-pikir dulu. Tapi soal gay ini, aku betul-betul tidak menerima penawaran dalam bentuk apa pun. “Mbak Mila, udah?” terdengar teriakan Akmal dari luar. “U-udah, Mal, udah!” Aku segera keluar, lalu menata koper di mobil. Saat aku baru akan masuk kursi depan, tiba-tiba kulihat Ayah dan Ibu sudah berdiri di teras. “Di sana transportasinya pakai apa, Mil?” tanya Ayah. “Belum tahu, Yah. Mungkin angkutan umum aja. Kalau bisa malah dapat kos yang dekat, biar jalan kaki.” Sebenarnya, di rumah ada dua mobil, tetapi tidak mungkin aku membawa satu. Pasalnya, satu untuk Ayah, satu lagi gantian aku dan Akmal. Karena aku pergi, biarkan adikku saja yang merawat mobil itu. “Nanti kalau udah dapat kos, kabari Ayah. Ayah belikan motor. Motor di garasi udah jelek kalau dibawa ke Jakarta.” Alih-alih tersenyum, aku justru ingin menangis. Bagaimana tidak? Setelah mengatakan itu, Ayah dan Ibu kompak masuk rumah. Aku bahkan belum sempat membalas kalimat beliau. “Udah, Mbak. Ayah sama Ibu sebenarnya masih gengsi aja sama Mbak Mila. Udah terlanjur diemin lama. Ayah mau beliin motor, artinya beliau masih peduli. Dan bener, motor di garasi udah butut. Dibawa ke Jakarta nanti malah service mulu.” Aku mengangguk. “Iya, Mal.” Akhirnya, aku naik mobil dan mobil pun keluar halaman rumah. Sebelum benar-benar pergi, aku menatap rumah dua lantai yang pastinya akan sangat kurindukan. Selama perjalan menuju stasiun, aku banyak melamun. Perjalanan ini panjang karena rumahku memang sudah masuk Kabupaten Gunungkidul. Tidak sampai pelosok, tetapi tetap saja jauh kalau ke kota. Butuh setidaknya satu jam lebih lima belas menitan sampai akhirnya Akmal menghentikan mobilnya di dekat pintu masuk stasiun. Aku turun, dia pun ikut turun. Dia menyusul masuk dan membantuku mengurus tiket. “Mal, antar sampai sini aja,” ujarku begitu kami tiba di dekat pintu masuk ruang tunggu. “Oke.” “Kamu sana pulang, hati-hati.” “Mbak baik-baik di Jakarta. Sering kabari aku, ya.” Aku mengangguk. “Siap!” Akmal tiba-tiba merogoh ponselnya dan mengoperasikan beberapa saat. “Kamu ngapain, Mal?” “Enggak papa. Mbak hati-hati, ya! Aku pulang dulu!” Aku mengangguk. “Iya. Kamu juga hati-hati pulangnya.” “Oke!” Akmal segera pergi dan aku bergegas masuk ruang tunggu. Baru saja aku duduk, tiba-tiba ada pesan masuk dari akmal. Akmal Cek mutasi, Mbak. Jangan dikirim balik. Kalau kirim balik, aku enggak akan pernah mau antar jemput lagi. Jangan ragukan keuangan adikmu. Haha! Aku melongo. “Ini anak ngirim uang?” Aku segera mengecek m-banking dan membuka mutasi. Aku melongo saat melihat ada nominal sepuluh juta masuk dari rekening Akmal. “Ini anak punya uang segini dari mana? Maksudku, bisa ngasih aku segini, berarti dia punya lebih, kan?” Aku tersenyum sekaligus menitikkan air mata. Tentu saja, aku senang sekaligus terharu. Adikku sudah dewasa. Dia yang dulu sering minta uang padaku, kini sudah bisa memberiku balik. Dengan nominal yang tidak sedikit pula. “Tenang, Mal. Uang darimu akan kugunain sebaik mungkin.” *** Aku tiba di Jakarta pukul sembilan malam setelah menempuh perjalanan kurang lebih sembilan jam. Harap maklum, kereta yang kutumpangi adalah kereta ekonomi. Aku memang memilih kereta yang murah, asal sampai. Hal yang pertama kali kulakukan begitu tiba di Jakarta adalah istirahat di RedDoorz. Lagi-lagi karena sengaja cari yang murah. Apalagi sekadar untuk transit saja. Aku bertekad, dalam dua hari aku harus menemukan kos baru yang proper. Aku ada teman di Jakarta, hanya rumahnya agak jauh. Besok pagi dia akan menjemputku dan berjanji menemaniku keliling cari kos. “Argh, enaknya!” Setelah mandi, aku merasa lebih baik. Aku melirik ponsel, saat ini sudah hampir jam sepuluh. Jujur, aku lapar. Jam sepuluh kalau di area rumahku sudah sepi sekali. Tapi karena ini tengah kota, jelas masih ramai. Akhirnya, aku bangkit dan mengambil jaket. Aku akan keluar cari makan. Kulihat tadi di sekitaran penginapan ada banyak pedagang kaki lima. Karena ini wilayah asing, aku mengenakan topi dan masker agar lebih leluasa. Saat aku baru saja keluar kamar, aku sudah disuguhkan dengan suara-suara yang membuatku memejamkan mata kesal. Apa lagi kalau bukan desahan orang b******a? Sial sekali ! Kenapa harus mendesah sekeras itu? Aku buru-buru turun ke lantai satu dan bergegas keluar. Aku jalan ke arah barat dan mendapati aneka stand makanan berjajar kanan dan kiri. Jalan depan penginapanku bukan jalan raya besar, melainkan hanya jalan aspal kecil. Jadi, kendaraan yang lalu lalang sangat sedikit. “Apa, tuh? Ramai amat.” Aku berlari kecil menghampiri gerobak yang ramai antrian. “Buset, jual ayam bakar doang seramai ini.” Karena keburu lapar, aku tidak mau beli yang antri. Aku memutuskan untuk menyebrang jalan dan menghampiri warung nasi ayam krispi. Tujuanku malam ini hanya mencari makan agar kenyang. Soal rasa nomor kesekian. Aku sedang tidak peduli itu. “Terima kasih, Kak,” ujar penjual sembari menyerahkan kembalian. “Sama-sama, Bu.” Aku bergegas keluar warung nasi ayam dan buru-buru menyebrang jalan. Namun, karena tidak lihat-lihat, tiba-tiba ada motor yang lewat dan menyerempetku. “Aaak!” Aku memekik keras. Aku jatuh tersungkur, pun nasi ayamku terlempar agak jauh. Penabrak itu langsung turun dan menghampiriku. Dia laki-laki, mengenakan helm full face. “Kak, sorry, sorry!” “Enggak papa, enggak papa. Saya baik-baik aja, kok. Saya juga yang salah. Nyebrang enggak lihat-lihat.” Aku melihat banyak orang menatap ke arahku, tetapi mereka tidak menolong karena yang menabrakku sudah bertanggung jawab. Aku dibawa duduk ke trotoar pinggir jalan. “Yah, nasi ayamku!” aku melepas masker dan topi, lalu memasukkannya ke dalam tas. “Sayang banget—” “M-mila?” “Hah?” aku menatap bingung. Laki-laki di depanku ini melepas helm-nya, dan seketika mataku mendelik kaget. “M-mas Rivan?” ***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD