sepenggal cerita Sofia

sepenggal cerita Sofia

book_age16+
6
FOLLOW
1K
READ
drama
mystery
intersex
asexual
like
intro-logo
Blurb

berawal dari SEPENGGAL CERITA DARI LORONG UTARA

Ini aku ya, Zakariya dipanggil Yaya. Waktu seakan kembali terhenti ketika ku lihat

“benar bu.” sahut teman-teman sedikit semerawut.

“betul saya juga tidak mau kasih nilai.” jawab Bu Yuyun.

“wah s

chap-preview
Free preview
SEPENGGAL CERITA DARI LORONG UTARA
Ini aku ya, Zakariya dipanggil Yaya. Waktu seakan kembali terhenti ketika ku lihat sepasang sepatu di bawah mataku. “kapan aku punya sepatu baru?” anganku semakin melayang jauh ke angkasa. Bel pun berbunyi dengan langkah kecil aku berjalan dari taman ke kelas tempatku belajar. Inilah awal mula kisahku sebagai pelajar dari sebuah SMP Negeri di daerahku. “assalamualaikum.” sapaku pada penghuni kelas. “waalaikumussalam.” hanya segelintir yang menjawab. Maklum yang lain masih sibuk dengan PR mereka. Langsung saja Hasim teman sebangkuku menarik tasku dan, “aku pinjam ya buku fisikanya.” aku pun mengiyakan saja. Inilah sebab mengapa aku menunggu di taman walaupun aku berangkat lebih awal dari mereka, tentu untuk menghindari razia contek di kelas. Memang aku orang yang tidak bisa merasa iba bila sudah menjadi tanggunganku sendiri semisal ya PR ini. Ketika aku duduk mata ini tak lepas dari melirik Eka, ya teman yang aku anggap sebagai pemotivasi sedari dulu. Ketika dia dapat nilai bagus motivasiku selalu ingin mendapat nilai bagus. Namun emosional anak mudah biasalah menggebu-gebu kalau soal beginian. Lagi-lagi hati dan rasa menjadi sakit karena dia tak selevel dengan diriku. Namun kalau dia bilang tak selevel harta aku bisa bilang aku tak selevel pintar. Hahaha.. paling tidak itu yang bisa aku banggakan ya hanya nilai dan kecerdasan saja. “hari ini Ibu memberi tugas halaman 78 sampai 82 ada 40 soal besok dikumpulkan di kertas folio.” seru Bu Yuyun. “ya bu baru tugas, udah tugas lagi.” sahut awan teman bangku depanku. “kalau tidak mau tidak apa.” “benar bu.” sahut teman-teman sedikit semerawut. “betul saya juga tidak mau kasih nilai.” jawab Bu Yuyun. “wah sama aja,” sahut teman-teman yang kali ini serentak. Ad by Valueimpression Ini sudah menjadi drama kelas seorang guru menggertak murid dengan guyonan lawas pikirku dalam hati. Tiba-tiba suara ketua OSIS pujaan kaum hawa di sekolah terdengar. “untuk seluruh ketua kelas bersama pengurus OSIS harap berkumpul setelah jam pelajaran selesai.” Haduh keluhku, ya maklumlah wali kelas dan teman-teman sepakat untuk memilihku menjadi pemimpin di kelas hehehe. Jam pelajaran selesai aku bergegas menuju ruang BK tempat pengumuman. Saat aku mencoba berlari dari ujung belokan dan brak seorang siswi ku tabrak. Tak sempat ku berkata maaf ku teruskan langkahku masuk ke ruangan, eh ternyata dia juga masuk. “maaf dek tadi buru-buru.” ya ini ku anggap basa-basi senior. “ya nggak apa kak saya juga takut telat.” jawabnya malu. Tak ku urus lagi dia akan bergegas mencari bangku pojok yang kosong, ya favoritku aku tidak mau bila kebanyakan bicara seperti teman-teman pada umumnya. “ya teman-teman ini ada berita acara yang mau disampaikan bu Danti.” gelegar suara Koko memecah keramaian. “ya perlu kalian ketahui, di sini Ibu mau mengadakan pameran di sekolah kita, nantinya setiap kelas harus mengeluarkan paling tidak sepuluh karya yang akan dipajang saat pengambilan rapot. Atau pengambilan ijazah untuk kelas 3. Juga akan dimeriahkan dengan tampilan panggung seni dari siswa, setiap kelas mengeluarkan satu tampilan, khusus untuk kelas 1 boleh mengeluarkan 2 tampilan.” ceramah Bu Danti. Ya sambil ngantuk aku dengar celoteh teman-teman menaggapi berita dari Bu Danti. Tiba-tiba tanpa ku sadari Bu Danti ke luar ruangan. Saat aku mau ke luar ruangan Koko berseru. “hei Yaya jangan ke luar dulu kita ambil rapat dulu.” sambil sedikit malu ku kembali ke podium pojokku. Rapat apa paling pendapat anak-anak alay yang suka ngawur omongannya, maklum musimnya boy and girl band. “aku tahu mas tadi ngantuk dengar omongannya Bu Danti, aku juga tahu kalau mas gak suka acara ginian.” suara itu terdengar sambil aku menahan kepala dengan tangan. Ku toleh ternyata anak tadi yang ku tabrak dia membagikan selebaran untuk pendapat yang mau disampaikan. Ku lirik namanya di kerudung, oh… Ajeng dari kelas G. Langsung ku tulis kertasku. “untuk acara pensi sebaiknya diadakan seleksi, agar seluruh siswa dapat mengeluarkan apresiasi. Bukan seperti biasanya hanya orang itu terus yang tampil, dimana kaum minoritas bisa berkembang, mereka saja didiskriminasikan.” tulisan ini mungkin baru muncul di tangan ketua OSIS. Setelah dibacakan semua pandangan mencari sosok orang yang menulis semua itu. “pendapat yang bagus siapa yang menulis angkat tangan.” ujar Koko. “tuh di pojokan.” Ajeng menunjukku. Dengan terpaksa aku berdiri, “ya saya pak ketua.” aku heran kenapa dia tahu kalau itu aku. “oke saudara Yaya bisa mengkoordinir penyeleksiannya.” “dengan senang hati mohon saya diberi ketua dan anggota.” “ya ketuanya Anda…” “maaf saya kurang kompeten di bidang tersebut lebih baik pilih yang kompeten. Saya akan mengawasi sebagai anggota.” Semua tersentak dan kaget, baru kali ini mungkin ketua mereka terdebat dan tidak bisa berkata lagi selain BAIKLAH. “Untuk seksi penyeleksi, ketua dian wakil Dodik anggota Zakariya, Ajeng, dan Lulu.” ujar ketua OSIS, “rapat selesai besok sepulang sekolah seluruh kegiatan bisa dilakukan sesuai tugasnya.” sambungnya setelah mengumumkan perihal lain-lain. Hari yang melelahkan, lebih lelah dari menulis karya tulis Kakakku yang akan lulus S1 dari beasiswa yayasan. “assalamualaikum.” suara Kakakku beserta motor bututnya masuk ke rumah. “waalaikumussalam.” sedikit berat mengangkat kepalaku dari ranjang. “mas itu makanannya di rak belakang, Ibu sedang ke luar sama Bapak cari nasi.” “buat apa?” “buat aku, mas makan ini aja hahaha…” aku berlari menuju kamar mandi. “dasar…” ocehan Kakakku yang tak ku hiraukan lagi. Inilah yamg mungkin membuatku menjadi dewasa, dididik menjadi anak mandiri dengan keras adalah tradisi Bapak yang tidak akan hilang sampai nanti aku dan Kakak yang mewariskan kepada cucu-cucunya. — Hari pertama seleksi, ku awali hari seperti biasa. Membantu memasak, menyapu, lalu berangkat sekolah. Naik angkutan umum menjadi hal biasa bagi anak sepertiku. Lagi-lagi ku mencari tempat pojokan. Sesampai di sekolah tak seperti biasanya, nampaknya papan reklame pensi sudah dipajang. “Kapan mereka memajang?” gumamku. Baru pukul 06.15 sekolah masih sepi ku berjalan mengitari kelas. “mas…” teriak dari lorong utara kelas. “oh Ajeng ada apa?” “mas tahu namaku, dari mana.” “apa fungsi papan nama di kerudungmu?” “hebat aku aja belum tahu nama mas.” “oh…” “mas jangan sok cuek deh, pelit amat omongnya.” “jeng…” dari lorong utara ketua OSIS datang. “ya ada apa bang?” “ngapain kamu di sini?” “ini ada…” dia terhenti karena aku sudah berjalan di balik tembok. “siapa? ngaco kamu baru 06.20.” Mungkin Ajeng kebingungan mencariku, hahaha.. aku berjalan ke taman sambil menunggu bel masuk. Pelajaran berjalan seperti biasa, aku kembali menuju lorong utara untuk menunaikan tugas. “Yaya, kamu data grup yang mau seleksi sama Ajeng.” ujar Dian selaku ketua. Aku berjalan menyusuri lorong sambil memegang selembar kertas. Langkahku sedikit gugup ketika kau mendekati kelompok kelasku yang dipimpin Eka. “mau tampil apa?” tanya Ajeng. “modern dance.” sambil tingkah alaynya. Ku lanjutkan setelah lama berbincang dari kelompok kelasku. “mas tadi ke mana kok hilang?” “ya ke kelaslah.” “bohong di kelas saat aku tempel poster, mas gak ada.” “ada kok kamu aja yang gak tahu.” “ih mas, emang gini ya karakternya?” “kalau begini, terus kenapa? Udah ayo balik.” Mungkin hanya itu segelintir kisah yang bisa ku sampaikan, singkat cerita hari itu pun tiba, pentas seni sudah dimulai. Seperti biasa aku tidak suka khalayak ramai ku tertegun sendiri di pojok area pameran sambil memegang absen kelas, mencari orangtua siswa. Kini aku mulai berpikir, mungkin kini diriku sudah mulai beranjak remaja, yang mulai tahu rasa yang sering diperebutkan anak seumuranku, ya tentu cinta. Ya, kedekatanku dengan Ajeng memang membawa warna yang tersendiri. Rasa suka kepada Eka, juga membawa lautan emosiku kepada kepositifan. Huh… anak muda sepertiku memang sulit menahan rasa pertama ini. Kini ku berjalan mencari Ajeng, bermaksud ingin meminta maaf bila selama ini diriku terlalu acuh. Seperti ditabrak kereta yang panjang sekali, setelah ku sampai di ujung lorong. Ya, ternyata Ajeng telah terlebih dahulu terjatuh pada pelukan Koko. Tanpa ku sadari memang air ini turun lamban dari pipi. Hal itulah yang membuat aku menjadi kacau balau. Sifat acuhku semakin menjadi, tempramenku tak bisa ku kendalikan. Hingga saat aku lulus, ku tutup pintu ini rapat sekali. Cukup sekali ku rasa seperti itu, cukup pula diriku menjadi seperti ini, aku ingin menggapai cita-citaku sebagai pengusaha, meneruskan usaha persawahan milik Bapak. Kini ku bersekolah di sebuah akademi yang berbasis semi militer, tentunya sangat cocok dengan karakterku. Kakakku sudah menikah dan bekerja sebagai asisten direktur di sebuah perusahaan pelayaran. Inilah aku Zakariya bin Achmad, anak pinggiran yang mungkin akan mengagetkan dunia. Ku ucapkan, sadis ternyata perasaan, jangan pernah memainkannya, jika bukan pemain yang ahli.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

JANUARI

read
44.1K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
152.7K
bc

Scandal Para Ipar

read
704.7K
bc

Om, Jadi Cinta Enggak?

read
97.2K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
4.6K
bc

Tentang Cinta Kita

read
214.5K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
172.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook