Aga masih memainkan bolpoin sembari menatap serangkaian presentasi di depannya. Namun, beberapa detik kemudian pandangan itu lurus ke depan dan fokusnya bukan lagi ke rapat perusahaan. Meskipun mungkin orang di depannya atau yang lain melihat bahwa saat ini Aga fokus ke layar laptop, tetapi sungguh pikiran itu bukan lagi tentang pekerjaan.
Selama beberapa menit berlalu, nyatanya ketidak fokusan Aga disadari oleh Evanders yang berada di sampingnya. Pria yang juga tengah menatap presentasi terkait laporan tahunan dan segala kegiatan perusahaan, mendadak memfokuskan pandangan ke Aga.
Evanders menyenggol lengan Aga yang membuat sang adik tiba-tiba menatap ke arahnya dengan bingung.
"Why?"
Bukannya mengatakan hal yang membuatnya menyadarkan Aga dari lamunan, Evanders hanya menunjuk dengan isyarat mata untuk fokus dengan rapat tahunan itu. Walau bagaimana pun, atau apa pun masalah yang Aga mungkin bawa saat ini, profesionalisme harus tetap terjaga. Dan Evanders secara tidak langsung mengingatkan semua itu, sebab Aga adalah pimpinan pusat perusahaan mereka.
"Sorry," sahut Aga yang sadar akan kesalahannya.
Rapat itu berjalan lancar. Di meja persegi yang diisi oleh beberapa jajaran penting perusahan dan pemegang saham, mereka telah mendengar dan memerhatikan beberapa kepala direksi melaporkan segala hal tentang perusahaan.
Apa yang mereka sudah capai hingga segala hal terkait pergantian jajaran penting sampai keuangan secara terbuka. Aga, sebagai pemimpin pusat Artha Group masih memerhatikan dan sesekali memberikan apresiasi dan bahasan tentang bisnisnya.
Hingga akhir rapat yang dilakukan hampir memakan waktu enam jam lebih, Aga mulai mengemukakan pendapat terkait rencana-rencana yang akan dilakukan perusahaan untuk memertahankan eksistensi dan tentunya menaikkan keuntungan dengan ide-ide baru.
"Mungkin dari saya untuk hari ini hanya itu. Saya sangat yakin dengan beberapa ide yang sudah direncanakan, perusahaan akan tetap berjaya dan juga mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari tahun sebelumnya," tutur Aga.
"Maaf, boleh saya masuk Pak Alex."
Aga yang tadinya berdiri dan kini terduduk langsungmenatap ke arah sumber suara. Ia mengangguk dan tersenyum pada pria yang usianya tentu di atasnya.
"Silakan, Pak."
"Saya mendengar bahwa enam bulan lalu atau lebih, perusahaan sempat mengalami kebocoran data. Apa hal itu tidak mengganggu? Ah, jujur saja saya baru bisa mengontrol semua akhir-akhir ini. Jadi masalah itu bagaimana untuk sekarang?"
Aga masih tersenyum dan mengangguk.
"Untuk masalah itu semua sudah clear dan tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Data di perusahaan kami sudah terenskripsi dengan baik dan kebocoran itu juga cepat teratasi waktu itu. Saya menjamin bahwa masalah itu tidak akan membuat data pribadi pelanggan tersebar luas dan digunakan untuk yang tidsk benar. Jadi tidak ada lagi yang eprlu dikhawatirkan sebab kami akan terus melakukan upgrade untuk sistem keamanannya. Bagaimana, Pak? Bisa diterima?"
Pria dengan setelan rapi itu mengangguk, bahkan sepertinya semua itu hanya pertanyaan guna memastikan saja. "Oke, saya percaya bahwa perusahaan ini bisa mengatasi itu. Lagipula saya sudah lama menginvestasikan di sini. Jadi semoga perusahaan ini bisa tetap dipercaya. Terima kasih penjelasannya, Pak Alex."
Aga mengangguk dan masih tersenyum. Hingga beberapa menit kemudian acara itu pun berakhir dengan sempurna. Walau jujur saja Aga tidak terlalu fokus pada rapat hari ini.
Setelah sedikit berbasa-basi dengan para investor perusahaan, ia berjalan ke arah ruangan di mana Evanders biasanya menempati itu. Bahkan kini ia berjalan tanpa menunggu Evanders.
"Aga," panggil Evan.
Aga langsung berhenti saat panggilan itu masuk ke pendengaran. Ia lantas menoleh ke belakang dan menyadari bahwa dirinya melupakan pria itu.
"Oh, sorry, Van. Gue nggak sadar lo masih di belakang."
"Lo kenapa? Ada masalah di Indonesia? Atau lo punya masalah pribadi?"
Aga menggeleng sebab memang bukan itu permasalahannya. Mereka pun menyusuri lobi kantor hingga tepat di depan ruangan Evanders.
"Lo nggak kayak biasanya. Hari ini bahkan lo ngelamun. Kenapa sih?"
"Gue mikirin Liona."
Evanders yang masuk lebih dulu ke dalam ruangannya mendadak berhenti dan kini menoleh ke arah Aga.
"Liona? Adek gue?"
Aga mengangguk. Setelah Liona membuka kisahnya semalam, Aga sadar bahwa ada yang benar-benar salah dengan Liona. Hingga akhirnya, pria itu tidak mampu mengenyahkan pikiran dari Liona.
"Kenapa sama Liona?"
"Lo nggak tau apa pun soal Liona?" Aga mulai bertanya balik saat nyatanya pertanyaan itu muncul dari Evanders yang harusnya tahu mengenai Liona.
Evanders menggeleng, pria itu memang tidak tahu menahu apa pun yang terjadi pada sang adik. Bukan tidak peduli, tetapi Liona tidak pernah bercerita apa pun padanya. Semua itu akhirnya membuat Evanders mempercayai sang adik bahwa perempuan itu baik-baik saja.
Sedangkan Aga kini sudah teryakinkan oleh ucapan Liona yang benar-benar tidak menceritakan apa pun pada Evanders.
"Liona ada masalah sama yang namanya Alvin. Gue nggak tau sekenal apa lo sama tunangannya Liona. Tapi sepertinya ini bukan masalah sepele."
"Alvin? Gue tau namanya, waktu itu empat tahun lalu Liona ijin ke gue untuk tunangan. Jujur aja gue agak nggak setuju waktu itu, tapi waktu nyokap gue bilang kalau calon tunangan adik gue orangnya baik dan dari keluarga baik, ya gue cuman bisa iyain. Dan waktu itu juga gue nggak bisa balik, jadi nggak tau Alvin seperti apa."
"Jadi lo nggak kenal baik sama calon Liona? Gue udah ketemu sama Liona dan Alvin sekitar delapan bulan lalu. Waktu itu gue juga kaget kalau Liona kerja di Jakarta. Terus gue ketemu lagi waktu dia sama tunangannya, tapi feeling gue udah aneh, Van. Dan semua kebukti waktu gue liat si Alvin sama perempuan lain. Dari situ gue udah ngerasa kalau laki-laki ini nggak begitu baik dan hubungan Liona juga ada yang nggak beres."
"So, yang jadi pikiran lo apa sejak tadi?" Evanders mulai bertanya membahas semua yang ingin ia ketahui.
"Gue ngerasa mental Liona dihancurin sama dia. Semalem di halaman belakang rumah lo, Liona cerita ke gue kenapa dia bisa ke sini dan dari situ gue paham yang dia ceritain belum semua, masih ada yang lain dan gue rasa Liona takut buat cerita. Waktu dia nangis pun gue ngerasa dia beneran takut. Gue nggak tau apa yang bikin dia takut, tapi gue rasa semua ada hubungannya sama Alvin."
Evanders menyimak semua penalaran Aga tentang bagaimana kondisi Liona. Sementara Aga masih mengungkapkan segala presepsinya, Evanders merasa bahwa dirinya sosok kakak yang tidak becus. Pria itu terdiam menatap lurus ke arah luar gedung, batinnya tengah bergulat. Pendengaran itu masih menangkap apa pun yang Aga torehkan.
Ada rasa khawatir yang tiba-tiba menyeruak. Ia kesal saat tidak tahu bahwa Liona disakiti oleh pria yang bahkan baru dikenalnya. Hanya karena ingin memberikan sebuah kesempatan agar Liona dapat memutuskan sesuai dengan kata hati, justru membuat sang adik seperti ini.
Evanders meremat kesepuluh jemari saat rasa kesal itu mulai menyentuh amarahnya. Rasa tidak terima terus menggebu membuat ia menahan segala bentuk emosi.
"Gue ngerasa gagal jadi Kakak kalau kayak gini, Ga. Gue bahkan nggak pernah ngerti gimana kondisi adik gue sendiri."
"Semua bukan salah lo, ini semua udah jalan takdir Liona buat pendewasaan dia, Van. Mungkin memang bener kalau waktu itu Alvin datang di saat yang tepat. Lo pasti paham sifat perempuan itu mudah luluh kalau memang apa yang ia lihat terlihat baik, meskipun nggak semua tapi rata-rata seperti itu."
"Gue nyesel udah setujuin semua tanpa gue cari tau dulu. Kalau sampai Liona kenapa-kenapa, gue bakal cari dia! Apa pun caranya gue pasti cari dia," ucap Evanders yang geram atas apa yang didengar kali ini.
Di saat mungkin emosi Evanders sedang bergejolak, saat itu juga ada sebuah tepukan di bahunya.
"Lo tenang. Gue bakal cari tau dulu apa yang dilakuin Alvin ke Liona. Lo jangan buru-buru, gue takut Liona nggak bakal cerita apa pun."
Evanders menatap Aga. Kini rasa takut itu kian mendalam saat ia ingat bagaimana Meylira juga pernah berada pada hubungan yang rumit dan bahkan sempat membahayakan nyawanya.
"Ga, gue takut Liona kayak Mey. Lo tau kan gimana rumitnya kejadian dulu?"
"Iya gue ngerti, gue bakal bantu lo jaga Liona mulai sekarang."
Evanders mengangguk dan mulai menurunkan emosi yang sempat terpancing. Ia lantas menatap Aga yang mulai menjauh darinya.
"Lo masih ada rasa sama Liona, Ga?"
Deg!
Pertanyaan itu membuat Aga bungkam dan terdiam di tempatnya. Tidak bisa dipungkiri, rasa itu memang sulit untuk padam, apalagi mengetahui kondisi Liona saat ini membuat Aga selalu merasa bersalah.
"Gue nggak tau, Van ...."
Jawaban itu lolos begitu saja dari bibir Aga. Hal yang membuat Evanders berpikir bahwa mungkin memang semua terlibat oleh sebuah rasa lagi.
"Gue tau kalian nggak sedarah, tapi kalian tetep adik-adik gue. Jangan sampai lo juga ikut mainin Liona, kalau emang lo murni peduli tolong jangan libatin perasaan apa pun dan bilang secara langsung sama Liona."
"Lo sendiri kan yang bilang secara nggak langsung kalau perempuan mudah untuk mencintai dan luluh? Gue yakin omongan lo itu bisa dipertanggung jawabin."
Aga masih terdiam, berpikir sejenak lantas menganggukkan kepalanya.
****
Empat hari berlalu, tampaknya Liona mulai kembali sedikit membuka diri. Senyum itu dapat dilihat lagi. Kehadiran Aga benar-benar merubah segala hal, terutama suasana hati wanita itu.
Ada banyak canda tawa yang dilontarkam ketika mereka sering bertemu. Aga selalu mampu membawa diri untuk membuat orang kain terlihat nyaman dengannya. Begitupun Liona yang merasakan kehangatan sikap itu dan sedikit banyak hatinya kembali berbunga. Tidak ayal sentuhan fisik juga biasa dilakukan. Menggenggam telapak tangan atau sekadar pelukan ringan ketika akan berpisah semua itu kembali hadir.
Hari ini, mereka kembali menghabiskan waktu di luar. Sejak seminggu berada di rumah saja, akhirnya Liona mau diajak keluar untuk sekadar menikmati suasana musim dingin di Paris saat malam. Sebab belum turunnya salju membuat negara itu masih cukup indah untuk dinikmati.
Hingga, akhirnya mereka berhenti di sebuah tempat dengan latar luasnya sungai dan indahnya pemandangan sekitar. Liona memegang sebuah pinggiran pembatas beton itu dan menatap ke depan dengan tersenyum.
"Baru kali ini aku bisa ngerasa happy lagi. Makasih ya, Lex."
"Kamu berhak bahagia, Liona. Masalah nggak boleh ngalahin kamu. Kamu yang harus naklukin masalah itu. Aku seneng kamu bisa ketawa kayak gini, aku juga seneng lihat kamu bisa senyum lagi."
Liona tersenyum tipis. Aga memang yang terbaik sejak sepuluh tahun lalu. Sikap lembut dan selalu mampu membuat hati berbunga itu terasa begitu memabukkan.
Namun, seketika Liona sadar bahwa semua ini hanya sesaat. Liona sadar jika Aga bukan lagi miliknya, tetapi sudah menjadi hak orang lain. Wanita itu mengerti bahwa semua perlakuan Aga saat ini hanya sebatas ingij membantu untuk melupakan apa pun masalah hidupnya.
"Lex ...."
"Ya, Liona."
"Jangan terlalu peduli sama aku ya, jangan permah terlalu perhatian. Aku takut hatiku enggak bisa kontrol perasaan ke kamu."
Aga menatap Liona yang masih fokus pada aliran sungai di depannya.
"Kenapa harus kayak gitu?"
"Aku nggak mau ganggu hubungan kami sama Jessica. Aku tau semua perlakuan kamu empat hari ini cuman biar aku nggak mikirin masalahku, kan? Aku makasih buat itu, tapi rasanya cukup. Kamu mau denger ceritaku aja, aku udah seneng, kok. Aku nggak mau terjebak lagi ssma perasaanku sendiri."
Aga menghela napas perlahan. Pria itu tahu jika saat ini ia sudah terikat janji dengan yang lain. Bahkan Liona pun juga begitu, walau mungkin kini semua sudah berakhir.
Aga sudah jengah untuk memungkiri bahwa perasaan itu sekana kembali muncul. Sudah sejak kemarin ia berpikir untuk fokus pada satu hati, tetapi relung hati terdalam tidak akan pernah berbohong. Liona masih menempati ruang rindu itu.
"Enggak semua yang saling mencintai bisa berakhir bersama Liona. Tapi bisa jadi perasaan itu bahkan semakin kuat kala berpisah. Mungkin aku sama kamu memang sudah berpisah sejak lama. Tapi asal kamu tau, nama kamu masih ada di sini," ucap Aga yang menunjuk d**a dengan jemarinya.
Liona yang menatap pria itu langsung terdiam. Wanita itu tidak pernah berekspetasi pada perasaan Aga, apalagi sejal mendengar hubungan pria itu dengan Jessica, ia merasa semua sudah tidak mungkin.
"Tapi, mungkin itu cuman sesaat, Lex. Semua itu semu, nyatanya di hati kamu sudah memiliki nama lain."
"Aku bahkan tidak yakin siapa yang semu? Kamu atau Jessica. Aku hanya mengikuti kata hati untuk mengungkapkan semua. Walau semua ini salah dan aku juga nggak mau berharap lebih, untuk saat ini bisa kah kita nikmati saja semuanya tanpa membahas nama lain?"
Liona terhenyak lagi dengan penuturan Aga. Sebisa mungkin ia mengontrol diri agar tidak pernah menyukai Aga lagi, tetapi pernyataan Aga membuat semua itu runtuh.
"Tapi, aku nggak mau Jess--"
"Sebelum aku benar-benar melepasmu, Liona. Aku bahkan nggak tau bagaimana ke depannya. Kalau memang ternyata Jessica jodohku mungkin memang kita dipertemukan tapi bukan untuk kembali bersatu. Tapi jika suatu hari nanti kamu memang pilihanku, aku nggak bisa untuk mengelak semua. Aku mau semua berjalan begini saja. Aku tau, mungkin aku egois tapi hatiku nggak bisa bohong. Aku masih sayang sama kamu, Liona."
Deg!
Liona hampir tidak berkedip sama sekali saat seluruh ucapan itu berhssil lolos dari bibir Aga. Wanita itu juga dapat menangkap nada serius dan tidak bercanda dalam setiap kalimat yang terucap.
"Jujur aku kangen sama kamu, tentang kamu dan tentang kita."
Aga kini menghadap lebih sejajar ke aeah Liona. Wanita itu masih belum bisa mengeluarkan suara sebab cukup sulit untuk menerima pengakuan Aga. Hingga sebuah sentuhan di pipi dan jarak yang terpangkas dengan sendirinya mampu membuat bibir mereka bertaut.
Ciuman itu cukup singkat bahkan tidak ada lumatan yang begitu intens. Hal yang cukup untuk menerjemahkan segalanya.
Rasanya sulit untuk melogikan semua kejadian yang ada. Liona yang terdiam belum bergerak sedikit pun tidak tahu apa yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini.
Tatapan mereka tertahan di udara dan lesungan senyum Aga sudah menajwab bahwa hatj mereka sebenarnya masih memiliki satu tujuan yang sama. Hingga salju pertama turun, membuat Liona yakin bahwa perasaan itu memang benar adanya, bahkan semesta pun memahami itu. Wanita itu percaya bahwa salju pertama yang turun adlah lambang perasaan yang berbalas.
Tidak ada yang mampu membendung perasaan, Liona sedikit berjinjit sebab tinggi Aga melebihi dirinya dan kembali mencium bibir pria itu di bawah guyuran salju pertama, yang turun dari langit Paris malam itu.