17 ~ PERSIMPANGAN HATI

1836 Words
Mata cokelat terang itu terbuka seiring hawa dingin menggelitik permukaan kulit halusnya. Jessica terbangun dari tidur dengan kondisi tubuh yang masih terbungkus selimut tebal tanpa sehelai benang pun. Ia melirik ke arah jendela kamar yang ternyata juga tidak tertutup dari semalaman. Pantas saja ia merasakan hawa dingin itu seakan menusuk tulang. Ah, cuaca di luar masih sangat mendung dan rintik hujan mulai turun walau tidak deras. Sejenak ia menyadari bahwa kegiatan panas bersama Aga semalam itu memang benar-benar terjadi. Kini ia dapat menatap wajah tampan itu saat tertidur. Matanya terus memandangi wajah Aga dari mata, hidung yang terpahat sangat indah serta bibir yang semalam membuatnya tidak mampu mengontrol diri. Semua yang ada pada diri Aga sejak percumbuan mereka semalam membuat Jessica kagum. Ada sisi sensual yang terpikirkan dan membuat wanita itu selalu teringat akan setiap sentuhan Aga. Jessica tahu ini bukan pertama kalinya ia melakukan hubungan intim. Sudah beberapa tahun lalu semua yang ia jaga harus terlepas di tangan mantan kekasihnya. Namun, kejadian lampau tidak akan membuat hidupnya berhenti. Jessica juga tidak pernah menyesali apa pun yang telah ia perbuat bersama masa lalunya sebab semua bukan karena keterpaksaan. Cinta melandasi semua. Seperti yang semalam ia lakukan bersama Aga. Bahkan cinta kembali membuat akal sehatnya tumpul. Jessica tidak segan untuk melakukan semua agar tidak ditinggalkan. Selama ini, ia mencari sosok yang seperti Aga, sebab pria itu berbeda. Baru kali ini di perkenalan awal dan kemudian berubah menjadi jalinan kasih yang terikat, pria yang bersamanya tidak sekali pun membahas perkara ranjang semata. Jessica tidak akan munafik jika di usia sematang Aga akan ada pembahasan mengenai hal seperti itu. Wanita itu menyerahkan seluruhnya untuk Aga semalam, ia yakin bahwa saat ini tidak salah memilih. Delapan bulan menjalani hubungan, baru kemarin malam Aga berani menciumnya hingga memasuki dirinya. Wanita itu berpikir bahwa tidak salah memberikan hal lebih. Jessica perlahan turun dari ranjamg tanpa berniat membangunkan pria itu. Tampaknya Aga masih enggan untuk membuka matanya walau alarm yang ada di nakas sudah berbunyi beberapa detik barusan. "Morning, Sayang," sapa Jessica lirih dan mencium kening pria itu, kemudian meninggalkan Aga dan mulak berbenah diri. Guyuran shower hangat itu mampu membuat tubuhnya lebih segar. Bahkan seluruh sentuhan yang Aga lakukan masih terasa dan membuat bulu kuduknya kembali meremang. Wanita itu tidak menyangka sisi diam Aga menyembunyikan sisi liar yang dimiliki. Jessica tersenyum saat ia yang menikmati semua itu, tetapi terkadang ada rasa cemburu tak bertuan kala opini membuat ia berpikir mungkin dulu Aga dan beberapa cinta yang datang dan pergi juga melakukan hal yang sama. Sebenarnya, Jessica juga tidak ingin membahas yang lalu dan menjadikan masalah besar, hanya saja naluri perempuan akan otomatis posesif pada kekasihnya sendiri. Apalagi mereka sudah pernah berhubungan fisik. Lima belas menit cukup baginya membersihkan diri dan membuat tubuhnya kembali segar. Handuk piyama yang melekat di tubuh wanita berkulit kuning langsat itu tidak menggamgu aktivitasnya di dapur. Jessica mencari beberapa bahan makanan atau setidaknya minuman yang ada. Hingga, akhirnya ia menemukan dua buah matcha latte sachet dan satu bungkus roti gandum beserta selai di almari gantung. "Sarapan ini aja kali, ya. Harus belanja bentar lagi," gumamnya yang mulai mengeluarkan satu persatu bahan yang ada. Dengan perasaan yang benar-benar bahagia, ia menyiapkan sarapan itu sembari tersenyum. Hingga beberapa menit menyiapkan sarapan, sebuah nada dering masuk ke pendengaran Jessica. Dan ia yakin itu berasal dari ponsel Aga bukan dari miliknya. Wanita yang tengah menyeduh minuman panasnya lantas melirik ke arah kamar dan belum menemukan tanda bahwa Aga bangun untuk sekadar mengangkat telepon. Hingga, akhirnya ia melangkah ke arah kamar lagi untuk membangunkan Aga barangkali panggilan itu penting. Langkah kakinya mendekati nakas yang terletak di sisi dekat Aga tertidur. Ia lantas menatap layar ponsel itu guna melihat siapa yang tengah menelepon. Satu nama yang tertera membuat Jessica mendadak membisu. Niatnya membangunkan Aga tiba-tiba diurungkan saat ia menatap nama di layar ponsel milik sang kekasih. Liona is calling .... Liona? Siapa Liona? Enggak mungkin kan ini Lionanya Alvin? tebak Jessica dalam hati. Ia pun bertanya-tanya dan sedikit ragu untuk mengambil ponsel itu. Sebab bagaimanapun selama menjadi kekasih Aga, ia tidak pernah lancang untuk membuka gawai pria itu atau ingin tau apa pun tentang privasi Aga. Namun, hari ini ia ingin sekadar tahu apakah nama ini adalah orang yang ia kenal atau bukan? Lalu apa hubungannya dengan Aga? Konyol jika baru saja semalam ia merasa bahwa Aga adalah satu-satunya miliknya, dan mendadak berubah haluan. Tidak mungkin apa yang selama ini ia anggap baik-baik saja mendadak seperti apa yang ada di pikiran. Opini-opini itu membuat Jessica berpikir buruk dan sedikit kesal. Namun, sikapnya masih mampu dikontrol dan tidak akan ceroboh menuduh tanpa bukti pasti. Jessica masih bisa berpikir positif dan mungkin nama itu bukan orang yang ia kenal. Banyak nama-nama sama yang ada di dunia ini dan Jessica berusaha tidak menuduh. Akan tetapi, panggilan yang terjadi dua kali membuatnya berniat mengambil ponsel yang masih memekikan nada dering itu. Namun, belum juga ponsel itu terpegang, ada gerakan dari Aga yang mungkin terganggu dengan nada itu. Mendapati Aga yang terbangun membuat ia mengurungkan niat untuk mengambil ponsel itu, hingga panggilan tidak terjawab lagi. Apalagi saat ini pria itu menatap ke arahnya. "Jess, kamu sudah bangun?" tanya Aga dengan suara paraunya. "Ah, i--iya. Sudah. Ada yang nelepon barusan. Emm, aku mau angkat takut penting, tapi udah mati duluan." "Oh ya?" Aga lantas terduduk dan bersandar di ranjang itu, kemudian mengambil ponsel yang ada di atas nakas. Aga segera mengecek siapa yang menelepon sepagi itu dan begitu tau nama sang penelepon, ia terdiam. Matanya yang tadi masih berat akibat kurangnya tidur mendadak cerah. Jantungnya yang berawal berdegup normal kini berpacu dua kali lipat. Seolah menyadari bahwa ia sedang bermain hati, Aga bahkan belum mampu menatap Jessica lagi yang masih berdiri di sisi ranjangnya. "Siapa?" Pertanyaan itu akhirnya muncul dari Jessica. Aga lantas menoleh ke arah wanita itu, di mana tertangkap raut penuh pertanyaan dan ingin tahu yang mendalam. "Duduk dulu, sini," ucap Aga menepuk tepi ranjangnya. Jessica menurut dan langsung duduk di sisi Aga. "Kamu udah baca nama peneleponnya?" tanya Aga langsung. Jessica langsung mengangguk tanpa perlu berbohong demi mendapatkan jawaban yang kini meresahkan hatinya. "Aku bisa jelasin semua kalau memang itu penting untuk kamu. Liona yang nelepon aku itu emang bener Liona yang juga kamu kenal." "Liona tunangannya Alvin, kan? Terus apa hubungannya sama kamu? Udah berapa lama kalian saling berhubungan?" Liona menatap Jessica lekat, mungkin memang ia harus jujur segalanya pada wanita di hadapannya itu. Setidaknya ia akan berbicara terkait hubungannya dengan Liona yang memang mengenal sejak sepuluh tahun lalu. ******* Di kediaman Evanders, Liona masih duduk di meja makan sembari meminum s**u hangat yang sedikit demi sedikit ia tenggak. Mata cokelat itu masih menatap ponsel yang tidak ada notifikasi dari sosok Aga. Biasanya selalu ada beberapa pesan yang mampir. Namun, sekarang semua itu belum ia terima. Sepertinya Liona mulai kembali candu akan kehadiran pria itu. Terbukti saat ini satu hari ia tidak menerima kabar Aga, semua terasa sepi. "Alex ke mana, ya? Masa iya belum bangun jam segini?" Liona mulai bertanya-tanya dan mendadak lesu kala panggilannya tidak terjawab dan belum ada balasan berarti sejak kemarin. "Liona ...." Suara bariton itu membuat Liona menoleh. Itu adalah sang kakak yang kini melangkah menghampirinya. "Kak Evan, kenapa?" "Enggak, Kakak pikir kamu belum bangun. Boleh Kakak bicara?" Liona mengangguk dan Evanders mulai duduk di depan wanita itu, menatap dengan tatapan lembut dan senyum yang terpancar. "Kakak tau kamu anak yang jujur. Kamu nggak mungkin bohong ke Kakak. Sekarang Kakak tanya, satu minggu kemarin kamu itu nggak bersemangat, jujur Kakak khawatir tapi Kakak nggak tanya kamu dan ngebiarin kamu sendiri dulu. Sekarang, akhir-akhir ini sepertinya suasana hati kamu membaik. Sebenarnya ada apa, Liona? Kamu enggak mau berbagi sama Kakak?" Liona terdiam sejenak mendapati pertanyaan itu langsung dari sang kakak. Ada ketakutan lagi yang muncul dan keraguan untuk berkata jujur. Tatapan rendah itu tidak memungkiri bahwa ada kilatan keingintahuan yang mendalam. "Kak, apa Kakak marah sama aku kalau aku ceritain semua?" "Kenapa Kakak harus marah? Kamu adik Kakak, udah seharusnya kamu cerita ke Kakak kalau ada masalah apa pun, Liona." "Liona putus sama Alvin." "Putus? Maksudnya kalian ngebatalin tunangan itu? Kamu sudah bilang ke Ibu?" Liona menggeleng. Bibir itu tertekuk ke bawah dan pandangan itu kembali menerawang ke arah luar. "Liona nggak tau gimana bilangnya sama Ibu, Kak. Liona takut Ibu kecewa dan kaget sama berita kayak gini. Dan lagi ...." Liona menggantung ucapannya sebab kalimat selanjutnya mungkin terasa sedikit sulit untuk diungkapkan. Sesungguhnya, ia tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Alvin saat ini seperti apa. Jika Liona menilai semua memang sudah berakhir, tidak ada lagi hal yang membuatnya merasa terikat. Namun, ia mendsdak ingat ucapan terakhir Alvin sebelum pria itu pergi. "Dan apa?" "Hah?" "Kamu melamun, Liona? Sebenarnya kenapa? Bilang jujur ke Kakak." "Emm, Liona punya hutang ke Alvin, Kak. Lebih tepatnya ke keluarga Alvin." Evanders mengerutkan dahi, sama sekali tidak berekspektasi apa pun apalagi tentang hutang piutan seperti ini. "Hutang apa? Berapa?" "Hutang pengobatan Ibu, Kak. Waktu itu Ibu sempet kecelakaan dan butuh operasi. Kebetulan banget saat itu uang yang kekumpul nggak menutup semua. Aku terpaksa pinjam Alvin karena sama sekali nggak kepikiran ke Kakak. Aku juga takut ganggu Kakak dan banyak deh pikiran Liona waktu itu." Evanders yang mendenga itu sontak saja terkejut bukan main. Selama ini, bahkan ia sampai tidak tahu bahwa Ibunya sempat mengalami kecelakaan. Pria itu mendadak mengutuk diri sendiri yang seakan tidak becus menjadi sosok anak dan kakak bagi keluarganya sendiri. Kesibukannya memang tidak bisa dibantah dan bahkan tidak jarang keluarga kecilnya sendiri pun kekurangan waktu bersama. Namun, ia yang sampai tidak tahu bahwa ada musibah di Indonesia sangat menyesal bukan main. "Kenapa kamu nggak pernah bilang ke Kakak soal itu, Liona. Lalu Ibu bagaimana sekarang? Apa yang luka waktu itu dan apakah semua normal sekarang?" "Kakak nggak perlu khawtair, Ibu sudah baik-baik aja, kok. Liona minta maaf banget, Liona pikir semua itu bisa Liona atasi sendiri tanpa ngerepotin Kakak. Tapi ternyata Liona malah bingung kayak gini." "Keluarga Alvin minta uang itu? Berapa totalnya, bilang ke Kakak. Kakak yang bakal lunasin semua. Kakak nggak mau kamu terikat seperti ini, Liona." Liona terdiam lagi, memang bukan hal sulit bagi sang kakak membayar sejumlah uang itu. Namun, ia berpikir masalah ini semakin rumit. Entah, apa yang ia rasakan tetapi perasaannya kini tidak enak sama sekali. "Nanti aku bikang ke Kakak berapa nominalnya kalau aku udah siap komunikasi sama Alvin, ya ...." "Liona ...." Liona kembali menatap Evanders. "Apa Alvin nyakitin kamu? Seberapa fatal itu?" Pertanyaan itu belum mampu Liona jawab dengan gamblang. Ingin rasanya bibir itu berkata semua yang dilakukan Alvin. Ingin rasanya ia mengadu agar hidupnya sedikit tenang. Namun, bibirnya bungkam dan terkunci saat sang Kakak mulai mengungkit masalah hubungannya dengan Alvin. "Liona, are you okay? Kakak nggak mau kamu disakitin siapa pun itu. Kamu bilang ke Kakak apa pun masalah kamu, ya. Jangan disembunyiin lagi dan bikin Kakak khawatir." Liona masih bungkam dan menatap Evanders yang benar-benar menunjukkan rasa khawatirnya. "Bukan itu masalahnya sekarang, Kak. Bukan itu ...." Liona kembali terdiam. Tapi aku merasa mulai jatuh hati sama Alex lagi, ungkap Liona dalam batin yang bergejolak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD