Dua tahun kemudian~
Artha Group, perusahaan properti berbasis teknologi itu kembali mencapai puncak kejayaan. Sudah hampir 34 tahun berdiri dan masih mampu bersaing dengan beberapa perusahaan baru di bidang yang sama.
Artha Group menjadi salah satu dari lima perusahaan properti terpercaya di Kota Jakarta. Kualitas yang diutamakan membuat perusahaan tersebut banyak mendapatkan penghargaan dan tidak luput dari penawaran proyek besar.
Hal yang kini membuat Aga—sebagai pemimpin generasi ketiga Artha Group pusat setelah sang kakak tiri yang kini memimpin di anak cabang—turut berbangga atas pencapaian yang telah diraih.
Pintu ruangan Aga diketuk oleh seseorang, membuat atensi pria yang duduk di kursi kulit itu menoleh.
"Masuk," titahnya.
Seorang tangan kanan, Gerald, masuk ke dalam ruangan tersebut dan beranjak menemui Aga.
"Tuan Alex, ini laporan tentang Artha Group beberapa bulan terakhir, perkembangannya sangat baik. Sementara ini perusahaan yang berada di Perancis sedang melakukan akuisisi pada perusahaan teknologi baru, Tuan," ucap Gerald yang menyerahkan beberapa dokumen di tangannya pada Aga.
Aga mulai mengernyitkan alis. Pria itu lantas menatap ke arah ponsel dan mengambilnya. Membuka aplikasi chating dan ditemukan beberapa kali Evanders memang melakukan panggilan dalam tiga hari ke belakang.
"Perusahaan baru? Apakah Evan sudah memikirkannya? Kenapa dia melakukan akuisisi? Saya belum mendapat kabar langsung dari Evan."
"Sudah, Tuan, karena perusahaan itu memiliki teknologi terbaru yang perusahaan kita belum memilikinya di sana, tetapi sayangnya perusahaan tersebut tidak berkembang karena masalah internal dan belum memiliki nama yang kuat. Alasan itu yang membuat Tuan Evan mengambil keputusan untuk mengakuisisi perusahaan. Tuan Evan yakin untuk mengambil alih karena benefitnya lebih menguntungkan tanpa harus melakukan ekspansi mandiri."
"Apa masalah internal itu tidak mempengaruhi citra perusahaan?"
"Sejauh ini tidak, Tuan. Semua permasalahan hanya karena masalah permodalan yang minim, sehingga pergerakan bisnis melambat."
Aga mengangguk mendengarkan penjelasan Gerald. Memang beberapa minggu terakhir ia belum mampu fokus pada perusahaan di Perancis. Segala keperluan terhubung dengan Gerald. Ia masih memiliki tanggung jawab pada proyek kawasan blok yang dilakukan oleh Artha Group, membuat waktunya tersita cukup banyak.
"Baiklah, nanti biar saya memastikan lagi pada Evanders. Lakukan yang terbaik saja, saya tidak mau ada kesalahan apa pun."
"Baik, Tuan."
"Terima kasih, Gerald. Kamu boleh keluar."
Setelah kepergian sang tangan kanan, Aga mengambil laporan di meja kerjanya dan membaca sekilas. Ia memerhatikan setiap laporan yang ada di kertas itu, membolak-balikan dokumen guna meneliti pekerjaan para karyawannya.
Pria itu kemudian meletakkan semua dokumen di meja. Mata cokelanya melirik pada sebuah kalender. Hari ini tepat di mana sepuluh tahun mendiang sang ayah meninggalkannya.
Rasanya masih tidak percaya. Banyak hal yang terjadi selama itu. Semua proses kehidupan tanpa kedua orang tua membuat Aga terpaksa mendewasakan diri, meskipun masih banyak permasalahan rumit yang menghampiri.
Menjalani pendidikan setinggi mungkin dan menyibukkan dengan berbagai pekerjaan merupakan cara terbaik Aga untuk menanggulangi rasa kesepian. Hingga, ia lupa bahwa ia belum benar-benar bahagia dengan kehidupannya sekarang.
Aga pun berdiri, meninggalkan kursi itu dan berjalan keluar dari ruangannya. Ia menuju ke lobi utama, melangkah ke arah mobil dan melaju ke sebuah tempat yang jelas menjadi tujuan utama saat rasa rindu itu menggebu.
Hingga, tiga puluh menit berlalu, ia telah sampai di sebuah pemakaman di mana pria berkemeja putih yang dibalut jas berwarna gelap itu selalu merasa senang berkunjung ke tempat tersebut. Bertemu dengan sang ibu dan ayahnya membuat Aga merasa senang meskipun hanya sebatas nisan.
Sepasang lensa hitam terpasang menutup mata cokelatnya. Jelas, meskipun ada rasa bahagia, sedikit sesak dalam d**a masih terasa. Andai waktu bisa diputar, ia hanya ingin kedua orang tuanya masih berada di dunia. Melihat hingga ia berhasil mewujudkan cita-cita mereka.
"Morning, Pa, Ma. Kalian apa kabar? Heemm, udah lama ya Papa ninggalin Aga, Mama apalagi ... tapi kalian bisa lihat sekarang, Aga bisa sukses juga kan? Papa bangga kan sama Aga sekarang? Oh iya, Papa punya cucu lagi loh. Evan baru saja memiliki bayi lagi dengan Kak Mey. Mereka jadi keluarga yang bahagia, dan hubungan kami juga semakin baik dengan keluarga Uncle Kevin sekarang."
Ia mengusap nisan Aditya dan Anggi perlahan. Di bawah nisan telah disematkan segala bentuk kasih sayang sang orang tua pada dirinya. Ia sadar mereka sangat menyayanginya. Ia sadar bahwa kepergian Aditya membuat karakter dalam dirinya menguat dan menjadikan sosok yang mandiri, sama seperti Aditya.
"Makasih, Pa. Papa sudah memberikan banyak pelajaran di hidup Aga. Aga mengerti sekarang, tenang ya, Pa. Tenang ya, Ma. Aga akan selalu mendoakan Mama dan Papa, dan akan selalu sering mengunjungi Papa dan Mama."
Ia tersenyum memandangi kedua pusara itu, walau ada genangan air mata di pelupuk. Aga yang dulunya bisa dibilang banyak tingkah itu, kini berubah menjadi sosok dewasa penuh pertimbangan dan sikap yang bijak. Ia mulai bisa menerima semuanya dan mulai terbiasa dengan kehidupannya yang mandiri.
"Alex—"
Suara itu, suara yang masih dikenal oleh Aga. Ia lantas menoleh ke sisi belakangnya secara spontan. Pria itu terhenyak saat melihat seorang wanita dewasa tersenyum padanya. Ia mengernyitkan alis, mencoba mengingat sosok di depannya saat ini karena takut salah mengenali.
Sebaliknya, wanita itu mencoba terlihat setenang mungkin. Ia juga tidak menyangka bisa bertemu dengan Aga setelah sepuluh tahun lamanya. Jujur saja, jantungnya sudah berdegup dua kali lipat lebih kencang. Ada kecanggungan yang menyergap, tetapi ia berusaha tersenyum menanggulangi kegugupannya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya wanita itu.
"Li--ona?" tebak Aga saat ia mengingat wanita yang kini berdiri di depannya.
Liona kembali tersenyum pada Aga saat pria itu mengingat dirinya. Ya, setidaknya mengingat namanya.
"Kamu sudah mengingatnya?"
"Kamu ... di sini? Sedang apa?"
Liona tersenyum dan menatap kedua makam di depannya.
"Aku hanya ingin mengunjungi mereka. Dan ternyata kebetulan kamu juga di sini. Aku nggak kenapa-kenapa kan berkunjung ke sini, ke Papa kamu?"
Tanpa mampu berkata dan masih terbilang syok dengan kehadiran Liona, Aga mengangguk saja. Pria itu tertegun melihat perubahan Liona kali ini. Rambut panjang yang terkucir rapi membuat wanita itu semakin cantik. Pulasan make-up di wajah dengan kaca mata bertengger juga membuatnya tampak dewasa. Ia juga tidak menyangka bahwa mereka dipertemukan kembali setelah sepuluh tahun terpisah.
Liona lantas terduduk di depan makam Aditya dan menaruh bunga di sana.
"Paman apa kabar? Sudah sekian lama, Liona minta maaf kalau Papa Liona menyakiti kalian. Tolong dimaafkan ya, Paman."
Liona menatap nisan bertuliskan nama Aditya, setelahnya melirik ke sisinya di mana nama Anggi tertera. Ada rasa pilu yang membuat semua ingatan sepuluh tahun lalu terusik dalam benak. Tanpa sadar Liona menitikkan air mata. Ia menyadari bahwa masalah masa lalu orang tuanya sangat pelik dan ia baru mengerti semua itu.
Akhirnya ia paham bagaimana kehilangan orang yang dicintainya. Mendiang sang ayah juga sudah menorehkan segala pelajaran hidup untuknya.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Aga yang menyadari ada isakan tertahan dari wanita itu.
Liona mulai menghapus air matanya, ia berdiri dan tersenyum sekali lagi pada Aga.
"Why, Liona?"
"Nothing, Lex. Enggak kenapa-kenapa ... maaf ya, aku pergi dulu. Makasih udah ngebolehin aku berkunjung ke Papa kamu," ucapnya yang lantas melangkah pergi melewati Aga yang masih terpaku di tempatnya.
Aga menganggukan kepala, ia masih saja menatap Liona hingga menjauh darinya. Pria itu tidak mencegah Liona pergi meskipun ingin. Entah hingga saat ini ia tidak mampu memilih sandaran hati yang tepat. Sejak ia dan Liona terpisah, saat itulah hatinya membeku. Aga mengalihkan pandangan dan kembali menatap kedua makam orang tuanya.
Sepuluh tahun rasa itu belum menghilang sama sekali. Meskipun sebenarnya ia mampu bertukar kabar dengan Liona, sebab Evanders juga merupakan kakak tiri dari wanita itu. Namun, nyatanya tidak semudah yang dipikirkan. Ia kehilangan kontak dengan Liona dan sama sekali tidak mendapat kabar apa pun. Menanyakan pada Evanders bukan hal yang menjadi solusi dan membuat Aga mengunci hati sampai detik ini.
"Ma, Pa, Aga pergi dulu. Nanti kapan-kapan Aga ke sini lagi. Aga pamit ya, Pa, Ma ...."
Pria itu mulai melangkah meninggalkan pusara. Berjalan menuju ke arah mobil dan menjadikan pertemuannya dengan Liona seperti angin lalu. Padahal ia ingin mengobrol lebih banyak, setidaknya menanyakan kabar tentang wanita itu.
****
Mobil berlogo banteng itu memasuki sebuah rumah yang sudah bertahun-tahun berdiri. Mungkin hanya beberapa perbaikan dan perubahan suasana yang membuat bentuk bangunan itu sedikit berubah. Namun, tetap saja apa pun di dalam sana masih sama. Aga tidak merubah apa pun peninggalan orang tuanya, semua masih pada tempatnya tanpa berpindah.
Langkah kakinya menyusuri halaman rumah hingga memasuki pintu utama. Ia tertegun saat pintu itu sudah terbuka sedikit. Membuat dahinya berkerut dan mulai menyusuri sekeliling.
"Oh, Tante dateng," gumamnya setelah menyadari bahwa ada mobil di sekitar halaman rumahnya.
Aga pun memasuki rumah dan benar saja anak kecil berusia kira-kira tujuh tahun, anak paling kecil sang Tante langsung berlari ke arahnya.
"Kakakkk!"
"Oh hey, Larissa. Kapan kamu datang?" tanya Aga yang berjongkok mensejajarkan dirinya dengan sang sepupu.
"Udah tadi, sama Mama."
"Mamanya ke mana?"
"Ada di dapur, Kak."
Aga tersenyum, ia berdiri dan menggandeng gadis mungil itu menuju ke arah dapur. Dilihatnya sang Tante, adik perempuan dari ayahnya tengah berdiri dengan sang assiten rumah tangga di depan meja dapur.
"Tante Silvi ...."
Wanita paruh baya berusia 50 tahunan itu menoleh dan lantas tersenyum. Saat kepergian sang ayah, kedua adiknya sangat memerhatikan kehidupan Aga. Bisa dibilang mereka menjadi wali setelah kepergian Aditya. Apa pun yang terjadi dalam kehidupan Aga, mereka akhirnya turut campur.
Bagai orang tua kedua, Aga juga sangat sopan pada saudara dari papanya itu. Ia bahkan juga mempersilakan jika ingin berkunjung ke kediamannya tanpa harus menunggunya ada di rumah.
"Kamu udah pulang, Ga. Kirian malem pulangnya. Tante bawain sesuatu buat kamu. Kata Bibi Ina kamu akhir-akhir ini suka lembur, ya. Jadwal istirahat sama makan kamu juga berantakan."
"Ya namanya juga banyak pekerjaan Tante, harus segera diselesaikan."
"Iya, Tante tau, tapi kalau makanmu juga nggak diseimbangin lama-lama kamu bakal sakit. Kebetulan Tante udah bikinin kamu makanan yang lumayanlah ya nambah imun. Bentar lagi Tante bikinkah s**u jahe buat kamu. Kamu mandi aja dulu beberes," ujar Silvi diikuti lesungan senyum.
Aga membalas senyum itu. Tanpa kedua orang tuanya pun sesungguhnya hidup Aga tidak terlalu buruk. Keluarga sang ayah begitu baik dan memerhatikan satu sama lain. Perhatian yang diberikan pun sudah lebih dari cukup untuk Aga.
Pria itu pun melangkahkan kaki menapaki anak tangga. Bergegas ke kamarnya dan menyegarkan badan.
Ada sekelebat pikiran tentang pertemuannya dengan Liona tadi. Di bathup tempatnya berendam saat ini, Aga memusatkan perhatian pada sosok yang membuat hatinya kembali bergejolak.
"Ini kebetulan atau memang takdir?"
Aga tidak bisa membendung semuanya. Jika memang semua takdir untuk dipertemukan bisa jadi suatu hari mereka akan bertemu lagi. Namun, bisa juga semua hanya kebetulan semata.
"Wait, bukannya kebetulan juga takdir? Hisshh! Pusing! Kenapa juga gue mikirin hal yang nggak jelas kayak gini?"
Pria itu menghela napas kasar dan sejenak memejamkan mata menikmati ketenangan yang didapatkan. Air hangat dalam bathup cukup membuat pikiran turut mengendurkan ketegangan.
Dua puluh menit berlalu, Aga mulai menyudahi acara berendamnya. Ia mulai mengenakan kaus santai dengan celana jeans pendek kemudian keluar dari kamar.
Sore itu cukup cerah, suasana yang cocok untuk bersantai. Ia segera beranjak ke arah ruang tengah di mana sang Tante dan sepupunya ada di sana.
"Udah mandinya, Ga? Nih kamu minum dulu, biar stamina kamu terjaga," ujar Silvi yang menunjukkan segelas minuman yang ada di meja depan sofa.
Aga pun mengambilnya dan meminum sedikit demi sedikit sembari duduk di sisi Tantenya. Rasanya memang menyegarkan, bahkan d**a terasa lebih hangat.
"Enak, Tan. Makasih banyak, ya, Tan, repot-repot bikinin beginian."
"Kamu tuh ya, kalau aja Tante nggak nanya ke Bi Ina, kayaknya Tante enggak bakal tau kalau kamu terlalu sibuk untuk kerjaan kamu."
Aga kembali menghela napas. Memang, dua tahun ini rasanya ia sedikit gila kerja. Tidak lagi peduli dengan jam istirahat dan makan teratur, ia justru lebih giat berada di lapang guna mengawasi proyek agar selesai tepat waktu dan tidak ada kesalahan apa pun.
"Tante tau kamu begini juga sebenarnya buat pelarian. Tante paham kok kamu kesepian kan? Evan udah punya keluarga dan hidup di Paris. Tante juga nggak bisa selalu stand by di sini. Tapi ya jangan sampai gila kerja, kesehatan itu nomor satu Aga. Kamu harus sehat untuk bisa mimpin perusahaan kamu."
Aga membenarkan seluruh ucapan sang tante. Rasa kesepian masih menjadi hal utama yang memicu apa yang ia kerjakan sampai detik ini. Meskipun ia sudah mampu berdamai dengan semua keadaan, tetapi tidak munafik untuk mengakui rasa sepi itu.
"Kayaknya kamu udah butuh pendamping deh, Ga. Masa Tante harus ingetin kamu terus, kan lebih baik ada istri yang bisa ingetin kamu tiap hari."
Ada sebuah decakan halus dari Aga. Selalu saja arah pembicaraan apa pun ujung-ujungnya tentang pasangan.
"Ya nanti kan ada sendiri, Tan, jodohnya."
"Ya sampai kapan, Aga?"
Aga mengedikkan bahu dan mengambil minuman tadi serta menenggaknya.
"Begini aja, Tante punya temen, anak pertamanya udah gede usianya 25 tahun. Kamu kenalan dulu ya ... Tante yakin dia baik kok."
"Ya ampun, Tante. Masa iya mau dijodoh-jodohin kayak gitu? Bukan jamannya Tante ...."
"Udah, coba kenalan dulu aja kali aja cocok kan ... mau ya?"
Aga terdiam sejenak. Namun, saat menatap sang Tante yang penuh harap, rasanya tidak sopan menolak tawaran itu. Lagipula hanya berkenalan, tidak lebih.
"Oke deh, Tan. Kenalan dulu kan?"
Silvi mengangguk dengan antusias. Wanita paruh baya itu langsung saja menyabet ponsel yang ada di meja dan fokus ke benda piph itu untuk beberapa waktu.
Sedangkan Aga, hanya tersenyum dan memilih menonton acara televisi yang tengah ditonton sepupunya.
Perihal jodoh, sebenarnya Aga tidak terlalu meminta yang sempurna. Hanya saja hatinya amsih belum mampu menerima yang lain, apalagi baru saja bertemu dengan sosok Liona, membuat perasaan itu kembali bergejolak membara.