21 ~ HAMPIR MATI

1816 Words
Nyawa Liona hampir saja melayang! Andai waktu bisa diputar, Liona akan bersikeras untuk menolak seluruh ucapan Alvin. Persetan dengan reputasi diri, ia tidak mau lagi merasakan aborsi yang teramat menyakitkan. Kata hatinya memang selalu kalah dengan semua sikap dominan Alvin. Selalu saja, tidak pernah mampu untuk sekadar berbanding terbalik. Bibirnya terlalu kelu untuk sekadar memprotes dan memberontak. Semua hanya berujung anggukan yang membuatnya mau tidak mau setuju dengan pemikiran dan keputusan Alvin. Tetes demi tetes cairan infus yang mengalir di pembuluh darah, membuktikan bahwa kini tubuh Liona lemah tidak berdaya. Sebelum itu, 24 jam yang lalu, ia tidak mampu sadarkan diri setelah proses penguguran janin itu berhasil. Liona mengalami pendarahan hebat hingga akhirnya dilarikan ke rumah sakit. Wajah pucat dan mata sembab menjadi hal yang teramat buruk dari kondisi Liona. Tidak ada tenaga dan semangat juga turut memprihatinkan. Ada hal krusial yang dipikirkan Liona saat ini. Tentang dirinya yang semudah itu masuk ke rumah sakit tanpa ada pemeriksaan lain. Pihak rumah sakit tampaknya berhasil di suap sebab terdiam atas kasus kriminal yang ia lakukan. Pembunuhan terhadap janin bisa membuat ia dituntut dan diperkarakan. Namun, semua itu tidak terbukti saat Liona masih saja tertidur nyenyak tanpa adanya polisi yang datang untuk mencarinya. Dugaan keterkaitan nama Alvin dan orang-orang yang ada si belakangnya lah yang mungkin membuat semua tertutupi sempurna. Meskipun kehidupan tenang dari jerat hukum terlindungi, tetapi penyesalan meliputi benak Liona. Ada rasa takut mendalam dan sesal tak berujung. Rasa sakit yang masih terasa turut mengganggu mental Liona. Ia bahkan terus mengusap perutnya secara tidak sadar dan menangisi semuanya. 'Kamu pembunuh, Liona. Sama seperti Papa kamu. Kamu pembunuh!' Air mata pun jatuh membasahi pipi saat penyesalan hadir lagi. Sejak ia mulai sadar, air mata itu belum sepenuhnya berhenti. Rintik hujan di luar pun menambah kesan sendu dan dramatis. Liona hampir tidak berkedip menatap jendela di kamar yang diyakini kamar VIP, sebab ia hanya sendiri di ruangan itu. Hingga, beberapa memit kemudian, sebuah tangan mengusap kepalanya. Membuat Liona menoleh dan menatap ke sisi kanan. Dia, Alvin, sosok yang saat ini bahkan tidak pernah berkata maaf atau khawatir berlebihan. "Kamu sudah baikan?" tanya Alvin dengan nada yang sudah berubah dari sebelumnya. Tidak ada nada keras yang kemarin ia terima sehingga praktis membuatnya memutuskan hal sepihak. Andai Liona tidak tahu siapa Alvin dari Jessica dan dari mata kepala sendiri, mungkin ia akan luluh dengan segala sikap dan perhatian yang ditunjukkan. "Kamu nggak mau minta maaf ke aku?" Pertanyaa Liona yang tiba-tiba itu langsung membuat Alvin mengerutkan dahi dan duduk di kursi sisi ranjang pasien Liona. "Untuk apa?" "Untuk apa kamu bilang?" Liona yang tadinya menahan diri untuk tidak membuat keributan, seakan terpancing dengan tanggapan Alvin. Sikap tidak acuh dan terlalu menyepelekan Alvin lah yang selalu membuat Liona naik pitam. "Aku hampir mati, Vin. Aku kemarin udah bilang buat mundur kan? Aku siap nanggung semua meskipun itu sendirian tapi kamu maksa. Aku hampir mati, Vin, hampir mati!" Alvin memutar bola matanya seolah malas diingatkan hal itu. "Tapi kamu nggak mati, kan, Liona? Kamu masih hidup kok. Harusnya kamu yang berterima kasih sama aku. Aku masih peduli buat bawa kamu kesini, Liona." Apa ini? Alvin bahkan tidak peduli pada nyawa Liona sekali pun. "Vin ... kenapa jahat banget sih?" tanya Liona yang benar-benar sudah lelah menanggapi sifat egois Alvin. Alvin kembali mengerutkan dahi. Ia lantas tersenyum dan kembali memainkan rambut Liona serta kembali mengusap kepala wanita itu. "Aku enggak jahat Liona. Aku hanya enggak siap punya anak. Apalagi nikah cepet, belum sekarang. Tapi tenang, aku masih cinta sama kamu, aku nggak peduli kamu kayak apa tapi aku tetep cinta sama kamu." "Emangnya aku kenapa, Vin? Aku buruk? Aku kotor di depan kamu? Gitu?" Sungguh, Liona tidak habis pikir dengan seluruh kalimat yang tercetus dari mulut Alvin. Semua terucapkan tanpa harus bersusah payah menahan. Hal yang justru semakin menyakiti hati Liona. Sementara Alvin, menatap Liona dan seketika itu tatapannya menjadi dingin. Ia usap pipi Liona hingga bibir wanita itu. Jujur saja, ia mengagumi apa pun dari Liona. Wajah wanita itu cantik walau tanpa sapuan make up tebal. Tubuhnya sangat ideal ditambah kulit putih dan halus seperti sutra benar-benar membuat Alvin tergila-gila. Bibir penuh itu bahkan selalu membuat kesan seksi pada Liona. Semua itu yang membuat Alvin tidak ingin melepas Liona. Hanya karena fisik dan mampu diperdaya. Tidak seperti wanita lainnya, Liona sangat penurut dan tidak terlalu merepotkan Alvin. "Apa cintaku aja nggak cukup sekarang?" Alvin mulai bertanya setelah keterdiaman itu terjadi hingga lima menit lamanya. "Aku butuh tanggung jawab kamu! Tapi kamu justru hilangin tanggung jawab kamu. Apa pantas kamu bicara cinta lagi sekarang?" "Lalu mau kamu apa, Liona?" "Aku nggak bisa sama kamu. Aku rasa kamu udah nggak cinta sama aku, Vin, atau sebenarnya kamu memang nggak pernah cinta. Kamu bahkan tega nyakitin aku sampai kayak gini. Apa kamu nggak sadar semua kelakuan kamu udah nyakitin aku?" Alvin kembali terdiam cukup lama hingga seringai itu muncul lagi. "Oh, setelah berhasil bikin aku ngeluarin duit buat janin sialan itu, kamu mau pergi dari aku gitu? Hebat banget kamu, ya, morotin aku dulu baru pergi." Liona langsung menatap nyalang pria itu. Tubuhnya memang masih lemah, tetapi hatinya benar-benar sudah memanas menahan emosi saat setiap tingkah laku Alvin masuk ke dalam ingatan. Alvin berdiri dari tempatnya, ia sedikit membungkuk dan tiba-tiba mengeratkan genggaman di rahang Liona. Hal yang membuat Liona spontan berusaha melepaskan diri dari rasa sakit itu. "Denger ya, aku bisa aja membunuhmu kemarin dan membuatmu menyusul janinmu itu. Tapi sayang, aku rasa aku nggak mungkin ngotorin tangan ku buat p*****r kayak kamu!" Deg! Liona mematung mendapati ucapan kasar Alvin lagi. Pertahnan mentalnya yang semula kuat kembali dijatuhkan dengan mulut kotor Alvin. "Kamu pikir, semua yang aku keluarin gratis? Enggak, Sayang. Semua ini mahal, kalau kamu mau lepas dari aku balikin semuanya. Totalnya cuman 50 juta, belum lagi hutang buat biaya Ibu kamu dulu. Tapi ... ada tapinya. Kalau kamu nurut sama aku dan nggak banyak protes kayak gini, aku anggap hutang mu aman, nggak aku tagih, paham?" Ada sentakan yang akhirnya membuat Liona mengangguk demi membuat tangan kasar itu berhenti mencengkeram tulang rahangnya. Sungguh, hati Liona semakin sakit saat mendengar semua dikaitkan dengan uang, uang, dan uang lagi. "Nurut ya, kamu jangan banyak protes deh, kan apa pun aku kasih buat kamu. Rumah aku yang bayar, biaya hidup kamu selama di Jakarta aku juga yang nanggung kan? Makanya jangan apa-apa tuh protes terus. Emangnya aku nggak mikirin kamu apa." Ada seringai yang terlihat oleh Liona, membuat wanita itu ngeri dengan Alvin yang semakin lama menunjukkan siapa dirinya. "Kamu gila, Vin!" "Emm, mungkin. Aku gila karena kamu. Aku nggak mungkin bisa bertahan lama di hubungan kalau nggak secandu ini ke kamu. Seneng nggak aku ngomong gini? Pasti kamu tersanjung kan?" Alvin memang benar-benar gila dan sayangnya Liona terjebak dengan orang tidak waras ini. Wanita itu masih diam walau pandanganmya masih menatap ke arah Alvin dengan tajam. "Aku nggak mau lihat kamu bahagia sendirian, Liona. Apalagi bahagia tanpa aku. Jangan harap aku mau lepasin kamu. Jangan harap, Liona!" Alvin mendekat dengan posisi membisiki Liona. Pria itu memasang tampak seriusnya. "Kalau kamu masih mau minta pisah, jangan salahkan kalau se-Indonesia tau apa yang sering kita lakukan. Jangan sampai jejak digital itu kesebar, Liona. Karena bukan aku yang bakal hancur tapi kamu. Andai aku dipenjara itu hanya formalitas. Tapi kamu, seluruh orang akan melihat tubuh kamu, mereka akan melihat bagaimana kamu di ranjang. Apalagi kalau mereka tau kamu pernah aborsi. Aku nggak ikutan nanggung hujatan mereka ke kamu." Deg! Tidak ada yang mampu dilakukan Liona lagi sekarang. Kalimat itu membuat dirinya bungkam dan tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun. Bodoh jika Liona ingin semua terbongkar. Dirinya memang kotor, tetapi biarlah semua tersimpan bersama orang yang dulunya ia harapkan menjadi satu-satunya dalam kehidupannya. Kini, menjalani hubungan bersama Alvin, tidak lebih dari sekadar menjaga privasinya sendiri. Liona takut semua itu terjadi dan keluarganya sampai tahu. Ia tidak ingin sang Ibu mengetahui bagaimana tingkah lakunya saat ini. "Aku nggak akan minta pisah lagi ...," lirih Liona. **** Satu minggu selang dirawatnya Liona di rumah sakit, ia mulai kembali menjalani aktivitas. Saat ini, langkah kaki itu tengah menuju ke ruangan Dekan Fakultas sebab ia menerima panggilan dari Dekan terkait surat resign-nya. Tahun ajaran semester genap akan di mulai minggu depan, otomatis kampus terihat sudah sedikit ramai sebab ada beberapa hal yang harus di urus mahasiswa seperti mendaftar praktikum dan lain-lain. Sejak keluar dari rumah sakit, Liona mengurung dirinya di rumah tanpa melakukan aktivitas di luar. Rasanya ia belum sanggup untuk berinteraksi dengan siapa pun. Namun, hari ini sebuah pengecualian. Ia memberanikan diri untuk melangkah keluar rumah hanya demi mengurus hal-hal penting. Lift di lantai dasar berdenting dan terbuka, Liona segera masuk saat tahu lift itu kosong. Setelahnya, ia keluar di lantai lima dan segera menuju ke ruangan Dekan Fakultas di mana ia mengabdi menjadi dosen selama satu tahun ini. Pintu itu diketuk oleh Liona, saat ia tahu sang dekan berada di dalam ruangannya. "Permisi, Pak Abaz ...." Pria paruh baya itu lantas menoleh ke arah pintu dan memerhatikan siapa yanh datang. "Ah, Bu Liona. Masuk-masuk, Bu," ujar Abaz mempersilakan wanita itu masuk. Liona pun masuk dan duduk di bangku depan meja sang Dekan. Ia masih terdiam sampai pria di hadapannya selesai dengan aktivitasnya. "Begini Bu Liona, saya baru saja tau ada surat resign dari Bu Liona. Selama ini saya masih ada di luar kota untuk beberapa urusan. Yang ingin saya pastikan, apakah Bu Liona serius untuk mengundurkan diri dari kampus ini? Sayang sekali Bu Liona, padahal menurur beberapa mahasiswa anda mengajar dengan cukup baik. Dan selama ini juga tidak ada masalah berarti." Liona mengangguk. Semua memang terbilang buru-buru dan bahkan sangat disayangkan apabila ia mengundurkan diri menajdi dosen kampus itu. Banyak hal yang ia dapatkan selama mengajar. Mulai dari Mahasiswa yang super pintar hingga mahasiswa dengan tingkah laku ajaib, semua membuatnya sedikit hidup dengan sedikit banyak interkasi yang ada. Namun, apa daya, ia masih harus menenangkan dirinya. Berawal ingin menenangkan diri di Paris pasca putusnya dari Alvin, ternyata ada hal yang lebih buruk mengintai. Hal itu membuat proses menenangkan diri berubah menjadi prosea mendamaikan diri dengan segala takdir hidupnya. "Maaf sebelumnya Pak Abaz. Saya mengundurkan diri juga karena masih ada usaha yang harus saya teruskan dan menemani Ibu saya karena beliau sendirian di Bogor. Memang saya rasa semua sangat disayangkan, tapi mungkin ini pilihan yang paling baik untuk saya. Saya juga percaya banyak di luar sana yang ilmunya lebih baik dari saya." "Oh begitu ya, ya sudah kalau memang itu menjadi keputusan Bu Liona, terima kasih sudah mengabdikan diri di kampus ini dan di jurusan IT. Saya harap Bu Liona bisa sukses di tempat lain." Liona melesungkan senyumnya dan beberapa kalimat setelah itu baru lah ia undur dari dari ruangan Dekan. Ada rasa lega sekaligus sesak saat akhirnya ia meninggalkan kampus ini. Entah, apa yang harus ia lakukan untuk ke depannya, Liona akan pikirkan nanti. Sementara ini tabungan yang ada mampu menopang kehidupannya sembari ia mencari pekerjaan baru di Ibukota.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD