bc

Dikejar Cinta Bos Posesif

book_age18+
0
FOLLOW
1K
READ
dark
one-night stand
HE
opposites attract
second chance
dominant
badboy
boss
heir/heiress
drama
bxg
city
friends with benefits
polygamy
like
intro-logo
Blurb

“Di mana anakku?” Ricky berteriak memaksa Bunga untuk mengaku. Bunga hanya bisa ketakutan dicecar oleh pria asing tentang anak yang dilahirkannya tiga tahun lalu, tapi berkali-kali juga ia bersikukuh tak tahu. Ricky bahkan menyandera Bunga di rumah mewahnya. Ricky yang posesif membalas Bunga yang sudah meninggalkan anaknya sebagai pemuas nafsunya. Sedangkan Bunga merasa tidak pernah mengenal Ricky sama sekali. Bunga bahkan memiliki kekasih tetapi Ricky mengaku dengan gamblang jika dirinya adalah ayah dari anak yang dikandung Bunga. Sesungguhnya, apa yang terjadi di masa lalu mereka? Benarkah Bunga menyembunyikan anak milik Ricky?

chap-preview
Free preview
Bab 1. Mimpi Atau Bukan
Bunga mencoba mengerjap beberapa kali dengan napas tersengal menatap pada pria yang tidak ia kenali di depannya. Pria itu mengikat dan menindihnya di atas ranjang lalu tangannya mencengkeram rahang Bunga yang kaget setengah mati. “Di mana anakku?” dia menggeram dengan mata tajam menyala pada Bunga yang pucat ketakutan. Bunga menggeleng cepat dan cengkeraman itu makin kuat membuatnya seperti tidak bisa bernapas. “ Jawab!” pria itu berteriak lagi. “Aku gak tahu, sungguh. Aku gak tahu,” isak Bunga ketakutan setengah mati. Ia ingin memejamkan mata tapi tidak bisa. Kelopak matanya seperti dipaksa mendelik lebar tanpa bisa mengerjap. Rasanya mimpi tapi tidak mungkin. Pria itu lalu berdiri dan berbalik mengambil sesuatu. Bunga masih terengah satu-satu tidak bisa melepaskan diri. Matanya kembali membesar kala melihat sebuah senjata ditodongkan di keningnya. Ada apa ini? apa aku sedang dirampok - batin Bunga bertanya. “Katakan di mana anakku, Bunga?” Bunga semakin mengernyitkan keningnya. Apa maksudnya pria itu berkata seperti itu? Memangnya Bunga menculik anaknya? Dia bahkan tidak mengenal pria itu. “Jika kamu tidak bicara, aku akan menembakmu,” ujar pria itu lagi. Namun Bunga masih menggeleng seraya menatap wajah pria itu tanpa berkedip. Dia memakai jas biru dengan kemeja putih di dalamnya dan rambutnya berwarna coklat agak terang. Matanya kecil tapi tajam, siapa dia? “Katakan padaku!” pria itu lalu berteriak dan menembak. Bunga terbangun dan langsung terduduk sambil tersengal cepat. Dia seperti baru berlari puluhan meter. Ah mimpi itu lagi. Mimpi yang sama yang mengusiknya hingga selalu membangunkannya pagi pagi sekali. Selama dua minggu ini dia selalu mimpi yang sama, pria yang di dalam mimpinya memaksanya agar memberi tahukan dimana anaknya. “Ah kenapa aku gak bisa bangun tidur dengan cantik dan anggun? Kenapa harus selalu kaget ama cowok yang aku gak kenal! Ah sial!” umpatnya kesal sambil bangun dari ranjang dengan kesal, kusut dan kucel. Bunga melirik sekilas pada jam kecil di atas meja di samping tempat tidurnya yang sempit. Hari masih cukup pagi dan ia sudah terbangun lebih awal. Dengan malas ia menyeret kakinya ke kamar mandi. Hidupnya bisa disebut setengah pengangguran. Ia tinggal di kamar kos kecil dari berkuliah hingga lulus. Terlebih saat ia diusir dari rumah orang tua angkatnya karena masalah dengan kakak angkatnya yang menikah dengan kekasih Bunga. Ia semakin tidak mendapatkan tempat tinggal. Sambil menyikat giginya, Bunga menatap dirinya di depan cermin yang kecil di dinding kamar mandi. Pikirannya melayang mengingat pria yang menghantui mimpinya selama dua minggu belakangan ini. “Kenapa ada orang yang mengejarku di mimpi? Padahal, aku gak kenal anaknya yang mana. Huff ... hidup sial, mimpi pun sial,” gerutu Bunga lalu kembali menyikat giginya di depan cermin kamar mandi. “Gimana kalau itu tanda tanda aku bakal dirampok orang? Ah, gimana ini aduh mampus aku. Aku gak punya apa-apa. Kalo aku ditembak bagaimana? Ah, aku belum siap mati!” pekik Bunga paranoid sendiri. Bunyi dering ponselnya membuyarkan lamunan dan aktingnya di depan cermin kamar mandi. Ia mengintip dari balik pintu melihat ponsel jadulnya berdering. Dengan mulut yang masih ada noda pasta gigi ia berjalan mengambil ponsel dan mengambil ponselnya. “Halo ....” “Bunga, lo mau gua pecat ya? gimana sih gue telpon dari kemaren gak diangkat angkat?” suara seorang wanita di seberang berteriak cukup keras padanya. Bunga menggaruk tekuknya yang tidak gatal “Maaf Mbak Santi, kemaren batere handphoneku abis jadi baru bisa aktif sekarang.” Bunga beralasan lalu perlahan menjauhkan ponsel dari telinganya karena ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Suara nyaring nyaris memekakkan telinga akan terjadi dalam dua detik. “Gue udah bilang, deadline lo udah lewat hampir seminggu. Lo masih mau kerja di kantor gue gak sih, Bunga?” “Iya, Mba Santi. Hari ini akan aku selesaikan ....” “Alah, lo disuruh selesaiin urusan di percetakan saja gak bisa, gimana mau jadi penulis di sini lo?” “Maaf Mbak. Aku pasti selesaiin hari ini kok.” “Kalo lo gak bisa kerja, mending lo resign!” telpon langsung dimatikan. Bunga seketika mendengus kesal. Moodnya langsung buruk seketika. Mimpi buruk dan makian sang bos bukanlah hal yang baik untuk memulai hari. Lima belas menit kemudian, Bunga sudah berada di depan warung yang menjual sarapan pagi. Saat sedang menanti pesanannya dibungkuskan, iseng-iseng ia melihat ke arah televisi yang sedang diletakkan di sudut atas warung. Berita pagi hari ini adalah berita bisnis. Seorang pembaca berita wanita sedang membacakan berita tentang kepulangan seorang pengusaha yang selama tiga tahun menetap di luar negeri. Ia membawa investasi yang besar yang merupakan salah satu yang terbesar di Asia. Video wawancara seorang pengusaha yang sedang memberikan keterangan kepada wartawan lalu kemudian berjalan ke mobilnya terlihat cukup jelas di TV itu. “Itu kan cowok yang mirip sama di mimpiku,” gumam Bunga tak sadar. Tak lama ia dikejutkan ibu warung yang memberinya bungkusan makanan yang ia pesan. Bunga hanya sempat melihat sekilas pada televisi itu dan memilih pulang. Tanpa mau berpikir aneh lagi, Bunga langsung pulang. Selesai makan, Bunga segera berangkat ke tempat kerjanya. Ia bekerja di sebuah penerbitan kecil. Sesungguhnya, Bunga bercita-cita ingin menerbitkan bukunya di tempatnya bekerja. Sayangnya kesempatan itu belum datang. Setelah 45 menit ia akhirnya sampai di kantor milik Santi Rahman dan suaminya Indra Rahman. Baru melangkahkan kaki masuk ke dalam ia melihat beberapa rekan kerja yang berkumpul sedang bergosip. Bunga hanya menggeleng dan sudutnya bekerja. Posisinya sebagai editor dan desain cover menuntutnya untuk bisa memenuhi standar yang diinginkan. “Aduh, ganteng banget, sih. Gue pengen banget kalo anak gue ntar seganteng ini. Sayang laki gue muka nya pas-pasan!” ujar seorang pegawai wanita yang sedang hamil lalu teman temannya menertawainya. Salah satu dari staf yang sedang santai mengobrol kemudian melihat pada Bunga. Bunga masih sibuk melakukan pekerjaannya. “Tumben banget lo pagi-pagi uda nyampe, ada deadline ya?” cibir staf itu lagi. Bunga sudah paham dan ia hanya diam saja. Staf itu mulai kasak-kusuk berbisik lagi. Entah apa yang dibicarakan sehingga mereka menertawai Bunga. Sinta lalu datang dan membentak sehingga semua orang membubarkan diri. Ia lalu mendatangi Bunga dan berkacak pinggang. Ia separuh melempar sebuah amplop di atas meja. Bunga berhenti mengetik dan menaikkan matanya ke atas. “Sekarang lo datang ke alamat perusahaan itu. Lo kasih penawaran buat mereka,” perintah Santi seenaknya. “Penawaran apa, Mbak?” “Mereka mau bikin pameran buku, jadi mereka butuh penawaran dari kita tentang buku-buku yang boleh masuk booth. Jangan sampai gagal.” Santi mendelik seraya menunjuk pada Bunga tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Bunga terpaksa menunda pekerjaannya. Ia bergegas menuju ke alamat yang tertera di dalam amplop yaitu Joenadi Grup tanpa mencari tahu tentang perusahaan tersebut. Betapa terkejutnya, Bunga saat ia menemukan jika perusahaan itu bergerak di bidang pertambangan serta properti dan bukan produksi buku atau semacamnya. Merasa telah salah sangka, Bunga sampai menunjukkan surat yang dikirimkan ke kantornya. “Benar, ini surat dari kami. Silakan, Anda sudah ditunggu di atas.” Resepsionis yang menyambut Bunga dengan ramah malah menuntunnya masuk ke dalam lift. Seperti orang bodoh, Bunga menurut saja dan masuk ke dalam lift yang besar dan mewah. Resepsionis itu membawa Bunga pada seorang staf wanita yang lebih cantik dan anggun. Sangat jauh berbeda dengan Bunga yang hanya menggunakan celana jeans untuk bekerja. Ia lalu masuk ke sebuah ruangan serba kaca dengan sebuah meja panjang dan beberapa kursi. “Silakan, CEO akan menemui Anda.” Bunga hanya mengangguk dan ditinggalkan di ruangan tersebut sendirian. Matanya melihat ke seluruh sudut di ruangan tersebut sampai salah satu pintu terbuka. “Halo Bunga, kita ketemu lagi,” ujar Damian berjalan berhenti tepat di depan Bunga.

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook