Jatuh Cinta

1265 Words
“No, I said I don’t want to sing again.” Olivia menolak permohonan sahabatnya yang terus menerus memaksanya. “Please, Minyak Zaitunku. Aku nggak punya pilihan lagi. Penyanyi kafe yang biasa tampil mendadak resign, terus aku harus berbuat apa?” Freya memasang tampang menghiba, tapi Olivia tetap mengacuhkannya. Kemarin adalah kesalahan, ia tak mau bertemu dengan Alex lagi di kafe ini dengan wajah aslinya. “Coba sebutin alasannya kenapa kau menolak menolongku kali ini.” “I ever told to you that I don’t want to do it again.” “Please... please... tolong aku ya kali ini? sampai aku cari penyanyi baru. Cuma beberapa hari saja, kok. Pokoknya aku pasti bayar kamu dua kali lipat dari biasanya.” Walau sebenarnya Olivia tidak membutuhkan uang, karena Ayahnya konglomerat terkaya di negara ini, Freya tetap berusaha merayu sahabatnya itu. “I don’t need your money, Dear.” Freya tahu itu. Olivia berasa dari keluarga kaya raya, bahkan uang yang ia miliki tidak sebanding dengan uang jajan Olivia selama di Amerika. Meski begitu, Olivia tidak pernah memandang rendah dirinya. Dia selalu bersikap baik tanpa membeda-bedakan status maupun berapa banyak harta yang kau punya. Karena itu Freya menyayangi gadis itu. Ia mulai berpikir bagaimana caranya agar Olivia setuju membantunya. Ia lalu teringat pada salah satu boy band yang digemari Olivia semenjak gadis itu duduk di bangku sekolah. “Gimana kalau aku kasih kau Foto BTS dengan tanda tangan asli mereka?” Olivia tercekat mendengar tawaran menggiurkan tersebut. Freya memang tahu kelemahannya, ia selalu tergila-gila dengan segala hal yang berbau BTS, band asal Korea Selatan yang terkenal di mancanegara, termasuk di Indonesia. Olivia termasuk salah satu fans garis keras grup idol yang terkenal yang terdiri dari 7 member yang luar bisa tampan dan mempesona. “Aku punya poster Suga dengan tanda tangan aslinya. Kemarin dia konser di Jakarta. Kalau kau mau aku kasih ke dirimu, gratis tis tis tis...” “Ahhh...” Olivia menjerit ketika Freya menyebut satu nama idolnya. “I missed his concert.” Ia memasang wajah kecewa karena harus kehilangan kesempatan bertemu idolanya langsung. “You want it? Suga... Suga...” Freya merayunya lagi, kali ini dengan bahasa inggrisnya yang pas-pasan. Siapa yang bisa menolak poster bertanda tangan Suga edisi terbatas. Semua orang pasti menginginkannya juga. Melihat Olivia tampaknya tertarik dengan tawarannya, Olivia langsung menyodorkan kontrak kerja sebagai penyanyi di kafenya. “What the hell is this?” merasa dijebak Olivia hanya memekik ketika Freya langsung melambaikan kertas berisikan kontrak kerja. “Yes or no?” Freya terus menggodanya, membuat Olivia tak memiliki pilihan selain menanda-tanganinya. “Just ‘till you find the new singer, OK?” “Ok, ok, whatever-lah.” Sahut Freya tak mau ambil pusing. Asalkan Olivia menanda-tanganinya, masalah dia mencari penyanyi baru urusan belakangan. “Where is it?” selesai menanda-tangani, Olivia langsung menagih poster tersebut. “Tomorrow, aku kasih yah?” “Why?” Olivia memekik kecewa. “Aku nggak bawa posternya today.” Freya mulai terbawa nada bicara Olivia yang sok kebarat-baratan. Bibir Olivia mencebik, sebal karena harus menunggu besok untuk mendapatkan poster istimewa tersebut. “Pokoknya nanti malam jangan lupa ya? Aku tunggu kau di kafe jam 6 sore.” “Ok.” *** Sesuai janji, jam enam sore Olivia sudah muncul dengan penampilan barunya. Pakaian yang cocok dipakai nenek-nenek era Marilyn Monroe, kacamata jelek yang lensanya super besar, wajah yang dirias penuh jerawat palsu. Seperti biasa, Olivia menyamar menjadi wanita jelek. Ia duduk di kursi kafe menunggu Freya menghampirinya. “Astaga!” Freya memekik ketika keluar dari kantor dirinya melihat sosok Olivia memakai riasan jelek itu padahal dia akan tampil malam ini. Freya berlari menghampirinya. Gadis itu memukul bahu Olive, “ya Tuhan... apa yang kau terjadi?” seru Freya sambil memandangi penampilan Olivia dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Just be me.” “Itu bukan kamu.” Sahut Freya sambil memandang miris sahabatnya. Ia mencopot tatanan rambut Olivia yang diikat karet, mengambil kacamatanya. “Ini Olivia yang aku kenal, cantik, tanpa riasan apapun. Kau dianugerahi wajah yang luar biasa cantik, Olive. Tapi kenapa? kenapa sih kau memilih menutup semua kecantikanmu?” Freya tak habis pikir apa yang membuat sahabatnya berubah sedrastis ini?. Olivia melirik ke sekitarnya, takut ada orang yang menyadari siapa dirinya. “Give it to me.” Ia mengambil kacamatanya kembali lalu memasangkannya ke wajahnya. Freya mendesah frustrasi. “Sebentar lagi kau tampil, Olive. Aku nggak mau kau tampil di depan panggung dengan penampilanmu yang jelek itu.” “But, I like all of this.” Olivia bersikeras mempertahankan penampilan barunya. Freya menggeleng, “ikut aku sekarang. Kita hapus semua riasanmu dan ganti bajumu yang jelek itu!” Olivia terpaksa mengikuti perintah sahabatnya itu, walau sejujurnya ia khawatir akan bertemu dengan Alex lagi malam ini. *** Di salah satu meja kafe yang berada cukup jauh dari panggung, tiga orang laki-laki tengah asyik mengobrol sambil tertawa. Mereka adalah Alex, Dion, dan Gerald. Ketiga sahabat itu adalah pengunjung tetap kafe ini semenjak tiga hari lalu. “Bro, kenapa sih kita harus nongkrongnya di kafe ini lagi? Nggak gaul bro!” Dion mengeluh karena tempat nongkrong mereka yang biasanya di diskotek kini berubah di kafe sederhana yang jauh dari kesan hingar bingar. Gerald mendengus, “emangnya kau pikir aku menyukainya. Meski kafe ini milik pamanku, tetap saja suasananya sangat membosankan.” “Akh, berisik kalian!” Alex mengomeli kedua temannya, sedangkan ia masih sibuk mencari sosok Zaitun di sekeliling restoran. “Itu dia bukan, sih?” Gerald menunjuk pada seorang perempuan buruk rupa yang kini memakai gaun super jelek, rambut dikunci kuda, dan kacamata model kuno yang bertengger di hidungnya. Bersama Freya mereka terlihat sibuk berbicara. “Eh, tunggu deh. Bukannya cewek itu calon istrimu, Lex?” Dion mengenali sosok gadis itu. Perhatian ketiganya tertuju pada gadis berpakaian kuno yang mereka kenal. “Iya, benar. Siapa namanya?” kali ini Gerald yang bertanya sambil memperhatikan kedua gadis itu dari kejauhan. Alex tampak tak tertarik melihat perempuan itu. Ia hanya mencari Zaitun, satu-satunya perempuan yang kini bersemayam dalam pikirannya. “Olive, Olivia, atau siapa gitu namanya?” gumam Dion tak yakin. “Dia mau ke mana tuh?” “Terserah lah dia mau ke mana?” ujar Alex, tak peduli. Dion dan Gerald mengangkat bahu mereka, tak acuh. Terserah lah sahabatnya mau tahu apa tidak tentang calon istrinya, karena sepertinya Alex sama sekali tak tertarik dengan perempuan itu kecuali gadis bernama Zaitun yang telah membuatnya tersihir, semenjak pertemuan pertama mereka sikap Alex berubah. Laki-laki itu jadi lebih suka melamun sendirian memikirkan perempuan yang tak jelas asal-usulnya. “Guys,” Dion memekik kaget ketika melihat sosok yang muncul di atas panggung. Gerald membelalakkan mata, sedangkan Alex yang duduk membelakangi panggung tak mau terpengaruh oleh ledekan kedua temannya. “Itu… itu… itu dia!” Gerald terperangah sampai tidak mampu berkata-kata. “Apaan sih! kalo ngomong yang benar dong!” omel Alex, kesal karena dua temannya seperti orang yang baru saja melihat penampakan hantu. “Coba lihat itu!” Gerald menunjuk ke arah panggung yang berada di belakangnya. “Nggak mau ah!” sebenarnya ia malas menengok ke belakang, takut dua temannya mengusilinya. Tapi suara itu mulai terdengar pelan. Alex langsung menoleh dan benar saja gadis yang ia cari selama ini berada di sana, menyanyikan sebuah lagu dengan suara merdunya. Alex dan para pengunjung kafe seperti terhipnotis oleh suara dan penampilannya yang memukau. Pokoknya ia harus mendapatkan nomor telepon gadis penyanyi itu, tekad Alex dalam hati. Ia pun menikmati nyanyian gadis itu, jantungnya berdebar kencang seiring dengan nyanyiannya yang merasuki kalbu. Ia jatuh cinta. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD