Aku akan berusaha menata kembali kehidupanmu yang telah kuhancurkan, namun dalam usahaku ini. Bukan aku dan kau pemeran utamanya, melainkan Kau dan dia
~Dafa Prajaya~
Anes butuh dukungan dari pembaca, terus dukung Anes lewat vote dan komen ya.
Aku usahakan update Mantan Suami, seminggu sekali tapi tergantung dukungan kalian.
Follow akun aku ya.
Selamat membaca
"Berita yang paling menggegerkan tanah air, datang dari pengusaha televisi swasta ternama Indonesia, yang dikabarkan akan menikah dengan model cantik bernama Lolita
"PRAKKK!"
Anes menatap tajam televisi yang layarnya sudah pecah, karena ia lempar dengan remot yang tadi berada di tangannya. Tangannya mengepal saat mengingat berita pernikahan Dafa dan Lolita yang tinggal tiga hari lagi.
Lolita terlihat sangat bahagia dan terus menggandeng lengan Dafa saat mereka ditanya oleh wartawan tentang kabar pernikahan mereka.
Darah Anes mendidih, Anes selalu berusaha melupakan Dafa namun ia tetap tak bisa. Bayang-bayang Dafa bersama Lolita bagai kaset rusak yang terus diputar tanpa henti.
"Ya Tuhan Non, ada apa kok layar televisinya retak?!"
Bi Inah duduk di samping Anes lalu memeluk Anes dengan lembut, Anes hanya diam menenangkan dirinya dari amarah.
Anes harus tenang, ia tak ingin kembali ke masa lalunya dan menyebabkan dirinya dikurung di kamar rumah sakit jiwa.
"Dafa Bi, dia mau menikah."
Bi Inah menatap Anes yang sedang melamun, tatapan Anes kosong, dan tubuhnya bagai raga tanpa jiwa. Bi Inah ingat gejala-gejala awal Anes divonis mengalami depresi berat sama dengan kondisi Anes sekarang.
Bi Inah langsung berlari ke kamar Anes, lalu mengobrak-ngabrik laci kamar Anes dan berlari kembali ke Anes yang masih diam menatap kosong layar televisi tersebut.
"Non yang tenang ya, jangan dipikirkan nanti Non yang sakit sendiri."
"Anes enggak mau disuntik Bi, sakit Anes takut suntikan. Bi jangan suntik Anes hiks hiks."
Tangis Anes pecah saat melihat Bi Inah datang membawa suntikan, yang Anes yakin telah diisi obat penenangnya. Anes langsung mundur, menjauh dari Bi Inah.
"Non Anes percaya sama Bibi kan? Ini demi kebaikan Non Anes sendiri, Bibi tidak mau depresi Non Anes kembali di tingkat berat."
Anes tetap menggelengkan kepalanya, pipi Anes sudah basah oleh bulir-bulir air mata. Sebenarnya Bi Inah tak kuat melihat air mata Anes, namun ini demi kebaikan Anes sendiri.
"ANES ENGGAK MAU DISUNTIK! ANES MAU SAMA KAK DAFA!"
Anes berlari ke luar rumah tanpa menggunakan alas kaki, sedangkan Bi Inah berusaha mengejar Anes. Namun karena faktor usia, Bi Inah tak kuat mengejar langkah Anes yang umurnya masih muda dan sehat.
"Non jangan pergi! Non Anes!" teriak Bi Inah saat melihat Anes hendak mencapai pagar rumah besar ini.
"Anes mau bertemu kak Dafa! Anes benci sama Lolita! Anes mau bunuh Lolita!"
Air mata ikut mengalir di pipi Bi Inah saat mendengar teriakan Anes yang penuh penderitaan dan rasa sakit, ketakutan yang Bi Inah pikirkan seakan menjadi kenyataan saat melihat kondisi Non Anes.
"Satpam cegah Non Anes keluar!" teriak Bi Inah, membuat satpam dan tukang kebun yang sedang bertugas langsung membantu Bi Inah menangkap majikan mereka.
"Lepasin Anes! Anes mau bertemu kak Dafa!"
"Anes enggak akan membiarkan kak Dafa menikah dengan Lolita! Kak Dafa cuma boleh sama Anes!"
Anes terus berteriak, memberontak, mengayunkan kakinya menendang apapun yang menghalangi membuat tukang kebun dan satpam itu kewalahan, namun mereka tak akan melepaskan majikan mereka.
Karena mereka tahu bahwa majikannya ini, bisa melakukan apapun yang membahayakan dirinya sendiri atau pun orang lain, saat depresinya mulai kambuh.
"Non Anes tenang Non, Bibi ada di sini Non. Non Anes masih punya Bibi," ucap Bi Inah mengusap rambut Anes dengan lembut.
Anes terus memberontak, berusaha melepaskan tangannya yang dipegang erat oleh tukang kebun dan satpamnya, sampai memerah tapi ini demi kebaikan Anes sendiri.
Beberapa tetangga mulai keluar dari rumahnya, berdiri di depan rumah Anes menatap Anes dengan berbagai tatapan. Mulai dari kasihan, tidak peduli, bahkan menatap sinis Anes. Yang mereka anggap hanya perusak kedamaian perumahan megah ini.
Beberapa orang berkata kasar dan mencibir Anes, tanpa peduli penderitaan Anes. Bi Inah yang mendengar ucapan mereka yang tidak pantas untuk Anes, ikut merasa sedih dan marah.
"Palingan cuma drama!"
"Lagian nikah muda sih, makanya kalau nafsu tuh tahan dulu!"
"w************n kali ya, makanya diceraikan suaminya dulu."
"Aku kalau jadi orang tuanya, pasti malu punya anak perempuan kaya gitu!"
"Kalau kalian hanya bisa menghina, lebih baik kalian bubar!" teriak Bi Inah berurai air mata, mengusir beberapa orang yang berkumpul di depan rumahnya.
Bi Inah tak terima majikan yang sudah ia anggap putri sendiri, dihina dan dicaci maki tanpa mereka tahu apa yang sebenarnys terjadi.
Sontak mereka semua membubarkan diri, bahkan ada yang masih sempat mencibir dan menatap sinis Anes.
Anes hanya korban dari pernikahannya, Anes pun sudah berusaha mempertahankan pernikahannya dengan Dafa bahkan saat dia tahu Dafa berselingkuh dan dirinya keguguran, Anes tidak pernah meminta cerai dengan Dafa.
Namun di lingkungan masyarakat, bukan rahasia umum lagi kalau kodrat laki-laki lebih tinggi dari perempuan, sehingga saat ada perceraian, hamil di luar nikah, dan pertengkaran rumah tangga, pihak perempuan akan menjadi tersangka utama.
"Tenang Non, jangan seperti ini, Bibi sedih melihat kondisi Non sekarang," ucap Bi Inah lalu mulai menyuntik lengan Anes.
"Kak Dafa."
Tubuh Anes melemah, tubuhnya jatuh merosot ke aspal namun satpam, tukang kebun, dan Bi Inah dengan cepat menopangnya.
"Kakak."
Matanya Anes perlahan-lahan tertutup, lalu semuanya gelap dan kesadaran Anes pun hilang karena pengaruh suntikan tersebut.
~Mantan Suami~
Bi Inah hanya bisa menyentuh kaca jendela ruang rawat Anes di rumah sakit jiwa, menatap nanar Anes yang terus berteriak dan meronta minta dilepaskan dari tali yang mengikat tangan dan kakinya.
Sebenarnya Bi Inah tak ingin melakukan ini pada Anes, namun mengingat tindakan terakhir Anes yang hampir menghilangkan banyak berdosa, maka Bi Inah pun melakukan ini atas saran dokter yang merawat Anes selama ini.
Anes kabur dari rumah dan ingin membakar apartemen tempat kekasih Dafa tinggal, Anes mendapat alamat Lita dari internet.
Air mata Bi Inah tak hentinya mengalir melihat kondisi Anes yang semakin memburuk, suster yang ingin memberi Anes makan pun terlihat kewalahan karena Anes yang tak bisa diam walaupun tangan dan kakinya diikat.
"Kondisi Anes semakin memburuk Bi Inah."
Bi Inah menoleh ke belakang, dan melihat dokter Clara, dokter yang merawat Anes sedang menatap prihatin ke arah Anes lalu menoleh pada Bi Inah.
"Iya Bu dokter, kasihan Anes hiks hiks," tangis Bi Inah pecah, dokter Clara memeluk Bi Inah berusaha menguatkan Bi Inah demi Anes yang membutuhkan banyak dukungan.
"Tidak ada pilihan lain Bi, Bibi harus memanggil Dafa, mantan suami Anes. Sepertinya hanya Dafa yang bisa membuat Anes stabil."
Bi Inah langsung melepas diri dari pelukan dokter Clara, saat mendengar ucapan dokter Clara. Mata Bi Inah menatap tajam dokter Clara, menandakan tak suka dengan ucapan sang dokter.
"Anes tidak membutuhkan kehadiran pria b******k itu, dan apa dokter bilang? Dafa bisa membuat Anes stabil. Maka dokter salah, karena nyatanya Anes kembali depresi karena pria itu!" teriak Bi Inah dengan nada yang sangat kentara membenci Dafa.
"Dari kemarin Anes belum makan, dia tidak mau menerima makanan atau minuman apapun. Pikirkan lagi Bi Inah ucapan saya, dulu kita berusaha menyembuhkan Anes dari depresinya namun kita tidak mencoba membuat Anes damai dengan masa lalunya...
Dokter Clara menggantungkan ucapannya sambil menatap Bi Inah dengan tatapan tenang tak mengintimidasi.
"Tapi sekarang kita harus mulai dari awal, kita harus membuat Anes damai dengan masa lalunya. Salah satu caranya adalau mempertemukan Anes dengan masa lalunya, yaitu Dafa. Saya tidak bilang Anes harus kembali dengan Dafa, namun untuk sementara waktu kita membutuhkan Dafa untuk membuat Anes sadar, ada jurang besar yang membentangi Anes dan Dafa."
Bi Inah hanya bisa terdiam memikirkan ucapan dokter Clara lalu menatap Anes yang kini sedang menatap Bi Inah, sambil menangis dan Bi Inah dapat melihat kesakitan dan kesedihan di mata indah Anes.
"Demi Anes saya siap melakukan apapun Dokter, karena saya sudah menganggap Anes adalah putri saya sendiri."
~Mantan Suami~
"Tok tokk."
"Masuk," balas Dafa saat mendengar suara ketukan pintu, namun dirinya masih menatap berkas-berkas di tangannya tak mau repot-repot menatap siapa yang memasuki ruangannya.
"Pak ada yang ingin bertemu dengan pak Dafa, katanya dia pembantu Anes."
Mendengar nama Anes disebut membuat Dafa langsung mendongak dan menatap intens sekretarisnya, membuat sekretarisnya salah tingkah.
"Suruh dia masuk dan jangan biarkan ada yang memasuku ruangan saya selama dia ada di ruangan saya," perintah Dafa yang langsung diangguki mengerti oleh sekretarisnya.
Lalu sekretarisnya pergi pamit dan keluar dari ruangan Dafa.
Berbagai pertanyaan muncul di benak Dafa saat memikirkan siapa pembantu Anes.
"Apa Bi Inah?"
"Tapi mengapa Bi Inah ke sini?"
"Apa Anes...
"Selamat pagi Dafa."
Dafa berusaha tetap mempertahankan senyumnya saat Bi Inah menatap tajam dirinya tanpa ada senyuman.
Dafa tahu Bi Inah adalah orang yang paling membencinya setelah perceraiannya dengan Anes dan Dafa maklumi itu karena Bi Inah sudah seperti ibu bagi Anes.
Ibu mana tidak marah saat putrinya disakiti?
"Pagi Bi, apa kabar Bi? Sudah lama tidak...
"Tidak perlu berbasa-basi pada saya, saya datang ke sini hanya ingin meminta bantuan Anda."
Dahi Dafa berkerut menandakan bingung dengan Bi Inah yang ingin meminta bantuan padanya.
"Bantuan apa Bi?"
"Bantu Anes, Anes kembali mengalami depresi tingkat berat. Dia tidak mau makan dan minum, hanya terus berteriak, memberontak, dan menangis sambil menyebut nama Anda. Kalau Anda masih punya rasa kasihan dan mempunyai rasa bersalah pada Anes, tolong bantu Anes."
Belum sempat Dafa mencerna perkataan Bi Inah, dirinya dibuat kaget dengan Bi Inah yang bersujud di kakinya sambil menangis tersedu-sedu.
Dafa langsung beringsut mundur lalu membantu Bi Inah bangun. Mata Bi Inah sudah merah karena terus menangisi keadaan Anes.
"Maksud Bibi apa? Saya tidak mengerti, apa yang terjadi pada Anes Bi?" tanya Dafa menatap intens Bi Inah.
"Anes rapuh, dokter memvonis Anes menderita depresi tingkat berat, beberapa bulan setelah pak Dafa menceraikannya. Non Anes tak pernah berhenti memikirkan bapak, bahkan Non Anes terus menyalahkan dirinya sendiri atas perceraian kalian, menganggap dirinya tidak layak untuk pak Dafa sehingga pak Dafa menceraikannya dan sekarang depresi Anes kembali kambuh setelah bertemu bapak."
Tubuh Dafa mematung mendengar ucapan Bi Inah, lidahnya kelu tak kuasa berkata apapun setelah mendengar kondisi Anes.
Setetes air mata tanpa sadar menetes di pipinya, Dafa menunduk lalu mengusap bekas air mata di pipinya tak ingin Bi Inah melihatnya, namun Bi Inah sudah lebih dulu melihatnya.
"Anes... Ayo Bi kita bertemu Anes," ucap Dafa lalu berniat pergi menemui Anes namun langkahnya terhenti saat mendengar suara Bi Inah.
Mungkin nada bicara Bi Inah lembut tanpa ada kemarahan namun kata-kata yang diucapkan Bi Inah sangat menyakitkan.
"Saya mungkin meminta tolong pak Dafa membantu Anes, tapi saya mohon untuk tidak memberi Non Anes harapan kembali, buat Non Anes mengerti bahwa kalian hanya ditakdirkan bertemu bukan bersama. Non Anes pantas bahagia dan pak Dafa pun sudah memiliki kebahagiaan sendiri. Saya mohon setelah Non Anes sadar akan kesalahannya mencintai bapak, tinggalkan Non Anes untuk selama-lamanya. Jangan pernah menunjukkan diri lagi di depan Non Anes."
Tangerang, 13 Oktober 2019