Yang mau baca cerbung Pernikahan Haram, cerbung Pernikahan Haram ada di bab 27.
Istri Tak Pernah Disentuh
Siapa yang sudi menikah dengan lelaki tak dikenal?
Aku, ogah. Maka segera kujumput garam meja dan secepat kilat menjatuhkannya ke dalam gelas yang kini kuaduk perlahan. Aroma teh melati yang manis dan wangi menguar pekat di udara. Sayang, sudah ada 'racun'nya.
Lihat saja, Mak, perjodohan ini takkan berhasil. Lelaki itu, pasti segera enyah setelah meminumnya.
Sambil tersenyum membayangkan sesuatu yang lucu, kuterima piring berisi combro yang diulurkan Mamak. Mamak mengernyit, menatapku dengan wajah curiga. "Apa yang membuatmu senyum sendiri, Nduk?"
Aku menggeleng kecil, lantas meraih nampan berisi dua gelas teh serta sepiring combro yang terus menebar aroma gurih ke penjuru ruangan.
Sebenarnya, sudah berkali-kali kutolak tegas permintaan Mamak untuk bertemu dengan anak temannya. Namun, mamak terus memaksa.
Aku menghela napas. Dengan wajah angkuh terus melangkah menuju ruang tamu. Ingat, Nona, kamu harus pasang tampang galak biar dia ilfil. Aku lagi-lagi tersenyum sendiri.
“Hai.” Cowok utusan teman Mamak, menyapa tepat saat aku menyibak tirai lalu berjalan pelan ke arahnya.
“Hai, ju-ga.” Aku tertegun saat memandangnya.
Wajahnya enak dipandang. Ia mengenakan jas putih pendek yang tampak licin dan rapi dengan name tag di dadanya. Kancing-kancing yang dibuka, memperlihatkan bentuk tubuh yang indah di balik kaus merah yang sedikit ketat. Rambut jabrik, tubuh tegap, dan wajah ovalnya yang kecokelatan bersih dari jerawat.
Kuletakkan nampan ke atas meja lalu memindah satu gelas ke hadapannya.
“Silakan dicicipi.” Tudingku ke arah sepiring combro di nampan.
Ia mengangguk kecil, tersenyum, sementara tangannya menepuk-nepuk sofa di dekatnya duduk, membuat cekungan tak dalam di benda berwarna biru cerah itu. Melihat wajah cerianya yang tak nampak terbebani dengan perjodohan ini, entah mengapa, aku merasa senang—sungguh aneh. Apa karena binar matanya yang kecokelatan mirip dengan mata Mas Yus maka aku merasa senang?
Aku menarik napas panjang saat terkenang kekasih pujaan yang sedang menuntut ilmu di negeri orang. Duhai Mas Yuuus, sedang apa engkau di sana?
“Duduk,” ucapnya, seketika membuyarkan lamunanku tentang lelaki tercinta. Aku segera mengenyakkan diri tak jauh darinya.
“Namaku Aldri," ucapnya lirih. Kelopak matanya yang dinaungi bulu lembut panjang, mengerjap pelan. Hidung bangir, dan bibir penuh merah jambunya tengah mengukir senyum tipis. Sungguh memukau. Tampan, seperti Mas Yus.
Tertangkap basah sedang memperhatikannya, aku mengangguk gugup. Tersenyum. Lalu kembali mengangguk salah tingkah.
“Namaku Aldri ....”
Aku cepat menyahut, “I-iya. Aku sudah tau, kok, namamu. Ibuku sudah kasih tau namamu. Aldri. Aldriansyah,” kataku ringan dan sok akrab.
Mulanya, aku hendak bersikap jutek dan menyebalkan. Tetapi setelah dipikir ulang, buat apa? Toh, sudah ada 'racun' di minumannya. Tinggal menunggu reaksinya nanti.
Aldri menghela napas, terlihat lega. “Syukurlah,” ujarnya sambil mengulurkan tangan meraih gelas.
Aku menghitung dalam hati. Satu ... dua ... tiga. Lihat saja, sebentar lagi, ia pasti akan marah-marah kemudian hengkang dari rumah ini.
“Emmp ....” Aldri mengernyit.
Aku menatapnya penuh minat, pura-pura penasaran. “Ada apa? Apa tehnya kurang manis?” Lalu, kembali aku menghitung dalam hati.
Tiga. Dua. Satu. Satu dikurangi sedikit. Sedikit dikurangi sedikit ....
“Tehnya manis,” sahutnya sambil menyandarkan bahu ke sofa.
Aku ikut mengempaskan tubuh ke sofa. Merasa kesal pada diri sendiri karena tadi tak memerhatikan gelas mana yang diberi garam. Seharusnya, ia tak seberuntung ini. Namun, bukan Nona namanya, jika langsung pasrah pada perjodohan ini. Mas Yus patut diperjuangkan. HARUS! Tahu-tahu, tanganku sudah mengepal.
“Nona ....”
Aku tersentak kaget.“Eh, ya?"
“Pikiranmu sedang berada di mana?” Aldri menatapku dengan wajah nampak geli.
Aku menarik napas. “Kamu pasti gak senang dengan perkenalan ini. Iya, ‘kan?”
Bukannya menjawab, aku malah melahirkan pertanyaan baru. Kutegakkan tubuh sambil mematri tatapan ke wajahnya. Dadaku terasa bergemuruh saat tatapan kami bertaut.
“Aku juga begitu!” kataku antusias.
Aldri tampak kaget. Yang membuatku tak habis pikir, ia masih bisa mengulum senyum. Membuat wajahnya terlihat semakin tampan saja.
Hening.
Jujur. Sebenarnya, aku tak tega padanya. Lelaki mana yang tak kehabisan kata-kata jika ditohok dengan pertanyaan seperti tadi? Yang dengan jelas, memberitahu ketidaksukaanku padanya. Tetapi, aku tak punya pilihan.
Masih hening. Hanya terdengar samar kokok ayam dari arah kandang belakang rumah. Kesenyapan ini, membuat perasaan gugup yang tadi mulai mencair kembali menggeliat, membuat hati dan pikiranku tidak nyaman. Keringat dingin, terasa di dahi juga telapak tanganku. Sungguh, menunggu ia bicara, bagai hendak sidang skripsi saja. Begitu menegangkan.
Beberapa menit kemudian, akhirnya ia bersuara. “Kalau boleh jujur, aku ingin kita bertemu lagi.”
Aldri tersenyum kecil, mencipta cekungan mungil di pipi yang membuatnya terlihat semakin menawan. Ia kembali melanjutkan, “Apa kamu yang kecewa dengan pertemuan kita? Kamu kecewa, bukan?” Suaranya nyaris menyerupai bisikan, sementara matanya memandangku tanpa kedip.
Aku tinggal menjawab ‘ya’, bereslah urusan. Atau tanpa perasaan berkata, ‘ya, sangat kecewa'.
Mungkin jika kata itu terlontar, Aldri mungkin tahu diri lalu lekas hengkang dari sini. Dengan begitu, perjodohan tak perlu dilanjutkan.
Aku menarik napas panjang. Lantas, menggeleng. Aku membelalak saat tersadar baru saja menggelengkan kepala. Pasti, ini terjadi karena grogi.
Lagi-lagi, kami berpandangan lekat.
Aldri berdeham. “Syukurlah," katanya dengan canggung. Aku langsung berpikir bahwa ia tipe lelaki yang merasa tak enakan. A-haaa! Ide melesat masuk ke kepalaku.
Akhirnya, setelah mengumpulkan keberanian, aku beringsut ke arah Aldri. Tanpa menunggu lama segera menyandarkan kepala di lengan kirinya yang kokoh, kemudian mendongak dengan jantung berdetak kencang.
Tatapan kami bertabrakan. Aldri terlihat tidak nyaman, membuatku semakin semangat menggencarkan serangan; aku mengerjap-ngerjap, menatap dengan pandangan seolah tengah kasmaran berat yang hanya ia balas dengan senyum tak nyaman. Aku balas tersenyum, menatapnya terus-menerus sampai merasa seperti gadis bodoh karena bingung mengakhiri permainan sendiri.
“Nona ....” Aldri terlihat semakin risih.
Bagai wanita genit, aku terus memandangnya. Sesekali, aku mengerjap menggoda—aku tahu, bahwa lelaki dan perempuan bukan mahram, tak diperbolehkan saling memandang dalam agama. Apalagi, sampai seperti yang kulakukan. Namun, aku tak punya pilihan. Jika cara ini bisa mendepak Aldri segera enyah dari rumah ini, kenapa tidak? Masalah dosa, nanti malam bisa salat taubat. Semoga Gusti Allah sudi mengampuni kesalahan disengaja ini.
“Emm ....” Aldri semakin gelisah.
“Ya?” Aku terus menatapnya.
“Maaf, bukannya aku gak sopan. Tapi ... kita baru kenal.”
Uhuk. Uhuk! Kutegakkan tubuh sambil pura-pura batuk. Sama sekali tak menyangka ia begitu terbuka.
“Kamu bicara apa, tadi?” Saat ia mengungkap ketidaksukaannya atas perbuatanku, akan langsung kuusir dengan dalih penghinaan.
“Aku bilang ....”
Aku menatapnya.
“Aku bilang, aku gak masalah dengan sikapmu barusan jika kita sudah jadi pasangan sah.”
Aku tersedak ludah dan kembali terbatuk. Namun, kali ini batuk sungguhan.
“Silakan.”
Kuperhatikan gelas di tangannya. Begitu yakin yang diberikan adalah gelas teh yang tadi ia minum, aku segera menerimanya. Lalu, meminumnya dua teguk. Rasa asin perlahan melewati tenggorokan, membuatku mengernyit ingin memuntahkan cairan di mulut namun mengurungkan niat karena malu. Asin. Sungguh asin. Hueeek. Ingin sekali menjulurkan lidah saking asinnya.
“Sudah merasa enakan?”
Glek! Sisa teh di mulut kutelan dengan susah payah. “Lu-mayan,” sahutku, memberinya pandangan kesal bercampur malu.
“Emp ... aku ... minta maaf atas yang tadi,” kataku salah tingkah. Salah tingkah sekaligus malu. Juga kesal.
Aldri mengulum senyum. “Gak papa," jawabnya sambil mengibaskan tangan lantas berpaling. Bahunya sedikit berguncang, terlihat jelas sedang tertawa. Apa jangan-jangan ... ia sengaja balas dendam? Tanganku refleks mengepal. Dasar menyebalkan!
“Syukur jika kamu gak papa,” gumamya. Sorot matanya memancar geli.
Aku menyentak napas. Jika langsung marah dan menuduhnya sengaja balas dendam, aku pasti terperangkap jebakan sendiri. Tapi diam saja ....
Kutantang tatapan Aldri sebelum akhirnya berucap, “Aku sungguh minta maaf, aku memang selalu ....” Kalimatku mengambang. Ini sengaja kulakukan untuk menimbulkan rasa penasaran. Strategi pun berhasil. Aldri membisu, namun bertanya lewat tatapannya.
Aku pura-pura tersipu. “Aku ... selalu begini pada semua lelaki tampan yang menemuiku. Pasti kamu ilfil padaku. Iya, ‘kan?”
Aldri tak langsung menyahut. Aku berlama-lama merayapi wajahnya dengan tatapanku, tak mau sedikit pun melewatkan ekspresinya.
Aldri memang tampan, sama seperti Mas Yus. Semakin lama ditatap, ia terlihat semakin menawan, sama seperti Mas Yus. Tapi, caranya balas mengerjai saat aku benar-benar batuk ... sungguh sangat menjengkelkan. Apa lelaki sepertinya pantas dijadikan imam?
“Ih, amit-amit!”
Bukan hanya Aldri, aku sendiri pun terkejut karena tak sengaja menyuarakan isi hati. Untuk menutupi gugup karena Aldri sekarang memandangku dengan sorot aneh, aku segera berkata, “Iya, kan, kamu ilfil padaku?”
“Kamu pasti ilfil padaku.” Putusku, melirik Aldri yang terus bungkam. Ia sejak tadi hanya menatapku sambil sesekali mengulum senyum. Beres—aku bersorak dalam hati. Sekarang, tinggal melenggang ke babak selanjutnya.
“Maaf, aku gak bisa ngelanjutin perjodohan dengan lelaki yang ilfil padaku. Pergilah, Aldriansyah. Pertemuan kita, cukup sampai di sini saja. Gak ada lagi perjodohan.”
Aldri memandangku geli. “Kamu lucu sekali,” ungkapnya, terlihat menahan tawa. “bicara sendiri, dijawab sendiri.”
Aku ternganga.
“Dan maaf sebelumnya, apa kita tengah dalam proses perjodohan? Ibuku bilang, aku hanya harus menemuimu saja.”
A-pa?! Aku melongo. Jadi, Mamak berkata jujur bahwa aku hanya harus menemui Aldri? Sungguh, rasanya malu sekali. Aldri pasti berprasangka yang bukan-bukan tentangku.
Aku menghela napas panjang, tersenyum kecil menahan luapan rasa malu.
"Tapi jika kita memang tengah dijodohkan, aku gak keberatan. Aku ... telah jatuh cinta padamu.”
Kini, aku ternganga tak percaya. Dadaku berdebar keras saat tatapan kami lagi-lagi bertemu. Aku mengusap wajah dengan gugup.
"Nona ...."
Aku memandang Aldri dengan tenggorokan tercekat, tak mampu mengeluarkan secuil kata pun. Aneh. Bagaimana bisa keterusterangannya membuat tubuhku bereaksi begini aneh? Terasa gelenyar-gelenyar menyenangkan beriap di bahuku, merambat ke d**a, menggelitik perut bagai kepak sayap kupu-kupu. Begitu lembut dan menyenangkan.
“Kamu gak apa-apa?”
“Perjodohan kita, masih bisa berlanjut, kan?” tanyanya lagi.
Jelas, aku tak langsung menjawab. Ia tidak ilfil dan karena ocehan bodohku tentang perjodohan, masalah malah tambah runyam. Aku terdiam cukup lama sampai akhirnya mendapat wangsit.
“Emmm ... tentu saa-ja!” pekikku pura-pura girang. “tapi, jika aku merasa cocok denganmu. Ibuku belum cerita, kamu ini orangnya seperti apa.”
Baru saja Aldri membuka mulut, aku sudah kembali mengoceh, “Kamu baik atau gak?” Aku menatapnya tajam. “dan, yang paling penting itu, kamu punya uang banyak atau gak?”
Hebat! Dalam hati, aku memuji diri sendiri.
Lagi-lagi, Aldri hendak menjawab, tapi aku sama sekali tak memberinya kesempatan berkoar.
“Aku jujur saja, ya, padamu? Aku hanya guru honor di SDN Wonosari. Aku mata duitan. Aku butuh suami kaya untuk menunjang hidupku dan keluargaku," terangku, menatapnya bangga karena ideku yang hebat.
Aldri membisu.
Aku terus mengoceh, “Dan, seandainya kita nikah lalu cerai ... aku dapat warisan banyak atau gaak? Dan, yang paling penting, uang belanjaku, per bulanya, berapa?” tanyaku antusias.
Andai Bapak tahu polah putrinya, bisa-bisa, penyakit mematikan yang diidapnya setahun belakangan ini kambuh. Mamak pasti akan sangat sedih seperti waktu itu, saat Bapak terkena serangan jantung ringan untuk pertama kalinya. Tapi mau bagaimana lagi, sudah terlanjur kuucap.
Aku mendesah saat melirik Aldri. Ia sama sekali tak bereaksi. Satu-satunya tanda ia menyimak, adalah jari-jarinya yang saling meremas di atas pahanya.
Kuusap keringat dingin di wajah sambil terus memandangnya. “Aku serius, Al. Aku gak sudi nikah dengan lelaki yang gak akan bisa membahagiakanku. Memang, sih, uang bukan jaminan hidup bahagia. Ta-piii, namaku Nona. Itu artinya, suatu saat, aku harus menjadi Nona. Nona artinya ... yang dilayani.” Suaraku menggebu.
Senyap.
Tatapanku berpijak pada jari-jari tangan Aldri yang saling mengait. Jari-jari itu kemudian terlepas. Lima diantaranya terangkat, kemudian hinggap di bibirnya. Aldri kini tampak menahan tawa. Matanya menyorot geli. Apanya yang lucu, sih?
“Tenang saja. Kamu gak usah khawatir hidup susah jika menikah denganku. Aku punya pembantu yang akan selalu melayanimu, aku juga sudah punya rumah sendiri.”
Suara Aldri mengalir lancar, sukses membuatku tercengang heran.
Namun, aku bukanlah tipe orang yang mudah menyerah. Siapa tahu nanti aku berhasil mendepak Aldri pergi, kan? Seperti pasukan muslim yang hanya 3000 orang, namun bisa mengalahkan pasukan Romawi berjumlah 200.000 orang dalam perang Mu’tah. Ya, tentu saja Khalid bin Walid sebagai panglima perang menggunakan strategi mumpuni. Pasti, aku pun bisa membuat Aldri pulang dengan cara halus.
Maka, senyumku merekah lebar, bagai bocah ingusan yang diberi uang jajan. Ah, andai saja ia adalah Mas Yus ... tak mungkin aku bersikap seperti ini.
Mulutku membuka. “Dan, aku butuh banyaak sekali uang. Emmm ... 100 juta.” Aku memandangnya tak berkedip, mencari gejolak emosi di wajahnya.
Wajah Aldri mulanya tenang, lalu sedikit beriak. Kemudian kembali tenang. Kembali beriak. Baguuus. Aku sungguh pintar.
“Jika kamu keberatan, maka pergilah dengan tenang. Kamu hanya perlu tahu ini sebelum berhubungan denganku ke tahap lebih serius. Aku mata duitan, kan? Me-mang. Memang aku mata duitan. Aku ingin mendirikan semacam ....“
Aku sengaja diam untuk memerhatikan lebih dalam reaksinya. Selain itu, tenggorokanku mulai terasa sakit dan pegal karena sejak tadi terus mengoceh.
“Tempat kursus gratis!” ucapku antusias.
Melihat wajah kaku Aldri, aku yakin sekali, kali ini pasti berhasil. Yes! Horee! Akhirnyaa.
“Kamu tau, kan, Aldri, hidup di sini itu ... susah. Penduduk di sini kebanyakan hidup susah. Karenanya, banyak orangtua gak mampu meyekolahkan anaknya selepas SD. Atau SMP. Memang sekarang gratis. Tapi, uang untuk beli bensin ke sekolah ... untuk ini untuk itu ....”
Sial, aku kehabisan kata-kata. Gratis. Untuk biaya sekolah, saat ini gratis. Aku bingung hendak mengatakan apa lagi.
Hening.
Aldri meraih combro, menggigitnya pelan. Aku menatap wajah tanpa ekspresi itu dengan perasaan tak nyaman.
“Eeem ... sebenarnya, dari dulu ... aku ingin mendirikan tempat kursus gratis. Mengajari cara membuat makanan enak, kerajinan tangan yang bagus dan menarik, dan banyak lagi. Aku mau anak-anak Mesuji yang gak ngelanjutin sekolah, punya keterampilan. Agar gak milih cari uang ke luar negeri jadi babu. Itu sa ....“
Aku sengaja berhenti karena Aldri tiba-tiba menggeleng, sementara satu tangannya menggaruk-garuk ringan sisi kiri kepalanya.
“Aku ingin mereka punya keterampilan sehingga ... gak. perlu. ke ... lu. ar. ne—“
Jantungku menghentak kuat saat jari telunjuk Aldri tiba-tiba mendarat di bibirku. Refleks, aku menepisnya dan melotot. Aldri terkekeh.
“Aku paham semua yang kamu ucapkan, Bu, Gu-ruuu. Aku punya usaha di pasar Wonosari. Itu artinya, aku punya pekerjaan. Jadi, semua yang kamu mau, akan kuusahakan,” ucapnya tanpa sedikit pun kegamangan.
O-la-laaa! Aku melongo saking tak menyangkanya. Ingin rasanya menepuk jidat. Ia lelaki seperti apa, sih? Bagaimana mungkin ia mau dengan gadis mata duitan?
Aku akhirnya berpangku tangan, bingung hendak mengusir Aldri dengan cara apa lagi. Tidak mungkin, kan, tiba-tiba bilang tak menyukainya? Mau diletakkan dimana harga diriku mengingat sudah mengoceh panjang lebar? Bingung! Sungguh aku bingung.
Aku menatap ke teras, mengamati dua merpati putih dalam sangkar yang terus berjalan ke sana kemari. Lalu, tatapanku pindah ke pelataran rumah, memerhatikan kaca spion mobil Aldri yang berkilat tertimpa sinar matahari yang terik. Di sekitar mobil, dedaunan kering berserakan. Ada daun yang masuk ke retakan tanah. Bukan berarti tak dibersihkan. Pagi disapu bersih, siang hari sudah kotor karena angin musim kemarau kembali merontokkan dedaunan yang telah mengering di pohon. Tak heran, beberapa pohon karet yang setiap musim hujan selalu rimbun, kini mulai meranggas. Hanya menyisakan sedikit daun berwarna oranye terang di pohon-pohon karet nyaris gundul.
"Nona."
Aku tersentak. "Ya?"
“Kamu gak usah khawatir. Aku tipe lelaki yang menepati janji.” Aldri menatapku lembut. Binar matanya tampak begitu tulus menawarkan kedamaian.
“Nona,” panggilnya.
“Oh, eh.” Aku gelagapan. Menangkap wajahnya yang tampak khawatir, wangsit pun menelusup masuk ke dalam benakku. Kali ini, pasti mujarab. Lihat sa-jaa.
“A-duuh! Aaa-uw, perutku! Perutku sungguh sa-kit sekali.”
Dengan suara dibuat sememelas mungkin, tanganku bergerak meremas perut. Mimik wajahku kurasa sudah pas. Gerakan tangan juga sudah mendukung. Aldri pasti percaya.
“Bulan ini ....”
Secercah keraguan menyungkupi hati saat hendak mengatakannya—bagaimanapun, aku seorang pendidik.
“Kamu sakit?”
Sebelum tangan Aldri yang bergerak pelan di udara menyentuh jidatku, aku mengangguk.
“I-iya. Bulan ini ... aku belum periksa kandungan. Pasti ... pasti ada apa-apa dengan bayiku,” tuturku sambil meringis seolah menahan sakit.
Aldri mengernyit. Pandangannya terpacak ke wajahku.
“Bukannya kamu masih gadis?” Suaranya parau. Wajahnya—oh, lihatlah—kentara sekali begitu kecewa. Apa itu artinya ia benar-benar jatuh cinta padaku seperti yang dikatakannya?
Aku mengangguk kecil. “Hidup di sini gak mudah. Apa-apa serbamahal. Getah karet gak keluar banyak. Maka untuk menopang hidupku dan orangtuaku ... aku ... aku ....” Segera aku mendekat, lalu berbisik, “Menjual diri.”
Aldri menjauhkan diri. Ia memandangku dengan wajah kaget. “Kamu benar-benar hamil?”
Aku mengangguk sambil meremas perut. Melihat reaksi Aldri, rasanya ingin sekali tersenyum. Maafkan aku, Mak. Semua kulakukan demi Mas Yus.
“Jika aku gak lupa minum pil KB, tentu gak akan ... aw! A-duh! A-duh perutku! Saaakit!”
Aldri beringsut mendekat, memegang pundakku, lalu merebahkan tubuhku ke sofa. Aku menatapnya bingung.
“Tenang. Aku akan memeriksamu. Aku dokter.”
Mulutku membuka sempurna. A-pa? Dia ... dokter? D-o-k-t-e-r? Apa jangan-jangan ... tempat usaha yang ia maksud adalah ... klinik? Memikirkan kemungkinannya, refleks aku membekap mulut.
Kini, Aldri telah siap dengan alat tekanan darah. Aku menegakkan tubuh lantas mendorongnya sekuat tenaga. Saat itulah, aku menyadari di samping kakinya ada tas hitam besar.
“Aku benar-benar dokter. Meskipun dokter umum, namun aku pernah beberapa kali menolong orang melahirkan. Silakan, kembali berbaring. Aku tadi habis dari rumah salah satu pasien yang sakit parah. Ayo, berbaring.”
Aku masih melongo tak habis pikir. Dia dokter. Duh, Gusti Allah ....
Aldri beringsut mendekat.
“Jangan macam-macam!” teriakku dengan suara bergetar.
“Aku gak ingin macam-macam, Nona. Aku hanya ingin membantu saja.”
Aku menyahut lantang. “Aku gak mau diperiksa oleh dokter laki-laki! Kamu pergi saja!” Ini kulakukan agar kedokku tetap aman terkendali. Dan agar lebih aman lagi, dengan sigap aku berdiri. Tapi, baru saja hendak melangkah menjauh, Aldri tiba-tiba menyambar lengan atasku.
“Kamu dalam bahaya, Nona. Lupakan tentang perjodohan kita dan mari urus dulu kesehatanmu.”
“Lepas!” seruku sambil menyentak tangannya.
Terlepas. Namun, Aldri kembali menyambar tanganku. Kali ini, tarikannya cukup keras sampai aku yang sudah siap berlari pergi terjatuh di pangkuannya. Dadaku berdebar keras saat tatapan kami bertabrakan.
“Maaf, aku gak bermaksud kasar.”
Lekas aku berdiri dari pangkuannya, mendadak salah tingkah karena kini Aldri menatap sambil tersenyum manis. Namun, senyumnya segera lenyap. Wajah Aldri berubah tegang. Matanya tak berkedip menatap ke bawah, pada noda berwarna merah yang mengotori celana putihnya.
Aku terkesiap. Astagaaa darah haidku ....
“Kamu pendarahan, Nona. Ayo, berbaring, janinmu dalam bahaya.” Aldri meraih jemariku. Hawa panas menjalari bahuku saat merasakan telapak tangannya yang lembut.
“Jangan kurang ajar, ya?!”
“Kamu dalam baha—“
“Ada apa?”
“ Ada apa?”
Terdengar suara Mamak dan Bapak. Tak lama kemudian, Mamak melangkah mendekat yang segera disusul oleh Bapak. Keduanya langsung menatap kami bergantian. Aldri menatap orangtuaku, lalu melayangkan tatapan cemas ke wajahku.
“Ada apa?” tanya Mamak. Melihat Aldri hendak membuka mulut, aku perlahan melangkah mundur, kemudian berlari menuju kamar.